Selasa, 06 Oktober 2009

Social computing dan perpustakaan digital

Ditulis oleh putubuku

Istilah social computing merujuk ke penggunaan komputer secara meluas oleh berbagai lapisan masyarakat untuk saling berhubungan, menciptakan jaringan sosial (social network), mengandalkan perangkat yang mudah diperoleh dan mudah dioperasikan. Arti atau makna social computing lebih luas dari Web 2.0 atau Internet 2.0 sebab kedua istilah terakhir ini lebih merupakan versi terakhir dalam perubahan teknologi Internet, sementara social computing dapat dipakai untuk trend perubahan itu sendiri. Termasuk dalam trend ini adalah segala yang terjadi saat ini, berupa blogs, podcasts, wikis, situs lelang barang (auction web sites), online games, VoIP dan peer-to-peer services – semuanya memanfaatkan fasilitas koneksi global Internet menghubungkan orang dan isi informasi (content).

Menurut Pascu dan kawan-kawan (2008), salah satu ciri khas aplikasi-aplikasi social computing adalah semakin kuatnya keterlibatan pengguna akhir (end-users) dalam proses produksi informasi, pengetahuan, dan inovasi. Jika sebelumnya ada pemisahan yang jelas antara “produsen” dan “konsumen” informasi, maka kini pemisahan itu semakin mengabur. Pemikir masyarakat informasi, Alvin Toffler, menengarai gejala ini 20 tahun yang silam ketika ia menggunakan istilah prosumer dalam industri informasi. Dalam social computing, pengguna atau konsumen adalah sekaligus pemasok isi (content). Aplikasi-aplikasi social computing seperti blogs, podcast, wikipedia, YouTube, dan sebagainya, memudahkan orang saling betukar dan saling memakai tulisan, audiovisual, dan alamat kontak. Keadaan ini langsung mengubah total hubungan antara “produsen” dan “konsumen” dalam konstalasi industri media.

Hal lain yang harus juga segera disimak adalah peran pengguna atau konsumen dalam mendukung distribusi isi dan jasa informasi. Pada sebuah peer-to-peer networks dan wifi sharing, pengguna atau konsumen sebenarnya berperan sebagai bagian dari “transportasi” isi dan jasa tersebut; mereka ikut menjadi distributor dari sebuah isi informasi. Bahkan di eBay, si pengguna adalah tukan ngepak dan ngirim barang juga :-) . Tambahan lagi, seorang pengguna atau konsumen juga memainkan peran penting dalam menemukan, memilih, dan menyaring isi dan jasa informasi. Berbagai search engine sudah lama memanfaatkan kenyataan ini dengan berupaya menggalang penilaian oleh masyarakat tentang seberapa dibutuhkannya sebuah situs. Situs-situs wiki juga bergantung pada masyarakat untuk mengevaluasi dan memilih kualitas isinya. Demikian pula teknologi tagging sudah semakin sering dijadikan cara berbagi selera (taste-sharing) antar anggota masyarakat.

Fenomena ini meluas ke segala pelosok dunia, menerobos batas-batas budaya. Tidaklah heran jika para akademisi dan pihak industri sekarang sedang bahu-membahu mengamati dan mencari-tahu lebih banyak, apa yang sesungguhnya terjadi di Internet ini. Dalam situs mereka (http://www.asis.org/Conferences/SCS08/SCS08.html) American Society for Information Science and Technology (ASIS&T) memakai istilah social software and computing sebagai penggerak teknologi Web 2.0. Mereka juga menggunakan istilah social networking services (jasa berbasis jaringan sosial) yang melahirkan ciri-ciri baru dalam hal privacy, identitas dan manajemen hubungan antar manusia. Mereka percaya bahwa teknologi browser dan mobile devices akan melahirkan apa yang mereka sebut “kehadiran dan konektivitas tanpa batas” (ubiquitous connectivity and presence) yang akan mengubah total konsep sosial-budaya dan bisnis di seluruh dunia.

Secara khusus, di dunia akademik sebenarnya juga sudah ada semacam konsentrasi penelitian yang disebut social informatics, yaitu:

The interdisciplinary study of the design, uses and consequences of information technologies that takes into account their interaction with institutional and cultural contexts. [baca selengkapnya di : http://www.dlib.org/dlib/january99/kling/01kling.html].

Salah satu situs pendukung studi khusus ini [http://rkcsi.indiana.edu/index.php/about-social-informatics] menjelaskan lebih lanjut bahwa Social Informatics (SI) merupakan sekumpulan penelitian dan studi yang mempelajari aspek-aspek sosial dari komputerisasi termasuk peran teknologi informasi dalam perubahan sosial dan organisasi. Penelitian-penelitian SI juga berkonsentrasi pada bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dipengaruhi oleh nilai dan praktik-praktik sosial-budaya di sebuah masyarakat. Di dalam kajian-kajian SI terdapat cabang-cabang khusus seperti dampak sosial dari penerapan komputer (social impacts of computing), analisis sosial terhadap komputerisasi (social analysis of computing), kajian-kajian komunikasi berperantaraan komputer (computer-mediate communication alias CMC), kebijakan informasi, informatika organisasi (organizational informatics), informatika interpretif (interpretive informatics), dan sebagainya.

Di dunia perpustakaan dan informasi, social computing dan social informatics jelas sekali memengaruhi pemikiran dan praktik dalam Perpustakaan Digital (digital libraries), khususnya dalam hal peran “orang ketiga” di antara produsen dan konsumen informasi. Model-model Perpustakaan Digital, misalnya sebagaimana yang terlihat di Model OAIS, jelas sekali berupaya menegaskan peran-peran baru yang dapat dimainkan “orang ketiga” ini. Di dalam kondisi “tradisional” ketika format informasi didominasi oleh barang-barang tercetak, peran pustakawan dan profesi informasi jelas sekali berada di antara produsen dan konsumen. Saat ini, dalam kondisi social computing yang sudah melebur batas antara produsen dan konsumen informasi, peran pustakawan dan profesi informasi itu perlu ditinjau kembali. Jika dahulu timbul kesan bahwa pustakawan dan profesional informasi condong ke konsumen, maka sekarang kesan itu harus disesuaikan dengan kenyataan bahwa si konsumen dapat juga sekaligus berperan sebagai produsen.

Dalam keadaan seperti itu, mungkin saja “orang ketiga” tidak lagi diperlukan sebagai “perantara” melainkan lebih sebagai “penengah”. Artinya, pustakawan bukan lagi pihak yang berada di antara produsen dan pengguna informasi dalam posisi yang jelas, melainkan sebagai bagian dari hubungan keduanya: menjadi pihak yang terus menerus memperlancar hubungan antara keduanya, atau bahkan sesekali menjadi salah satunya. Seorang pustakawan akhirnya juga menjadi produsen dan konsumen informasi. Posisi ini, tentu saja, menjadi amat sangat menantang!

Bacaan:

Pascu, C., et al. (2008), “Social computing: implications for the EU innovation landscape” dalam Foresight : the Journal of Futures Studies, Strategic Thinking and Policy. Vol. 10 no. 1; hal. 37-52

"Membaca " sang Pembaca

Ditulis oleh putubuku

Tradisi kepustakawanan dan ilmu perpustakaan seringkali memfokuskan diri pada buku dan bacaan, katimbang membaca dan pembacanya. Sampai sekarang fokus ini masih ada: alih-alih memahami pengguna perpustakaan, banyak pustakawan berkonsentrasi pada nilai-baik yang ada di buku; alih-alih menyediakan buku yang dibutuhkan, banyak pustakawan menitikberatkan kegiatan mereka pada “buku yang baik” atau “buku yang positif”. Kegiatan seleksi dan pengembangan koleksi seringkali berdasarkan “nilai baik” dengan asumsi bahwa buku yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik.

Dalam tradisi literasi atau sastra (terutama di Amerika Serikat), pandangan seperti ini memang juga ada, didukung oleh berbagai model tentang text-active yang menjadi bagian dari teori new criticism -sebuah teori yang dibangun tahun 1940-an oleh John Crowe Ransom. Teori ini berasumsi bahwa teks (atau buku) dapat dilihat sebagai dirinya sendiri (self contained), terlepas dari respon pembaca, maksud penulis, atau konteks historis-kulturalnya. Para penganut new criticism melakukan close reading dan percaya bahwa struktur dan makna sebuah teks adalah satu kesatuan. Konsentrasi sepenuhnya dicurahkan pada mengutak-atik (atau “mengulik” istilah sekarangnya) teks itu sendiri. Pada tahun 1954, William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley menegaskan bahwa dengan berkonsentrasi pada apa yang sudah tertera di atas kertas, maka maksud si penulisnya tidaklah terlalu relevan lagi. Bagi new criticism teks adalah segalanya. [Di blog ini close reading sudah pernah ditulis; silakan klik di sini]

Teori new criticism pada gilirannya mendapat kritik lagi dari sebuah aliran baru, yaitu reader-response criticism. Aliran baru ini malah mengedepankan kenyataan bahwa seorang pembaca memiliki peran besar dalam menetapkan makna sebuah bacaan. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam sebuah bacaan mungkin saja tidak terdapat di dalam bacaan itu sendiri, melainkan di dalam konstruksi (construct) pembacanya. Pada tahun 1980-an, tiga buku penting muncul di kancah penelitian tentang bacaan dan membaca, yaitu:

  1. Fish, S. (1980). Is There a Text in This class? The Authority of Interpretive Communites, Cambridge : Harvard University Press.
  2. Suleiman, S.R. dan Crosman, I. (ed.) (1980). The Reader in the Text : Essays on Audience and Interpretation, Princeton : Princeton University Press.
  3. Tompkins, J.P. (ed.) (1980). Reader-response Criticism : from Normalism to Post-structuralism, London : John Hopkins University Press.

Ketiga buku ini menegaskan pentingnya peran pembaca yang “membawa makna ke dalam tulisan”. Artinya, sebuah teks bukanlah satu-satunya sumber makna. Seorang pembaca menggunakan akal-budi dan pengalamannya ketika membaca sebuah teks. Apa yang ia maknai pada sebuah teks ikut ditentukan oleh pengalaman sebelumnya, persepsi, imajinasi, dan bahkan juga harapan-harapannya. Beberapa peneliti juga menekankan pada kemungkinan seorang pembaca “menemukan” maknanya sendiri, yang barangkali berbeda dari yang ditemukan orang lain, atau dari yang tertera di atas kertas. Toh, sejak lama kita sudah kenal frasa to read between the lines. Pada intinya, teori reader-response atau teori reception (karena berkonsentrasi pada pembaca sebagai “penerima” teks) mengangap bahwa teks tertulis harus dilihat secara dinamis, dan belum “jadi”. Setelah ada pembacanya, barulah teks itu membentuk makna.

Apa pengaruh teori ini pada bidang perpustakaan? Jelas adalah pada pengalihan perhatian: dari teks di atas kertas (atau di dalam buku) ke manusia yang membacanya. Dalam penelitian yang berorientasi buku, kita tak terlalu peduli pada bagaimana buku itu sesungguhnya dibaca. Sebaliknya dalam penelitian berorientasi pada pembaca, kita mengutamakan pengkajian terhadap perilaku, situasi, kondisi, dan makna-makna yang dibangun oleh manusia-pembaca. Kajian ini dapat dilakukan terhadap individu-individu, maupun terhadap sekelompok orang dalam sebuah masyarakat. Dengan kata lain, kita bermaksud “membaca” sang pembaca.

Pendekatan kualitatif, khususnya etnografi, dapat digunakan untuk memahami bagaimana masyarakat mengenakan nilai atau makna kepada bacaan mereka. Buku yang amat menarik tentang penelitian etnografi ini adalah The Ethnography of Reading, yang dieditori Jonathan Boyarin, terbitan University of California Press, tahun 1993.

Bacaan:

Ross, C.S. (2005), “Reader response theory”, dalam Theories of Information Behavior, Fisher, K.E, Erdelez, S. dan McKechnie, L. (ed.), Medford : Information Today, hal. 303 – 307.

PERILAKU INFORMASI DI TEMPAT KERJA

Ditulis oleh putubuku

Katriina Byström dan kawan-kawan mengusulkan sebuah teori tentang pencarian informasi di tempat kerja yang diberinya nama teori Information Activities in Work Tasks (IAWT), atau kalau diindonesiakan: Kegiatan Informasi dalam Tugas Kerja. Teori ini dibuat berdasarkan penelitian yang menggabungkan perspektif Ilmu Perpustakaan & Informasi dan Kajian Organisasi (Organizational Studies). Sebagaimana namanya, teori ini ingin menjelaskan fenomena di tempat kerja, khususnya ketika para pegawai mencari dan menggunakan informasi untuk keperluan menyelesaikan tugas (task). Fokus teori ini adalah pada upaya mengaitkan antara keragaman jenis tugas, kebutuhan informasi, dan upaya penemuan-kembali (information retrieval). Dengan demikian, teori ini berupaya lebih spesifik dibandingkan teori perilaku informasi umum yang -misalnya- diusung oleh Wilson.

Dalam teori IAWT, sebuah task atau tugas bukanlah hanya merupakan sesuatu yang eksternal (sesuatu yang diluar kendali seorang pekerja), dan juga bukan melulu internal (sesuatu yang ada di pikiran seorang pekerja), melainkan juga sebuah “konstruksi sosial” dalam konteks kegiatan yang sesungguhnya (real life). Dengan kata lain, sebuah tugas di tempat kerja (misalnya, tugas meliput berita di kantor berita, atau tugas menyerbu benteng musuh di kalangan tentara) merupakan sesuatu yang disadari dan dimaknai (perceived) dalam kaitannya dengan keadaan atau situasi tempat kerja. Seorang wartawan akan menyadari dan memaknai tugasnya secara berbeda dari seorang anggota pasukan buru-sergap, sebab ”lapangan” mereka berbeda.

