Kamis, 25 Juni 2009

ILMU PENGETAHUAN, INSTITUSI PENDIDIKAN DAN PERPUSTAKAAN DALAM ISLAM :PENERBITAN BUKU DAN PEMBUATAN KERTAS


www.muslimheritage.com

Sardar dan Davies menulis dalam bukunya "Distorted Imagination" : Pesatnya industri penerbitan buku di Dunia Barat benar-benar sangat mengagumkan dan pastinya juga sangat berharga. Namun pencapaian mereka terkini tidak dapat menyamai kehebatan, kompleksitasnya dan luasnya penyebaran publikasi yang pernah berkembang pada peradaban Dunia Islam sekitar abad ke delapan. Hampir seribu tahun kemudian baru akhirnya jumlah buku yang diterbitkan oleh Dunia Barat menyamai jumal buku yang Dunia Muslim pernah terbitkan sebelumnya. Industri publikasi yang demikian pesatnya kala itu masih berjalan ketika barat mulai mengakupasi tanah-tanah Orang Islam, namun secara sistematis dihancurkan oleh kekuatan kolonial, bersama-sama dengan sistem pendidikan dan kesehatan serta intitusi kebudayaan muslim lainnya. (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; London: Grey Seal Books, 1990, pp. 96-7 )

Dunia Islam tidak melulu seperti apa yang kita saksikan saat ini. Sekitar sepuluh abad lampau, seperti yang pernah digambarkan oleh Scott (S. P. Scott: History of the Moorish Empire in Europe; Philadelphia and London: J. B. Lippincott Company, 1904, vol 3; p. 522.) : "Perbedaan yang sangat antara dunia intelektual masyarakat Islam dan Kristen sangat mencolok terlihat. Perpustakaan Monstandir, Sultan penguasa Mesir, memiliki delapan puluh ribu volume buku, sementara itu perpustakaan Fathimiyyah di Kairo, sejuta volume; dan di Tripoli, dua ratus ribu volume. Ketika Bangsa Mongol menghancurkan Baghdad di Abad ke tiga belas buku-buku yang dibuang ke dalam sungai Tigris, yang lebarnya kira-kira 400 meter, sampai menutupi permukaannya dan membuat aliran sungainya menjadi hitam akibat tinta-tinta yang luntur. Sementara sisanya yang tidak terbuang ke dalam sungai ikut hancur dimakan api bersama dibakarnya gedung-gedung perpustakaan di Baghdad. Kembali ke perpustakaan peradaban Islam; Jumlah perpustakaan umum ketika Andalusia, Spanyol masih dikuasai kekhalifahan Islam adalah tujuh puluh dengan masing-masing perpustakaan memiliki koleksi buku yang sangat besar. Ibnu al Matharan dokter pribadinya Salahuddin bahkan memiliki sekitar sepuluh ribuan manuskrip, di dalam rak bukunya Dunasch Ben Tamin seorang Yahudi dan ahli bedah terkenal di Kairo terdapat dua puluh ribuan manuskrip. Empat abad kemudian pada Dunia Barat, tidak termasuk koleksi di dalam biara-biara, perpustakaan Kerajaan Prancis memiliki sembilan ratus volume, yang mana dua pertiganya buku-buku teologi; dengan subjek yang terbatas pada tata-cara seremoni keagamaan, keajaiban orang-orang suci, tugas dan kewajiban petinggi-petinggi gereja".

