Jumat, 26 Juni 2009

MENKOMINFO : Silakah cabut UU ITE !!

Menkominfo Mohammad Nuh mengizinkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut pasal 27 ayat 3 dalam UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang saat ini tengah diuji dalam judicial review MK.

“Kalau MK meminta pasal yang bersangkutan dicabut, ya cabut saja,” kata Nuh usai jumpa pers di Gedung Depkominfo, Jakarta, Senin (16/2/2009).

Tanggapan yang terkesan santai dari Menkominfo itu sekaligus untuk menjawab tekanan dari sejumlah pihak yang ingin ‘menggoyang’ UU ITE.

Seperti diketahui, sejumlah blogger dan pemilik web yang diwakili oleh Tim Advokasi Untuk Kemerdekaan Berekspresi Indonesia telah mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi terhadap salah satu pasal di UU ITE.

Menurut para pemohon uji materi tersebut, Pasal 27 ayat (3) No. 11 Tahun 2008 UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal di UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), pasal 28 D ayat (1), pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), pasal 28 F serta pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, UU ITE juga dinilai cenderung memberatkan dan membingungkan para pengguna media elektronik.

Bahkan, dalam perkembangan sidang perkara uji materiil, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatalkan UU tersebut.

“UU ITE memberi ketidakpastian hukum karena dibahas terlalu singkat. Bagaimana bisa menjadi payung hukum?” kata Rudi Rusdiah, yang juga pernah terlibat dalam Pokja tim draft UU ITE.

Pun demikian, sebagai pihak yang patuh hukum, Menkominfo menyerahkan ‘nasib’ pasal 27 yang dipermasalahkan di UU ITE ini kepada MK. Meski nantinya pasal tersebut harus dicabut, Nuh mengaku tak keberatan. “Sebagai orang yang patuh hukum, kita akan melaksanakan,” tandas menteri tanpa mau berkomentar banyak. ( ash / ash )

Sumber :Detiknet

HATI - HATI DENGAN FULL ELEKTRONIK


(Catatan Kaki Implementasi eGovernment di Daerah)

Oleh : Samsul Ramli

Adalah hal yang membanggakan ketika semakin banyak daerah kabupaten/kota mulai melirik dan tertarik untuk mengimplementasikan teknologi informasi kedalam proses tata kelola pemerintahan. Jargon yang dibawa kemudian adalah transparansi, efektifitas dan efisiensi. Dalam ketiga jargon ini termaktub satu keinginan besar yaitu mewujudkan suatu sistem kepemerintahan yang baik atau good governance.

Nafas perubahan ini patut didukung dan didorong oleh semua pihak karena teknologi informasi, seperti yang sering kali diungkapkan oleh M. Nuh, menteri kominfo, dapat dijadikan sarana bagi pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam hemat saya membangun tata kelola pemerintahan lebih penting dari sekedar gembar-gembor pergantian eksekutif dan legislatif melalui pemilu.

Ibarat cerita Robin Hood, bangsa ini teramat senang mengganti busur ketimbang memperbaiki teknik dan kualitas busur agar anak panah dapat mencapai sasaran secara sempurna. Sehingga setiap kali pergantian pimpinan busur juga berganti dan sasaran juga berganti. Yang lebih celakanya busur berganti dengan yang baru, namun kualitas dan teknik masih sama atau malah lebih rendah. Yang berbeda mungkin hanya warna, tampilan dan bungkus busurnya saja. Kalo mengenai sasaran, saya yakin muaranya digadang-gadang pasti ke arah mensejahterakan rakyat. Yang jadi permasalahan cara dan metodenya itu lho!

Analogi ini terlihat dari betapa susahnya pemerintah mentaati atau mempertahankan komitmen pembangunan jangka panjang atau yang sekarang diberi label Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Yang sering terjadi adalah setiap perhelatan 5 tahun sekali, RPJP dapat dijamin berubah total, sehingga kita lebih sering menstarter sistem daripada mengatur gas, kopling atau mengendalikan arah dan kecepatan untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan rakyat.

Pemanfaatan teknologi informasi dalam pemerintahan, atau yang sering di beri label eGovernment, tidak lebih dari sekedar alat mempermudah sistem kepemerintahan yang dulunya lebih banyak kandungan manual ke arah yang lebih otomatis, cepat dan terkendali. Jadi eGovernment hanyalah fitur tambahan bagi sebuah busur yang fungsinya mempermudah si pemanah melihat dan mengarahkan anak panah agar tepat sasaran. Mungkin tidak bisa 100% tapi paling tidak bisa medekati.

Sebagai sebuah fitur atau fasilitas, eGovernment bukanlah satu-satunya fasilitas, masih banyak fasilitas-fasilitas lain yang dapat dipakai baik secara bersamaan maupun secara terpisah. Nah, sebuah fasilitas mestinya juga harus mempunyai kriteria atau rule of the game sehingga tidak justru mengganggu efektivitas pencapaian sasaran. Ini yang menjadi fokus dalam tulisan ini!

Untuk lebih ringkasnya sesuai dengan perkembangan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Kalimantan Selatan ada dua obyek yang menjadi sampel. Implementasi sistem pelelangan elektronik (eProcurement) dan Pemanfaatan frekuensi 2,4 GHz.

Implementasi eProcurement

Sekali lagi tulisan ini bukan untuk menghambat implementasi eGovernment di daerah, namun tidak lebih hanya ingin membuka wacana berpikir bagi masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dalam menyikapi implementasi teknologi informasi dalam tata kelola pemerintahan. Tujuannya Insya Allah haqqul yakin demi kepentingan terciptanya good governance.

Awal tahun 2009 ini, begitu gencar di publikasi penerapan eProcurement atau sistem pelelangan barang dan jasa pemerintahan berbasis teknologi informasi. Menggembirakan memang, seperti yang saya tulis di bagian awal.

Entah kenapa kemudian dari sekian berita yang saya baca ruh nya terkesan tidak serius. Kental sekali nuansa propaganda, publikasi dan kalau boleh dibilang sangat fashionable. Untuk itulah kemudian muncul kalimat propaganda terdepan, tercepat, terbaik, ter dan ter lainnya. Tidak ada yang salah dengan pemakaian awalan ter itu, apalagi kalau kemudian dilandasi oleh keseriusan dalam komitmen, tata laksana dan peraturan yang memadai. Yang jadi masalah apabila pemakaian ter kebablasan. Khawatirnya yang kebablasan itu bisa terperosok ke wilayah ter yang negatif seperti termahal, tersulit, terboros dan seterusnya. Kalau sudah begini tentu rakyat yang dirugikan.

Aplikasi eProcurement hanyalah alat untuk menjalankan sistem pengadaan yang diatur dalam Kepres 80 tahun 2003 beserta perubahannya. Seperti yang termaktub dalam Perpres RI no. 95 tahun 2007 lampiran I Bab IV bagian D disebutkan tujuan Procurement adalah: a. Memudahkan sourcing, proses pengadaan dan pembayaran; b. Komunikasi Online antara Buyers dan Vendors; c. Mengurangi biaya proses dan administrasi pengadaan; d. Menghemat biaya dan mempercepat proses. Kita juga masih menunggu seperti apakah rencana revisi Keppres 80 tahun 2003 yang akan datang terkait eProcurement.

Jadi yang terpenting adalah bagaimana sistem dijalankan melalui standar operasional prosedur (SOP) yang benar. Secanggih apapun aplikasinya kalau standar operasionalnya masih belum mendukung maka apalah gunanya. Ditambah lagi dibelakang sebuah SOP ada pelaksana, the man behind the gun.

Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada masyarakat dan dunia usaha terkait item yang sering tersiar pada pemberitaan media. Yaitu tentang full electronic dalam kerangka aplikasi eProcurement. Full eProcurement (Full eproc) adalah sistem pelelangan barang jasa pemerintahan yang secara penuh memanfaatkan media elektronik. Tidak kurang KPK pun terus mendesak lembaga pemerintahan untuk menerapkan sistem eProcurement ini karena diyakini paten menekan KKN.

Adalah Departemen Pekerjaan Umum yang pertama mengusung sistem eProcurement. Sampai saat ini Departemen PU belum berani menyebut sistem mereka adalah sistem yang full electronic. Dalam sistem eproc PU baru ada 3 metode yaitu CTI atau Copy To Internet, Semi eproc dan Semi eproc Plus. Jadi kalau ada pemerintah daerah yang gembar-gembor telah berani menerapkan full eproc, sangat perlu dikritisi.

Kendala terwujudnya full eprocurement adalah pertama, belum ada peraturan yang cukup memadai, seperti kutipan perubahan ke 7 Keppres 80 th 2003 diatas. eProcurment baru ditujukan untuk efektivitas, efesiensi, komunikasi dan transparansi proses lelang, belum sampai pada tahap transaksi elektronik yang penuh. Hanya satu bagian dari Keppres yang mendukung, itu pun hanya satu item dalam bab IV lampiran penjelasan.

Yang kedua, belum adanya peraturan hukum yang menjamin tanda tangan digital dan materai digital. Tanda tangan digital adalah verifikasi digital yang menjamin keaslian dari surat penawaran harga sebagai dasar sahnya kesepakatan harga yang ditawarkan oleh penyedia. Sedangkan materai digital adalah verfikasi digital yang menjamin keaslian surat jaminan penawaran yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin kepada penyedia jasa.

