Senin, 29 Juni 2009

Pengelolaan Jurnal Ilmiah: Rintisan Menuju Kualitas Internasional

Written by Kosasih Iskandarsjah
Monday, 05 May 2008

Membantu universitas mengelola jurnal ilmiah untuk keperluan akreditasi maupun peningkatan kualitas universitas secara keseluruhan dengan memanfaatkan teknologi yang paling efektif dalam menangani setiap tahap pengelolaan jurnal:

  1. Pengelolaan proses kerja dengan mitra bestari dan redaksi
  2. Desain dan produksi pracetak sesuai ketentuan Dikti maupun internasional
  3. Pencetakan menggunakan teknologi mutakhir untuk tiras terbatas
  4. Distribusi yang dilengkapi dengan tanda terima dari pelanggan
  5. Penerbitan secara online sesuai ketentuan internasional

Konsep Strategis Pencarian Naskah dan Pengelolaan Online

Masalah terbesar yang dihadapi jurnal ilmiah adalah mencari naskah yang baik dan dalam jumlah yang memadai. Apabila hanya mencari naskah di dalam negeri (apalagi bila hanya dalam institusi sendiri), akan sangat sulit (sebab setiap universitas juga membuat jurnal) dan penilaian dari Dikti akan terbatas. Untuk itu tim akan menyediakan fasilitas online submission system yang memungkinkan jurnal menerima naskah dari mancanegara melalui situs web.

Mengingat bahwa sementara ini electronic journal belum merupakan kriteria dalam menilai mutu suatu jurnal di Indonesia, maka sistem pengelolaan jurnal elektronik tidak harus berlanjut sampai ke electronic journal hosting, tetapi hal ini tetap dianjurkan untuk mendapatkan paparan secara internasional serta mendapatkan sitasi dari mancanegara yang justru akan mendapat credit point dari Dikti. Baik online submission system maupun electronic journal hosting akan dikelola oleh tim dengan tenaga khusus yang menguasai teknologi pemrograman dan apabila diperlukan pengetahuan ini dapat dialihkan ke staf universitas atau jurnal yang bersangkutan.

Butir-butir Pengelolaan Jurnal Ilmiah Secara Online

1. Pengelolaan Proses Kerja dengan Mitra Bestari dan Redaksi

Salah satu persyaratan agar dapat menarik artikel-artikel ilmiah dari luar lingkungan universitas sendiri serta luar negeri adalah resposifnya redaksi jurnal terhadap para pengirim naskah. Pengirim naskah akan sangat menghargai apabila status naskahnya dapat diketahui setiap saat: apakah masih dalam proses penelaahan oleh mitra bestari, sudah diterima atau ditolak atau perlu diperbaiki, sudah disunting atau sudah ada di bagian pracetak, serta akan diterbitkan di volume dan nomor berapa. Menggunakan online submission system hal-hal di atas dapat dilakukan secara otomatis akan sangat mengurangi kesalahan manusia.

Tim akan bekerja sama dengan redaksi setiap jurnal untuk mendaftarkan alamat dan email setiap mitra bestari dan redaksi yang ada, lalu mempromosikan jurnal ke calon mitra bestari, redaksi tamu, dan penulis di seluruh dunia, menjadikan siding redaksi dengan segera bertaraf internasional. Pengelolaan naskah, komunikasi dengan penulis, komunikasi dengan mitra bestari, serta komunikasi dengan penyunting akan dilaksanakan oleh tim bekerja sama erat dengan dewan redaksi jurnal yang bersangkutan. Semuanya dilakukan secara elektronik. Apabila diperlukan keterampilan pengelolaan jurnal secara elektronik ini dapat dialihkan ke staf administrasi jurnal yang bersangkutan.

2. Desain dan Produksi Pracetak sesuai Ketentuan Dikti maupun Internasional

Dianjurkan agar pelaksanaan kedua proses di atas dilakukan beberapa bulan sebelum edisi pertama volume berikutnya terbit, sebab perbaikan desain paling baik dilakukan mulai volume baru.