Selanjutnya, teori IAWT mengaitkan antara jenis informasi yang dicari dan ragam sumber informasi yang digunakan dalam bekerja. Di sini informasi dianggap sebagai sebuah “perangkat yang abstrak (tidak nyata)” untuk membantu seseorang menyelesaikan tugasnya. Selain itu, terjadi pula pergeseran fokus dari “menyelesaikan masalah” (problem solving) ke “menyelesaikan tugas” (task solving), sehingga sebuah “informasi tentang tugas” (task information) selalu merujuk ke sebuah tugas tertentu yang jelas batas-batasnya (misalnya meliput berita, menyerbu benteng musuh, membuat laporan penelitian). Informasi tentang tugas ini biasanya mengandung fakta (apa yang terjadi, siapa saja yang terlibat, kapan, di mana) selain juga mengandung keterangan tentang domain sebuah tugas, baik yang bersifat faktual (misalnya, peristiwa pelantikan Presiden Obama yang harus diliput, benteng di daerah pemukiman yang harus diserbu, lingkup penelitian yang harus dibuat) maupun yang bersifat interpretasi (apa makna Obama bagi hubungan AS – Indonesia, bagaimana mengurangi korban sipil dalam perang di dalam kota, sejauh mana penelitian bermafaat bagi masyarakat). Teori IAWT kemudian juga membedakan antara saluran dan sumber informasi yang digunakan di tempat kerja. Menurut Byström, sebuah “saluran” menjalankan fungsi menuntun seorang pekerja menuju “sumber” yang mengandung informasi tentang sebuah tugas.

Byström dan kawan-kawan lebih jauh lagi mengaitkan jenis informasi, sumber informasi, dan tugas. Perhatian pertama diberikan pada kondisi tugas itu; seberapa rumitkah tugas itu bagi seseorang. Ini dinamakan task complexity. Kemudian tingkat kerumitan ini dikaitkan dengan berbagai kemungkinan, yaitu:

  1. Jika seseorang merasa tak memerlukan informasi sewaktu bekerja, maka sebuah tugas dimaknai secara pasif berdasarkan dokumentasi yang ada. Tugas seperti ini biasanya adalah tugas-tugas rutin.
  2. Sumber-sumber informasi tentang pekerjaan seringkali adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu tugas, selain dokumen-dokumen di kantor.
  3. Sebuah aktivitas (event) maupun sebuah kunjungan kerja juga dapat menjadi sumber informasi.
  4. Informasi tentang domain kerja biasanya diperoleh dari literatur, dari pertemuan dengan pakar, dan dari pertemuan atau rapat.
  5. Pakar dan pertemuan atau rapat seringkali merupakan sumber informasi yang paling sering digunakan untuk menyelesaikan tugas.

Ketika untuk sebuah tugas tertentu seseorang merasa memerlukan banyak jenis informasi, maka terjadi 3 kemungkinan:

  1. Ia menggunakan banyak sumber, tetapi mengurangi variasi jenis informasi.
  2. Ia akan lebih banyak menggunakan rekan kerja sebagai sumber.
  3. Ia akan lebih sering mencari dokumen eksternal.

Sementara itu kalau seseorang berpendapat bahwa tugas yang harus dikerjakannya semakin kompleks alias rumit, maka terjadi 3 kemungkinan:

  1. Ia akan cenderung ingin menggunakan jenis informasi yang beragam.
  2. Ia akan semakin ragu menetapkan apa sebenarnya yang ia inginkan.
  3. Para pakar di kantor akan menjadi pihak yang semakin dihandalkan.

Sampai di sini kita melihat bahwa teori IAWT sangatlah “biasa” sebab secara umum menjelaskan hal-hal yang sudah nampak wajar. Misalnya, adalah wajar jika dalam bekerja kita lebih mengandalkan teman sebagai sumber informasi daripada dokumen, sebab membaca dokumen tentu lebih merepotkan dibandingkan mendengarkan penjelasan seorang teman. Juga adalah wajar, jika kompleksitas pekerjaan meningkat maka jenis informasi yang dibutuhkan pun menjadi semakin beragam. Namun teori ini juga amat berguna karena membantu mengingatkan kita bahwa sebuah “tempat kerja” sebenarnya adalah juga sebuah “lapangan informasi”. Selama ini, kita selalu menghubungkan informasi dengan pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, bukan dengan penyelesaian kerja. Teori IAWT membantu kita mengalihkan perhatian pada hal-hal praktis yang terjadi di sebuah tempat kerja.

Sumber bacaan

Byström, K. (2002). “Information and information sources in tasks of varying complexity” dalam Journal of the American Society for Information Science and Technology, vol. 53, hal. 581 – 591.