Secara teknologi tanda tangan digital telah berkembang dengan pesat dan dapat dimanfaatkan bagi pengamanan kerahasiaan dan keaslian dokumen yaitu melalui metode keamanan password, user name, dan kriptografi (enkripsi/dekrpsi) berbasis public key dan private key. Metode kriptografi atau Infrastruktur Kunci Publik (IKP) inilah yang banyak digunakan aplikasi eProcurement yang ada saat ini.

Sayangnya peraturan teknis yang dipakai bagi penyelenggaraan penerbitan tanda tangan digital dan materai digital hanyalah Permenkominfo nomor 29/Perm/M.Kominfo/11/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Certification Authority (CA) di Indonesia. Sementara UU No. 11 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) belum diturunkan ke dalam peraturan pemerintah sebagai panduan implementasi ITE di Indonesia, khususnya tentang tanda tangan digital, materai digital dan lembaga penerbit atau CA.

Jadi ketika surat dan jaminan penawaran yang menjadi satu kesatuan dalam dokumen penawaran dikirimkan melalui media elektronik, peraturan mana yang menjamin keabsahannya secara hukum. Tentu ini akan menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang merasa dirugikan dalam sebuah proses pelelangan elektronik. Apa jadinya bila setiap orang yang merasa tidak dimasukkan ke dalam nominasi calon pemenang mengajukan keberatan dan melakukan sanggahan? Tentu hal ini akan menghambat proses yang berujung pada terlambatnya pelaksanaan pembangunan.

Selama PP tentang tandatangan dan materai digital belum terbit maka traksaksi elektronik yang melibatkan pemerintahan belum dapat dilaksanakan secara fully electronic. Apakah harus menunggu baru bisa eProcurement? Tidak! Justru harus dari sekaranglah semua pihak sedikit-demi sedikit membiasakan diri terlibat dalam proses eProcurement.

Sistem eProcurement yang ada saat ini telah melangkah jauh lebih maju. Hampir 90% pelaksanaan telah dapat dilakukan melalui sistem elektronik. Jargon efesiensi, efektifitas dan transparansi dapat termaktub didalam sistem yang saat ini ada. Sisa yang 10% dari sistem elektronik akan tercapai dengan mudah apabila semua stake holder: government, private dan public telah akrab dengan prosedur dan tata laksana eProcurement. Jadi begitu perangkat hukum tentang tanda tangan dan materai digital telah lengkap, pelelangan barang dan jasa pemerintahan menjadi lebih mudah dan terjamin keabsahannya.

Penggunaan Ferkuensi 2,4 GHz

Adalah para pejuang teknologi informasi seperti Michael Sunggiardi, Onno W Purbo dan banyak kawan lagi, yang memperjuangkan agar Frekuensi 2,4 GHz secara luas dipergunakan tanpa dipungut bayaran. Gerakan bawah tanah ini kemudian mendapatkan respon positif dari Menteri Perhubungan, yang pada saat itu dijabat oleh M. Hatta Rajasa. Respon tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan KM. 2 Tahun 2005 tentang penggunaan pita frekuensi 2400-2483,5 MHz.

Sejak dibukanya kran 2,4 GHz berlombalah seluruh praktisi dan pengusaha jasa internet mempergunakannya, pun juga instansi pemerintahan. Dan terus terang dampak positifnya adalah terbangun sarana komunikasi data yang luas tidak hanya bagi masyarakat dan dunia usaha tapi juga antar lembaga pemerintah. Semakin hari semakin banyak instansi pemerintahan yang membuka fasilitas hotspot baik gratis maupun terbatas dilingkungannya. Penetrasi internet bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat semakin luas.

Sayangnya gegap gempita kebebasan ini membuat sebagian besar pengimplementasi atau pemakai 2,4 GHz terlupa pada kandungan Peraturan Menteri Perhubungan. Tepatnya pada pasal 3 Ayat 2, pemerintah memperbolehkan penggunaan bersama (sharing) frekuensi 2,4 GHz pada waktu dan atau wilayah dan atau teknologi secara harmonis antar pengguna dan tidak mengakibatkan interferensi yang saling merugikan.

Pada item diatas yang perlu digarisbawahi adalah tentang secara harmonis dan tidak mengakibatkan interferensi yang saling merugikan. Harmonis dalam hal ini adalah adanya saling tenggang rasa, kerjasama dan toleransi dalam pemakaian frekuensi 2,4 GHz yang dapat saling menginterferensi atau saling menutupi satu sama lain. Apabila terjadi seperti ini maka tentunya semangat dan jerih peluh para pejuang pembebasan 2,4 GHz akan menjadi sia-sia.

Bahkan banyak pula yang terjebak dengan teknik curang dengan menambah catu daya pada antena pemancar agar daya jangkau lebih kuat dari lainnya. Kebebasan ini kemudian tidak lagi menempatkan Permenhub sebagai payung hukum yang mensyaratkan antara lain, (1) maksimum daya pancar 100mW, (2) EIRP maksimum 36dBm, (3) semua peralatan yang digunakan di sertifikasi. Tapi malah membuat hukum baru yang bernama hukum rimba frekuensi.

Yang paling membuat trenyuh adalah terlibatnya instansi pemerintahan di daerah dalam peperangan ini. Inilah yang sering saya ucapkan dengan kawan-kawan bahwa ada tindakan yang benar tapi tidak tepat. Dilihat dari sisi alasan adalah benar penggunaan booster demi memperluas layanan hotspot bagi kepentingan masyarakat, tapi tidaklah tepat kalau mesti harus melanggar aturan.

Entah karena ketidak tahuan atau tahu tapi tidak peduli, sulit dipastikan. Yang jelas harus segera ada langkah komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan ini. Agar pembebasan 2,4 GHz menjadi manfaat bukan malah menjadi mudharat. Dan perlu diingat selain adanya sangsi hukum akan pelanggaran ketentuan ini, radiasi gelombang yang berlebihan juga akan berdampak buruk pada kesehatan dan tingkat kecerdasan anak cucu kita!

Sekali lagi tulisan ini hanyalah salah satu upaya mendudukan implementasi teknologi informasi dalam tata kelola pemerintahan secara lebih bijaksana. Khususnya kita yang bergelut di pemerintahan marilah kita bersama menghormati peraturan. Agar nantinya setiap kebijakan dan peraturan yang dibuat bukan malah kita langgar sendiri.

Akan lebih indah rasanya kalau kita tidak hanya menjadikan eGovernment sebagai ajang kompetisi non produktif yang berujung pada inefisiensi, semu dan kamuflase semata. Saatnya membenahi tata kelola pemerintahan selayaknya membenahi sebuah busur menjadi lebih baik sehingga siapapun pimpinannya, siapapun pemegang busurnya akan selalu tepat sasaran. Tentunya menuju kesejahteraan rakyat. Amin..

*Anggota Tim Pengembangan TIKDA Kabupaten Banjar

Brian Dettmeter : Mimpi buruk semua pustakawan

leh



Brian Dettmeter adalah seorang seniman yang karyanya diambil dari sebuah buku dengan versinya sendiri.

Brian Dettmer is an artist that takes stories from the inside of books, and creates his own on the outside


Brian menggunakan banyak jenis buku seperti seperti kamus kamus tua, buku teks, buku sejarah, enslikopedia, buku komik dan buku atlas serta banyak lagi buku lainnya. Dalam kayanya dia (Brian) mengukit buku-buku yang tebal itu menjadi sebuah karya tiga dimensi yang mengagumkan

Brian has used many different types of books, such as old dictionaries, textbooks, history books, encyclopedias, comic books and atlases, as well as many other types of books. In carving away big pieces of these books, he transforms them into three-dimensional art that is astonishing.



"Buku-buku tua, rekaman, kaset, peta seringkali menjadi bagian dari seni saat ini. Fungsi asli mereka semakin lama semakin berkurang hingga akhirnya hanya menjadi sebuah simbol dari ide sebenarnya maksud (isi) media tersebut. Dan ketika makna sebenarnya semakin hilang, karena itu dibutuhkan pendekatan baru agar kembali terekspos" (kira-kira) begitulah pernyataan Brian Dettmeter.

“Old books, records, tapes, maps, and other media frequently fall into a realm that too much of today’s art occupies. Their intended role has decreased or deceased and they often exist simply as symbols of the ideas they represent rather than true conveyers of content. ... When an object's intended function is fleeting, the necessity for a new approach to its form and content arises,” states the artist.



Dia menggunakan pisau yang sangat tajam dan mensuwir-suwir (itu kali ya pilihan kata yang tepat dalam bahasa kita) dari halaman pertama sampai terakhir. Dengan sangat hati-hati memahat sekitar gambar atau foto dalam buku, lalu teruuuus mengukir hingga akhirnya menemukan ceritanya sendiri dari buku yang sedang dia kerjakan.

He uses a sharp knife and dissects these books from beginning to end. Carefully carving around images, he keeps carving until his resulting work ends up telling a story of its own.


Hmm... apakah menurut anda pustakawan pada keberatan bila buku yang saya pinjam dari perpustakaan ikut diukir?

Hmm..I have a few old books checked out from the library. Do you think the librarian would mind if I carved her a gift?


Copyrighted images used with permission. Visit Brian's website to see more of this wonderful art!


Sumber :

Inventorspot