Rancangan sampul dan halaman ini akan disajikan untuk disetujui oleh tim redaksi jurnal yang bersangkutan. Ada beberapa kaidah tidak tertulis (yang didapat dari pengalaman) untuk menghasilkan desain yang sesuai untuk jurnal ilmiah, baik untuk rancangan sampul maupun halaman ini.

Template desain sampul dan isi yang baru akan disediakan untuk bagian produksi jurnal yang bersangkutan, namun apabila diperlukan proses pracetak dapat dilakukan oleh Tim Graha Ilmu.

3. Pencetakan Menggunakan Teknologi Mutakhir untuk Tiras Terbatas

Persyaratan tiras untuk suatu jurnal agar dapat dipertimbangkan untuk akreditasi adalah paling sedikit 300 eksemplar. Dengan tiras terbatas ini akan ditemui kesulitan mendapatkan mutu yang disyaratkan pula oleh Dikti. Untuk itu Tim Graha Ilmu sudah menyediakan solusinya, yang memenuhi syarat mutu namun dengan biaya yang terjangkau.

Proses cetak akan dilakukan menggunakan teknologi mutakhir digital printing yang akan menghasilkan mutu cetak yang tajam namun dengan harga yang sangat terjangkau pada tiras antara 300 sampai 500 eksemplar.

Apabila tiras yang diperlukan meningkat di atas 500 eksemplar, harga per eksemplar menggunakan digital printing akan disesuaikan agar tetap bersaing dengan mini offset, namun untuk tiras yang lebih tinggi lagi akan digunakan mini offset.

Penjilidan akan dilakukan dengan seksama agar setiap nomor dalam volume yang sama akan sama tingginya; demikian pula dengan posisi teks punggung dan homogenitas warna dalam volume yang sama.

4. Distribusi yang Dilengkapi dengan Tanda Terima dari Pelanggan

Salah satu persyaratan dari Dikti adalah adanya bukti bahwa jurnal sudah diterima baik oleh pelanggan. Untuk itu Tim Graha Ilmu akan mendistribusikan jurnal ke setiap pelanggan dan mendapatkan tanda terima dari pelanggan yang bersangkutan untuk keperluan verfikasi oleh Dikti.

Penerbit Graha Ilmu mempunyai perwakilan di hampir semua kota besar di Indonesia, khususnya di kota-kota tempat terdapatnya universitas-universitas ternama. Sementara ini perwakilan Graha Ilmu terdapat di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Denpasar dan Makassar.

Apabila diperlukan, Tim Graha Ilmu dapat pula mengelola pemasaran jurnal cetak maupun versi elektroniknya, namun untuk kepentingan keterpaparan secara internasional serta mendapatkan sitasi dari penulis mancanegara, dianjurkan agar jurnal elektronik disediakan gratis di Internet.

5. Penerbitan Secara Online Sesuai Ketentuan Internasional

Penerbit Graha Ilmu menyediakan platform penerbitan jurnal ilmiah secara online dengan mengikuti prinsip-prinsip yang digunakan secara internasional yang memungkinkan jurnal yang diterbitkan dapat didapati apabila dicari dengan search engine (Google Scholar maupun lainnya) maupun melalui metadata harverster.

Pembiayaan Pengelolaan Jurnal Ilmiah Secara Online

Pembiayaan pengelolaan jurnal ilmiah secara online pada dasarnya adalah butir (1) dan/atau (5) di atas, yaitu:

· Pengelolaan Proses Kerja dengan Mitra Bestari dan Redaksi

· Penerbitan Secara Online Sesuai Ketentuan Internasional

Fakultas/pengelola jurnal dapat memilih salah satu atau kedua butir di atas, adapun butir-butir lain bersifat tambahan dan tidak harus diikutsertakan dan apabila diperlukan akan dibuatkan penawaran tersendiri.

Diagram kerja pengelolaan jurnal ilmiah secara online dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Image
Diagram alir proses manajemen jurnal ilmiah

Makalah ini disampaikan dalam pertemuan terbatas dengan para pengelola jurnal di lingkungan Universitas Negeri Malang (UM) pada tanggal 2 Juni 2008.

