Selasa, 14 Juli 2009

Memahami konsep dasar perpustakaan digital

Pertentangan antara media elektronik dan media cetak begitu menyita waktu, tenaga dan biaya. Manakala pertentangan kerap muncul, ternyata muncul lagi pertentangan lain antara media cetak (koran, televisi, film) dan media portal (situs web). Akar masalah pertentangan muncul manakala sistem lama bergeser ke sistem baru, tatanan lama berubah total ke tatanan baru. Model lama berganti menjadi model baru. Yang lama usang yang baru begitu merangsang. Rangsangan ini melingkupi juga tatkala perpustakaan model lama mencoba masuk ke model perpustakaan digital. Ramai-ramai orang mau peduli bahwa perpustakaan digital mampu menyelesaikan banyak masalah, entah bagi pustakawan entah bagi pengakses awam. Sejauhmana jawaban kemudahan akses atas perpustakaan digital yang cocok dengan keadaan perpustakaan nasional, Putu Laxman Pendit menjabarkan lengkap dalam peluncuran buku barunya.

Membaca digital yang berkembang saat ini, disandingkan dengan membaca melalui kertas sebagai bahan dasar tetap tak dapat lenyap begitu saja, demikian Blasius Sudarsono, pembicara pada peluncuran buku Perpustakaan Digital, Kamis 14/2 di Perpustakaan Nasional RI. “Saya tertarik membaca dengan kertas,” ujar Blasius Sudarsono seraya mempertanyakan kenapa ia tertarik. “Saya lebih lama berkecimpung di perpustakaan.”

Menurut Blasius Sudarsono, Pustakawan Utama Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, buku “Perpustakaan Digital” karya Putu Laxman Pendit, 49 tahun, lebih tepat sebagai Hadiah Valentine. Selain itu, katanya, buku ini menjelaskan perpustakaan digital yang mendasar. Memahami pengetahuan tentang perpustakaan digital. Di Indonesia, perpustakaan Indonesia bermula pada 1971. Oleh karena itu, buku ini memahami hal-hal mendasar. Namun, sayang belum ada indeks. Akan tetapi, Putu kata Blasius ibarat ‘menyemen benih pohon pengetahuan’. Bagaimana perkembangannya, itulah yang mesti diteruskan kepada Putu, demikian Blasius Sudarsono mengurai pandangannya sebagai pembicara seraya menutup dengan dua pertanyaan. Pertama, berkenankah Saudara Putu meningkatkan perpustakaan digital itu? Kedua, maukah kita pustakawan Indonesia meneruskan?

Putu Laxman Pendit dilahirkan di Jakarta, 3 September 1959. Ia penulis buku ini, seorang peneliti, mantan dosen Sekolah Tinggi Publisistik (kini Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta), penulis bidang informasi dan perpustakaan. Ia menyampaikan terima kasih kepada Perpustakaan Nasional, seraya menanggapi Blasius Sudarsono bahwa ia tidak sengaja kenapa memilih tanggal empat belas yang bertepatan dengan Hari Valentine. “Saya malah lupa hari ini Valentine,” ujar peraih gelar doktor filsafat dari RMIT University di Melbourne Australia pada tahun 2000. Menurut Putu, buku ini selesai dicetak tadi malam (Rabu 13/2/08). Oleh karena itu, ada beberapa halangan, seperti ketika saya pindahkan judul di komputer, malah error.

Buku Perpustakaan Digital diperuntukkan untuk teman-teman pustakawan dan menambah kepustakaan Indonesia. Pada umumnya masyarakat Indonesia kalau mendengar kata perpustakaan persepsinya selalu abu-abu dan gelap. Namun, baru ditambah kata digital menjadi Perpustakaan Digital, ternyata seperti mendapat perintah mirip Bandung Bondowoso. Tiba-tiba harus selesai semalam, kata Putu yang meraih gelar Master of Arts dari Loughborough University of Technology di Inggris pada 1988. Ia menggarisbawahi kegamangan pada sebagian besar orang pada konsep-konsep dasar pada kata “perpustakaan”.

Istilah Perpustakaan Digital bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Mendadak muncul di tengah-tengah kita. Ada hal-hal baru. Buku ini dapat dibaca cepat dari A sampai Z. Memang seharusnya dilengkapi indeks. “Ada indeks tapi tidak tercetak,” tukas dosen jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (1989—2005). Ia menggambarkan proses pencetakannya hanya semalam diselesaikan. “Saya minta maaf,” ujar Kepala Laboratorium Komputer Sastra (1990) yang menjanjikan bahwa indeks akan disampaikan secara online yang dapat diunduh (download).

Buku ini menyambut Konferensi Pertemuan Organisasi-Organisasi yang mumpuni di bidang digital. Pertemuan yang lebih besar, menurut Joko Santoso, moderator berlangsung sekitar Mei atau Juni 2008 yang berkaitan dengan Perpustakaan Digital. “Ini kesempatan kita bahwa perhatian dunia kepada Indonesia begitu tinggi,” kata Putu Laxman Pendit, Kepala Pusat Komputer dan Pengolahan Data Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1993).

Buku ini memerlukan masa eksperimen sepuluh tahun. Konseptual Perpustakaan Digital, kata Putu Laxman Pendit memiliki kecerdasan sosial (cerdas bersama-sama), kebebasan atau kemerdekaan informasi, hak asasi dan demokrasi (tidak boleh ada yang terhalangi untuk mempunyai pengetahuan yang berbasis pada etos atau humanistic ethos), kehormatan dan kebersamaan.

Putu Laxman Pendit menyampaikan pesan bahwa perpustakaan digital memiliki anggota. Ada sebuah infrastruktur. Basis. Masih menjadi, masih being. Yang terpenting, katanya, perpustakaan digital menghimpun pengetahuan untuk kepentingan bersama. Benih perpustakaan digital ini berlangsung pada 1900-an dari universitas. “Adalah percuma membangun perpustakaan digital tanpa mengetahui konsep dasar,” tegas Putu konsultan untuk pengembangan sistem informasi di Pusat Layanan Informasi, Dewan Perwakilan Rakyat, RI.

Bedah buku dan peluncuran “Perpustakaan Digital: Dari A sampai Z” di Auditorium Perpustakaan Nasional RI Jalan Salemba Raya Nomor 28A Jakarta Pusat berlangsung pukul 9.00—11.00 WIB. Bertindak sebagai moderator, Joko Santoso, Kepala Subbidang Otomasi, Perpustakaan Nasional RI. Hadir pustakawan, profesional teknologi informatika, dan pemerhati masalah perpustakaan yang mencapai seratus orang. Ukuran buku 17,5 x 26 cm, v + 308 halaman dengan harga promo delapan puluh ribu rupiah.***

From : http://johnherf.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar