Senin, 22 Juni 2009

Kemampuan Baca Rendah Picu Tawuran - Lembaga pendidikan hendaknya berani ganjar sanksi keras


Media Indonesia

JAKARTA (Media): Rendahnya kemampuan membaca para siswa dan banyaknya acara kekerasan di televisi menyebabkan tingginya tingkat tawuran pelajar.

Budayawan Taufik Ismail mengungkapkan hal ini kemarin menanggapi banyaknya tawuran meski sudah memasuki bulan Ramadan. Ia bahkan mengatakan bahwa kemampuan `membaca` pada pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) -- artinya menyelesaikan satu buku hingga selesai dan menulis kembali temanya -- masih nol.

Buku bacaan yang dianggap dapat meredam kecenderungan tawuran pada anak sekolah adalah tema-tema yang bernilai sastra. Alasannya? "Buku bertema sastra biasanya mempengaruhi perasaan manusia untuk bertingkah laku yang lembut dan kasih sayang," kata Taufik.

Taufik juga menduga maraknya tawuran antarpelajar yang masih terjadi terus-menerus, meski saat bulan Ramadan, dapat disebabkan pengaruh tayangan televisi yang menampilkan film-film kekerasan.

"Vandalisme pelajar disebabkan mereka nonton film-film keras di tv," katanya.

Ia mengatakan hal itu berdasarkan penelitian pada enam televisi swasta di Indonesia pada 1998. Menurut penelitiannya, pemutaran film yang bertema kekerasan berkaitan dengan peningkatan jumlah kekerasan antarpelajar.

Dalam kurun waktu lima tahun, kelima televisi swasta tersebut memutar 5.000 tayangan film, 4.000 di antaranya merupakan film bertema kekerasan yang menampilkan adegan penembakan, darah, dan penganiayaan.

Akibatnya, Taufik menduga tema-tema kekerasan itulah yang memicu tawuran antarpelajar, khususnya di DKI Jakarta. Pembenaran sinyalemen Taufik itu juga pernah diungkapkan oleh organisasi yang bergerak di bidang penelitian di Amerika Serikat.

Dari hasil penelitiannya, disebutkan meningkatnya angka kekerasan pada anak disebabkan pengaruh tayangan televisi yang menampilkan adegan-adegan kekerasan.

"Seharusnya televisi memberitahu bahwa tawuran adalah pekerjaan orang primitif yang tidak pantas dilakukan oleh pelajar," katanya.

Sementara, Rektor Universitas Muhammadiyah Prof Dr Muhamadi S berpendapat bahwa selain lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah punya andil dominan terhadap pembentukan perilaku pelajar. "Lembaga pendidikan hendaknya berani mengganjar dengan sanksi yang keras jika mengetahui bahwa siswanya melakukan tawuran dengan cara-cara yang sadis, hingga menimbulkan korban jiwa," katanya. "Hukum dan pendidikan harus ditegakkan secara bersama-sama sebagai wahana untuk mengeliminasi perilaku menyimpang dari siswa."

Kendati demikian, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengingatkan, tidak cukup jika upaya meredam kenakalan pelajar hanya dari lingkungan sekolah. "Persoalan kenakalan pelajar menyangkut aspek masyarakat kita yang sejak dini sudah tidak tertata secara benar," katanya.

Tapi, Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Dr Mulyono Abdurahman mengatakan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi perilaku pelajar yang sudah berada dalam tataran mengenaskan dari aspek pendidikan.

"Kita ikut bingung harus mulai dari mana untuk mengeliminasi perilaku menyimpang tawuran pelajar di Jakarta," katanya. "Hal itu perlu melibatkan semua aspek sosiologis," tambahnya

Yang perlu didesak terus agar ada upaya-upaya preventif maupun afektif dari instansi berwenang, keluarga, dan masyarakat untuk memikirkan dan memberi contoh perilaku sosial secara wajar.

Ia juga mengingatkan bahwa setiap manusia seharusnya memegang amanah sebagai pendidik, minimal bagi dirinya sendiri sehingga bisa jadi contoh bagi generasi di bawahnya. "Tapi pada masyarakat kita, kondisi itu belum ditemukan akibat pola sosial Indonesia secara umum mengalami distorsi struktural," kata Mulyono.

Kepala Bidang Pembinaan Generasi Muda Kanwil Depdiknas DKI Jakarta Adang Ruchyat pernah mengungkapkan simpul rawan tawuran itu telah menyebar merata di masing-masing wilayah di DKI Jakarta sebab didukung oleh faktor lingkungan masyarakat yang menyebabkan tawuran mudah tersulut.

Berdasarkan catatan Kanwil Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) DKI Jakarta, terdapat sekitar 253 titik simpul rawan tawuran antarpelajar dan melibatkan 137 sekolah.

Lokasi rawan itu biasanya secara sosiologis dihuni oleh anggota masyarakat yang kurang menjunjung norma agama atau sosial dan lokasi yang terdapat kerumunan massa, misalnya titik temu angkutan jalan raya.(Sto/B-3)