Mackensen dan Pinto (O. Pinto: `The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,' in Islamic Culture 3 (1929), pp. 211-43) menulis secara mendalam tentang perpustakaan Islam pada masa keemasaannya dengan mengkhususkan peran dan posisi mereka pada peradaban Muslim. Demikan meluasnya koleksi perpustakaan umum hingga saat itu hampir-hampir tidak mungkin menemukan masjid atau institusi pendidikan atau sejenisnya sepanjang kekhalifahan Muslim tanpa melihat buku-buku yang disusun rapih pada ruang baca (A. Shalaby: History of Muslim Education: Dar Al Kashaf; Beirut; 1954; p 95). Baghdad, misalnya, sebelum penaklukan oleh Bangsa Mongol, memiliki tiga puluh enam perpustakaan umum dan lebih dari seratus toko buku, yang beberapanya juga sekaligus sebagai penerbit dan memperkerjakaan sejumlah penyalin buku/manuskrip (saat itu belum ditemukan mesin cetak untuk menggandakan buku-buku hingga tugas penggandaan dilakukan dengan menulis kembali oleh penyalin). (J.W. Thompson: The Medieval library, Hafner Publishing Co., 1957, p. 351). Di Merw, Persia Timur, sekitar 612-614 Hijirah atau 1216-1218 Masehi, terdapat sepuluh perpustakaan, dua diantaranya terdapat di masjid agung dan sisanya terletak di sekolah-sekolah atau saat itu dikenal dengan madrasah (Yaqut: Mu'jam in J. Pedersen, The Arabic Book, translated by G. French, Princeton-New Jersey: Princeton University Press, 1984, p. 128). Sedangkan di Marrakesh (Marrakech) Barat Daya Maroko, sebuah masjid dinamakan Kutubya karena sekitar dua ratus "kutubiya" atau penjual buku berkumpul di sekitar masjid yang dibangun oleh penguasa dinasti Almohad; Abdul al Mumin (R. Landau: Morocco: Elek Books Ltd, London 1967. p.80). Di Spanyol saja, saat Islam berkuasa, memiliki tujuh puluh perpustakaan umum (G. Le Bon: "La Civilisation des Arabes", IMAG, Syracuse, 1884, p. 343). Banyak lagi perpustakaan-perpustakaan serupa yang terdapat di Kairo, Aleppo dan kota-kota besar Iran, Asia Tengah dan Mesopotamia (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Abdul al-Daula pada 372 Hijirah / 983 Masehi membangun perpustakaan di Shiraz, yang digambarkan oleh al-Muqqadasi sebagai berikut :

Sebuah komplek dengan bangunan-bangunan yang dikelilingi taman, danau-danau dan jalur air. Gedung-gedung tersebut beratapkan kubah, total memiliki 360 ruangan. Dalam setiap ruangan katalog ditempatkan dalam rak-rak dan setiap ruangan dihiasi dengan karpet. (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449)

Sebagai tambahan perpustakaan pusat milik kekhalifahan, terdapat jaringan sangat luas dari perpustakaan umum di banyak kota besar, dan koleksi buku-buku perpustakaan khusus yang sangat prestisius dimana menarik orang-orang berpendidikan dari pelbagai penjuru Dunia Islam (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 101). Tertulis dalam perpustakaan Muslim Spanyol, dan dikutip oleh Scott :

"Perpustakaan tidak bisa disingkirkan dari salah satu faktor yang mengkrotibusikan pencerahan kepada publik dan pembentukan formasi karakter nasional. Tidak ada kota-kota yang besar dan penting tanpa ada paling tidak satu perpustakaan utama di dalamnya. Rak-rak perpustakaan terbuka untuk semua pemakainya. Katalog memfasilitasi eksaminasi koleksi dan klasifikasi dari pelbagai subjek. Banyak volume yang dihiasi dengan perhiasan yang menakjubkan dan sangat indah; dan yang paling berharga adalah volume dengan hiasan kulit dan aroma kayu yang menyegarkan; beberapa koleksi berharga lainnya bahkan dilapisi dengan emas dan perak. Di sini (perpustakaan) dapat kita temukan apa saja yang telah dipelajari di masa lalu dan penelitian yang tengah dilakukan serta penemuan-penemuan terbaru saat itu. Filosofi Yunani, astronomi Babilonia, sains Aleksandria serta hasil pengamatan panjang juga eksperiman dari atas menara observasi bintang dan laborotorium kota Cordoba serta Seville (Al-Muqaddasi, Shams Al-Din Mohammad Ibn Ahmad, Kitab Ahsan al-taqasim fi ma'rifat al-aqalim, edited by M.J. de Goeje, 1877, 2nd edition, 1906, p. 449).

Masjid adalah pusat dari aktivitas intelektual dan medium penyebaran buku. Di dalam masjid, selain menjadi tempat beribadah, penulis dan orang-orang berpendidikan menularkan apa yang telah mereka pelajari kepada anak-anak muda, tidak hanya pemuda dan pelajar tapi juga ilmuwan atau pekerja profesional biasa diterima di sini, dalam aktivitas ilmiah sudah menjadi kebiasaan bahwa semua orang, apapun dia, dapat ikut serta dalam diskusi (Z. Sardar and M.W. Davies: Distorted Imagination; op cit; pp. 97). Aktivitas intelektual yang demikian semakin mengembangkan penyebaran buku melalui masjid-masjid, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sardar dan Davies :

Ketika seorang penulis berkeinginan untuk menerbitikan karyanya, pertama-tama dia akan menulis catatan-catatan, dan kemudian menulis manuskrip asli (asl) yang pada awalnya disebut "draft" (muswadda). Walaupun bentuk muswadda sudah memiliki isi yang cukup mendalam namun kenyataanya belum bisa diterbitkan. Dalam kosa kata Arab, untuk menerbitkan, kata yang dipakai adalah kharajja berarti "melepaskan" (let (it) go out) atau "keluar" (Come out) atau "diterbitkan" (be published). Karena belum bisa diterbitkan, seorang penulis perlu untuk mempresentasikan karyanya kepada publik lebih dahulu, yang dilakukan di masjid dengan cara membacanya atau mendiktekannya.

Para ilmuwan biasanya akan mendiktekan banyak sekali karyanya di dalam masjid di mana masyarakat umum berkumpul untuk mendengarkan mereka dan profesional warraqs (ahli penyalin buku/manuskrip) akan mengubah apa yang telah didiktekan menjadi buku. Walaupun buku tersebut adalah buku pesanan yang dibayar khusus mereka tetap akan menerbitkan buku-bukunnya dengan cara yang seperti telah dijelaskan di atas. Seperti misalnya, al-Farra seorang ahli Filologi yang cukup dikenal pada abad ke sembilan, pernah diminta oleh salah seorang sahabatnya untuk menulis buku yang dapat membimbingnya dalam mengerti Al-Qur'an, sehingga sahabatnya itu tidak akan merasa malu bila ditanyakan satu atau dua hal mengenai apa yang ada di dalam Al-Qur'an oleh seorang Emir yang berhubungan erat dengannya. Al-Farra, yang tinggal di Baghdad, setuju untuk menuliskannya, juga mengumumkan untuk mendiktekan buku tersebut di masjid, dan dengan cara itulah buku tersebut diterbitkan (Z. Sardar and M.W. Davis: Distorted Imagination; op cit; pp. 98 ).

Salah satu peran utama Masjid lainnya adalah menjadi: perpustakaan. Salah satu tradisi yang mengesankan hidup di saat itu adalah kebiasaan mereka untuk menyumbangkan manuskrip dan buku-buku milik mereka kepada masjid, tidak hanya satu atau dua buku, namun terkadang sampai ribuan volume. Pedersen menjelaskan bahwa sejak awal masjid tidak hanya ditujukan semata untuk tempat ritual beibadah, namun juga sebagai sekolah dan tempat untuk belajar. Hingga sepertinya normal saja bila saat itu masyarakat Muslim memiliki kebiasaan untuk memberikan buku-buku kepada masjid. Hingga akhirnya dari sekian banyak buku-buku yang disumbangakan kepada masjid membentuk perpustakaan atau darul kutub disamping menjadi masjid itu sendiri. (J. Pedersen: The Arabic Book, op cit, p. 126 ). Sepanjang daerah yang dikuasai orang-orang Islam, dari Atlantik sampai Padang Pasir di Persia bahkan sejauh mata memandang. Muslim memandang masjid sebagai surga penyimpanan buku-buku mereka yang paling berharga sehingga dengan jumlah yang tidak kira-kira mereka dengan rela menyumbangkan buku. Di Al-Qayrawan, manuskrip-manuskrip dihadiahkan kepada para murid dari mereka yang mencari ridho Allah SWT, kebiasaan tersebut banyak direkam dalam banyak manuskrip. (M. Al-Rammah: The Ancient Library of Kairaouan and its methods of conservation, in The Conservationand preservation of Islamic manuscripts, Proceedings of the Third Conference of Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 1995, p. 32). Serupa dengan al-Zaidi yang membangun masjid dan perpustakaan yang namanya diambil dari milik pembangunnya, yakni al-Zaidi sendiri. Sebelum ajal menjemputnya al-Zaidi menyumbangkan semua koleksi miliknya kepada setiap murid dan pencari ilmu pengetahuan (Al-Hadarah (periodical) No 33, p. 8, quoted by G.Awad: Khawazin al-Kutub, p. 231 in A. Shalaby: History, op cit, p. 100.[19] M. Sibai: Mosque Libraries: An Historical Study: Mansell Publishing Limited: London and New York: 1987. p 92). Al-Jaburi melaporkan bahwa Naila Khatun, seorang janda kaya berasal dari Turki, mendirikan masjid untuk mengenang suaminya, Murad Afandi. Naila menempelkan masjid yang dibangunnya dengan madrasah dan perpustakaan, yang koleksinya dilaporkan berisi buku dan manuskrip berharga, semuanya ditanggung dari kantong Naila sendiri. Di Aleppo, perpustakaan masjid terbesar dan mungkin juga tertua yakni: Sufiya, terletak di Masjid Agung Kekhalifahan Umayyad. Memiliki jumlah koleksi yang sangat besar, dan sekitar 10.000 di antaranya disumbangkan oleh salah satu penguasanyanya yang sangat terkenal, Pangeran Sayf al-Dawla. Para ilmuwan mengikuti juga jejak yang serupa. Di Irak, Masjid Abu Hanifa memiliki perpustakaan yang menawan hasil dari sumbangan-sumbangan perpustakaan milik pribadi yang ada disekitarnya. Diantara penyumbangnya adalah seorang dokter, Yahia Ibn Jazla pada 493 Hijriah / 1099 Masehi, juga penulis sejarah al-Zamakhshari pada 538 Hijriah / 1143 Masehi. Al-Fasi mencatat pada 955 Hijirah / 1548 Masehi, seorang guru dari Qarawiyyin yakni Abu Adbdullah Muhhamad al-Ajmawi, menyumbangkan karya besarnya berjudul al-Qawl al-Mutabar kepada murid-murid di masjid (A al-Fasi: `Khizanat al Qarawiyyin wa nawadiruha,' Majallat Mahad al-Makhtutat al-Arabiya 5 (May 1959): 3-16. p. 9), dan Ibu Khaldun menyumbangkan kepada perpustakaan masjid yang sama kitab karya-nya berjudul al-Ibar, agar dapat dipinjamkan hanya kepada orang-orang yang dapat dipercaya selama dua bulan (W. Heffening; J.D. Pearson: maktba; Encyclopaedia of Islam, vol VI, pp. 197-200; at p. 199) . Tiga orang ilmuwan, salah satunya Yaqut, mendelegasikan koleksi buku dan manuskrip mereka sebagai wakaf kepada perpustakaan masjid (Ibn al-Imad: Shaderat al-dahab, v: 122, in A. Shalaby: History, op cit, p. 101). Kebiasaan ini biasanya dilakukan oleh para ilmuwan saat itu atas rasa syukur mereka terhadap perpustakaan masjid atas dukungan dan dukungannya.

Berdasarkan observasinya Mackensen menulis tentang kebiasaan memberi hadiah kepada perpustakaan masjid :

"Buku-buku dihadiahkan, dan banyak ilmuwan yang mempersembahkan koleksi perpustakaan pribadinya kepada masjid kotanya sebagai preservasi dan membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mempelajari dan memanfaatkanya hingga berkali-kali. Sehingga membesarlah universitas-universitas besar di Kordoba dan Toledo dimana menarik banyak minat baik Muslim maupun Orang Kristen dari seluruh dunia, hal yang serupa pula membesarkan al-Azhar di Kairo, yang setelah ribuan tahun masih menjadi lembaga pendidikan terkenal dalam Dunia Islam sampai saat ini. (R. Mackensen. "Background of the History of Muslim libraries", The American Journal of Semitic languages and literatures, 51 (January 1935), p 123).

Umumnya masjid-masjid memang memiliki perpustakaan tetapi kebanyakan perpustakaan yang mereka miliki cukup sederhana. Namun, beberapa lainnya memiliki koleksi yang sangat kaya termasuk koleksi langka dan tidak ternilai. Banyak karya ilmiah yang juga termasuk dalam koleksi untuk disimpan di dalam masjid, menurut Sibai karya-karya ilmiah tersebut adalah karena ekspresi rasa syukur para ilmuwan karena dijamin kehidupannya (secara materi) termasuk akomodasi gratis dan alat-alat tulis atau apa saja yang dibutuhkan dalam mereka menulis karya-karyanya. Benar, memang saat itu adalah hal yang biasa masjid menjadi tempat persinggahan dan berteduh ilmuwan yang sedang dalam berpergian. Al-Ghazali dan al-Baghdadi misalnya pernah tinggal dalam periode waktu tertentu di atas sebuah minaret (menara) Masjid Ummayad di Damaskus. Sementara, Ibnu al-Haytam kabarnya pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di dalam kubah di atas salah satu pintu masuk utama Masjid Al-Azhar. Yaqut, misalnya, pada saat kematiannya di 627 Hijriah / 1229 Masehi mewariskan buku-buku milikinya sebagai wakaf kepada Masjid Zaydi beralamatkan di Jalan Dinar, Baghdad. Kisah yang sama juga dilakukan oleh al-Baghdadi. Masjid Al Aqsa di Palestina, tempat suci ketiga setelah Makkah dan Madinah, memiliki empat buah perpustakaan. Masji Al-Aqsa Memiliki beberapa koleksi buku pada Madrasah Nahawiyya dan Ashrafyia, dan sebuah perpustakaan pada madsarah yang paling bergengsi; Madrasah Farisiyya. Disamping Masjid Al-Aqsa berdiri Masjid Umar yang dibangun ketika Khekhalifahan Umar Ibnu al-Khattab berkuasa (12-23 Hijriah / 634 – 644 Hijriah). Madrasah Farisiya berkembang pesat menjadi sebuah akademi yang penting untuk pendidikan agama dan para ilmuwan menimba ilmu termasuk juga koleksi buku yang sangat besar tersebar di dalam empat madrasah Masjid al-Aqsa. Salah satu madrasah yang cukup penting adalah Madrasah Nassiryia, didirikan oleh Nasir al-Maqdisi (505 Hijriah / 1111 Masehi) juga dikenal dengan Ghazzaliya sebagai penghargaan terhadap filsuf terkenal al-Ghazali. Al-Ghazali mengasingkan dirinya di Madrasah Nassiryia hingga menyelesaikan karya besarnya "Al-ihya ulum addin".

Masjid Ibnu Tulun di Kairo kuno, secara perlahan-lahan menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi di Kairo, dan Ibrahim mengamati bahwa perpustakaan di masjid ini menyimpan banyak karya terkenal yang berhubungan dengan kedokteran.