Dirjen Dikti Mendukung Inisiatif e-Journal

Selasa 16 September 2008. Diskusi dari pukul dua siang sampai tujuh sore di kantor Dirjen Dikti Senayan Jakarta yang masih kinyis-kinyis dan kinclong. Dengan profesor-profesor yang pantang mundur semangatnya untuk membangun kegairahan menulis para cendekiawan dan ilmuwan kita. Padahal, mereka kebanyakan sudah usia senja. Di antaranya DR. Mien Rifai, Prof. Ali Saukah, Prof. Wasmen Manalu, Prof. Suminar, dan lain-lainnya serta Bapak Direktur DP2M (Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat). Diskusi hangat itu dipimpin oleh Dirjen Dikti Bpk Fasli Jalal.

Image
Dirjen Dikti, Bp. Fasli Jalal menerangkan strategi pemerintah untuk menggairahkan penelitian dan penerbitan ilmiah di Indonesia didampingi oleh Direktur DP2M, Bp. Munir (paling kanan). Di sebelah kiri tampak pemrakarsa Edu2000, Kosasih Iskandarsjah serta DR. Mien A. Rifai.
Image
Di ruang tunggu Dirjen Dikti (dari kiri ke kanan): Prof. Suminar, Bp. Yudi dari DP2M, Prof. Ali Saukah, DR. Astiana, DR. Mien Rifai, dan ibu Dharnita dari DP2M.
Informasinya belum disajikan ke publik. Sebenarnya, Dirjen Dikti sudah menyusun rencana. Semua Jurnal Ilmiah di Indonesia itu mau dibangkitkan demi memajukan ilmu pengetahuan kita. Biar para mahasiswa, peneliti, dan dosen bergairah melakukan riset dan membuat laporan hasilnya lewat penerbitan jurnal ilmiah. Mau diwujudkan dengan buku atau jurnal, boleh. Mau dipaparkan lewat e-Journal Online System juga Okay. Uang bensin, uang pembeli vitamin, uang pembeli jamu kuat kerja disiapkan. Jumlahnya sangat memadai. Itu sebabnya, diskusi siang itu rasanya cuma beberapa menit. Saat itu memang lagi pas ada acara penataran dan pelatihan bagi para pengelola jurnal ilmiah di Hotel Twin Tower.
Image
Pemrakarsa Edu2000, Kosasih Iskandarsjah (paling kiri) berpose bersama staf DP2M (ibu Dharnita dan Ibu Farichah) yang sangat simpatik memperkenalkan Discovery Indonesia e-Journal System sampai ke tingkat Dirjen Dikti.
Sekarang Ibaratnya, tumbu dapat tutupnya. Edu2000 yang siang itu dipanggil untuk diajak berdiskusi rasanya mendapatkan dukungan atas upayanya yang sampai sekarang masih terus mengunjungi kampus-kampus universitas negeri dan swasta membangunkan para pengelola jurnal ilmiah. Edu2000 ingin mengajak mereka untuk mengelola jurnal dengan teknologi modern yang saat ini sudah dilakukan di negara-negara maju. Dalam perkara ini, Edu2000 sudah punya jam terbang cukup karena pemrakarsanya pernah bekerja di beberapa penerbit Jurnal Online raksasa internasional yang berkantor cabang di Singapura.

Ibaratnya lagi. Siang itu Dirjen Dikti bersiap-siap akan memukul kentongan keras-keras agar didengar oleh seluruh pengelola jurnal ilmiah, cerdik pandai, peneliti, dosen-dosen di universitas negeri dan swasta, pusat-pusat penelitian, dan pusat-pusat para ahli berkumpul dan berdiskusi. Jurnal ilmiah yang sekarang kleper-kleper harus disuntik agar bisa berdiri lagi. Jurnal ilmiah yang sudah sehat diberi vitamin agar bisa terbang tinggi.

Online! Dipaparkan ke dunia internasional! Jangan puas cuma muter-muter di lapangan kampungnya sendiri. Harus terbang tinggi ke paparan dunia internasional dan diamati serta diajak ngobrol ilmiah oleh para ilmuwan dunia. Istilah mereka itu: disitasi (cited) oleh jurnal-jurnal internasional, bekerja sama dengan mitra bestari (peer reviewer) yang benar-benar punya nama dan mumpuni di dunia internasional.

Lha, kalau yang kayak gini jurnal ilmiah yang bener. Bukan Jurnal Bodong. Eh, bener lho. Saat ini banyak Jurnal Bodong. Pakai ISBN, lagi! Biar dapat KUM. Ketidakberesan seperti ini sudah diketahui dan diprihatinkan di tingkat tinggi dan pada waktunya pasti akan ada pembenahan.

Di Edu2000 ini ada beberapa jurnal ilmiah yang sudah bergabung. Lihat di Discovery Indonesia e-Journal System. Yang lain, sudah ada yang mulai manggil-manggil ke kantornya.

Edu2000 yang sudah terbiasa jadi pekerja pabrik jurnal ilmiah secara online tentu saja sudah siap diajak kerja keras. Hayo. Mulai kapan? Besok pagi? Siap!

(G.Aris Buntarman)

Penerbit Disuruh Bikin Kode Internal Made in Toko Buku





Written by G. Aris Buntarman
Friday, 22 August 2008

Rabu 20 Agustus 2008, para penerbit pemilik showroom di Pusat Buku Indonesia berkumpul. Berdiskusi perihal rencana mengadakan penjualan buku-buku remainders. Itu istilah dunia industri buku yang sebetulnya belum populer di negeri kita. Remainders adalah buku-buku yang dihapus dari back list. Sudah tidak akan dicetak ulang lagi. Tidak berarti buku itu sama sekali tidak laku jual. Ujudnya pun masih nampak seperti buku baru. Tapi, dijual murah. Ketimbang dicincang untuk membuat kardus daur ulang. Di sela-sela diskusi, ada seorang penerbit yang memberi info bahwa ada jaringan Toko Buku besar yang meminta penerbit agar membuat nomor kode internal (dan barcode-nya) rekaan dari toko buku itu. Bukan berdasarkan ISBN. Ah, yang benar? Saya bertanya setengah nggak percaya.

Langkah jaringan toko buku di Indonesia itu tadi (kalau itu benar-benar akan dilaksanakan) sesungguhnya sudah pernah dilakukan oleh W.H. Smith, pedagang besar buku di Inggris. Ia menciptakan sistem penomoran sendiri yang saat itu diberi nama Standard Book Number (SBN). Sistem itu ternyata diterima dan diadopsi oleh Badan Standardisasi Dunia lalu diubah namanya menjadi International Standard Book Number (ISBN) dan sampai sekarang sudah dipakai di 166 negara.

Akan tetapi, harus dicatat, pada waktu itu memang belum ada sistem penomoran pada produk buku. Lha, kalau di jaman sekarang ini, sudah ada sistem penomoran buku yang berlaku secara internasional alias banyak negara yang mau pakai, kok ujug-ujug ada jaringan toko buku yang nggak mau pakai standard internasional dan barcode EAN 13 Bookland. Ini namanya nyeleneh. Saya nggak bilang itu inward looking atau egois, yang karena merasa sudah besar lalu mau mendikte kepada industri.

Jaringan toko buku besar itu boleh-boleh saja mempromosikan sistem penomoran produk hasil temuannya sendiri. Tetapi, itu akan menjadi preseden lucu di dunia. Indonesia bisa menjadi bahan tertawaan dunia lagi. Secara iseng, saya menghubungi seorang rekan yang bekerja di penerbit AS di Singapura. Dia hanya berkomentar, mustinya jaringan toko besar Indonesia itu malah memelopori penggunaan ISBN dan barcode EAN-13 Bookland. Mereka akan dianggap sebagai pahlawan industri. Kalau malah mengusulkan penggunaan nomor kode internal itu akan kelihatan egois dan tidak punya wawasan internasional. Memang ini sungguh aneh. Produk intelektual Indonesia (buku) sudah dianggap oleh orang Indonesia sendiri tidak layak jual di dunia internasional.

Dia menambahkan lagi, China memiliki pasar domestik yang besar, tapi mereka masih punya ambisi untuk masuk juga ke pasar internasional. Pekerja publik mereka pun bekerja dengan benar. Ada benarnya kata kawan itu. Beberapa tahun lalu ada pameran khusus buku China juga di Jakarta.

Akhir-akhir ini, mereka yang mulai memiliki kesadaran internasional adalah para pengelola jurnal ilmiah di perguruan-perguruan tinggi. Itu karena adanya dorongan dan lecutan dari pihak DIKTI.

Bagaimana keadaannya di kalangan para penerbit buku? Nampaknya, kekacauan ISBN di negeri kita bakal masih lama sebab bukan menjadi prioritas siapa-siapa yang mau membenahinya. Buku Indonesia nyaris ditujukan ke pasar dalam negeri. Masuk di akal kalau konvensi internasional, yaitu ISBN dan barcode-nya, dianggap tidak terlalu perlu. Malah difungsikan juga sebagai alat mendapatkan KUM. Akibatnya banyak dosen dan guru ikut antri untuk mendapatkan ISBN, lantas mencetak bukunya ke percetakan. Jangan heran kalau ada perusahaan percetakan juga memiliki ISBN Prefix Penerbit meski tidak menguasai persediaan bukunya untuk pasar.

Saya bertanya lagi kepada kawan penerbit yang ikut pertemuan dengan jaringan toko buku besar tadi. Mengapa peserta yang ikut pertemuan dengan jaringan toko buku itu tidak melontarkan pertanyaan kritis? Lha, penerbit yang ikut dalam pertemuan itu kebanyakan juga para SalesRep yang juga belum paham benar akan ISBN. Lagian, sampai sekarang masih banyak kawan-kawan kita penerbit yang menyerahkan urusan ISBN dan barcode itu kepada Office Boy. Lha, OB ini apa juga memikirkan pengembangan dan implementasi ISBN ke bidang yang lain?

Image

Saya ikut merasakan dan mengalami sendiri betapa sulitnya mengajak toko buku, penerbit, bahkan rekan sekerja sendiri di perusahaan untuk mengajak mendalami dan mempelajari sungguh-sungguh perihal ISBN dan barcode buku itu. Padahal, sistem itu nanti akan dilengkapi dengan sistem pengkodean yang lebih baru lagi. Dan, lebih rumit, tapi manfaatnya sangat besar. Pengelola ISBN Pusat di Berlin sebenarnya sudah memberikan petunjuk dan arahan, baik kepada para penerbit maupun kepada para trader (Toko Buku, Perpustakaan, dan pebisnis yang lain). Sayangnya, asosiasi mereka (IKAPI dan GATBI tidak aktif menyebar-luaskan pengetahuan ini).

Image

Image

Image

Image

Rabu 20 Agustus 2008 itu juga saya kirim e-mail kepada 80 toko buku yang tersebar di Indonesia. Saya memberitahu mereka bahwa ada 24 artikel perihal ISBN dan barcode di www.edu2000.org. Semoga bisa dipakai untuk bahan diskusi di perusahaannya. Eh, barangkali informasi perihal ISBN itu juga bisa menjadi materi atau bahan diskusi di acara Total Quality Control atau Balance Score Card yang saat ini lagi dimusimkan.

Dalam beberapa jam sesuah e-mail dikirim, ada 8 jawaban bahwa e-mail sudah diterima. Terima Kasih. Lumayan ada jawaban. Saya tunggu sampai seharian, yang 70 memang nggak menjawab. Kali-kali saja komputernya ngadat, e-mailnya nggak bisa dibuka. Tetapi, bisa saja ISBN tidak dianggap terlalu perlu. Tapi, bisa juga karena unsur The Singer. Not the Song. Bisa juga karena kita semua ini masih dikuasai tradisi kebathinan. Bilang terima kasih saja cukup di bathin. Tak perlu ditegaskan seperti budaya Barat: Thank you!

Thank Your, Sir! Terima kasih karena tulisan ini sudah dibaca.

G. Aris Buntarman
BISGI – Book Industry Study Group for Indonesia