Khalifah Qarawiyyin di Fes memiliki tiga pepustakaan yang terpisah, yang paling terkenal adalah Perpustakaan Abu Inan juga dikenal dengan Perpustakaan Ilmya, yang mana bangunan aslinya sampai sekarang masih berdiri. Didirikan oleh Sultan kekhalifahan Merinid, al-Mutawakkil Abu Inan, pada 750 Hijriah / 1349 Masehi. Perpustakaan ini dapat diginakan oleh siapa saja, termasuk masyarakat biasa ataupun pelajar. Seorang pembaca buku yang bersemangat sekaligus kolektor, Sultan menyumbangkan buku-buku dan bermacam-macam benda untuk perpustakaan barunya termasuk di dalamnya subjek mengenai agama, sains, intelletualitas dan bahasa, Sultan juga menunjuk seorang pustakawan untuk mengurus segala sesuatunya atas perpustakaan tersebut. Kota Marokko lainnya juga memiliki perpustakaan dengan jumlah besar koleksi buku pada masjidnya. Pedersen merujuk pada manuskrip dengan jumlah yang sangat banyak ditemukan pada Masjid Zaytuna di Tunisia, Masjid Tlemcen di Aljazair dan Masjid Rabat di Marokko.

Perpustakaan Zaytuna di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar koleksi buku pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa salah satu pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.

Masih di Tunisia, di Al-Qayrawan tepatnya, masjid agungnya menyimpan warisan intektual terbaik bahkan terhebat dan juga kenangan dari para ilmuwan melalui bukku-buku dan dokumentasi yang mereka tulis dengan tangan ilmuwan itu sendiri, atau setidaknya tangan orang lain menulis buah fikir mereka. Koleksi manuskrip yang sangat kaya dan dikumpulkan pada Masjid Universitas al-Qayrawan memiliki usia setua masa Aghlabid (abad ke-9 Masehi). Dokumen-dokumen tersebut antara lain berisi tentang data kebudayaan unik mengenai kurikulum yang digunakan oleh masjid agung dalam pendidikannya saat itu. Koleksi-koleksi yang berada pada perpustakaan kuno Al-Qayrawan sebagian besar berbentuk parchment (medium untuk menulis yang terbuat dari kulit sapi atau domba), juga dikenal sebagai koleksi terbesar dan terbaik di sepanjang Dunia Islam Arab. Perpustakaan masjid juga memiliki koleksi saintifik dalam jumlah besar, dan manuskrip yang tidak pernah dibayangakan oleh kebanyakan manusia dapat mereka miliki. Nama Abdul Wahab ditemukan pada Perpustakaan Atika kota Qayrawan dalam buku Umam al-Qadima (Sejarah Bangsa-Bangsa Kuno) adalah terjemahan dalam Bahasa Arab dari tulisan Saint Gerome pada suatu masa sebelum kematiannya di 420 Masehi. Juga, pada beberapa Perpustakaan Masjid, Nama Abdul Wahab yang sama kembali muncul atas terjemahan dari Bahasa Latin karya Plyni (Gaius Plinius Secundus) seorang ahli botani pada zaman Romawi. Masjid Ahmad di Tanta (Mesir) memiliki koleksi manuskrip dengan 25 subjek berbeda antara lain di dalamnya terdapat subjek mengenai kedokteran, aritmatika, aljabar dan seni membuat warna dengan cairan-cairan tertentu.

Kota Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan bernama al-Abdaliyah yang memiliki dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka, tentu saja hal itu menarik banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya. Ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534 dan 1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaytuna, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.

Para penguasa memiliki peran yang sangat penting dalam mensuply dan merawat perpustakaan semacam yang telah dibahas pada paragraf-paragraf sebelumnya, Al-Manstansiryyah dari Baghdad memiliki perpustakaan yang sangat kaya yang buku-bukunya dikumpulkan dari perpustakaan pribadi Kekhalifahan. Di Damaskus, Nuruddin Zangi memberikan koleksi buku-buku yang sangat banyak kepada perpustakaan-perpustakaan kota. Sementara di Kairo, al Qadi al-Fadil menghadiahkan sekolah dengan 100,000 volume buku dengan subjek yang beragam untuk kepentingan para muridnya. Di Maghrib, Abu Yaqub, pemimpin Almohad, menurut Deverdun: memiliki jiwa yang besar dan kecintaan yang amat sangat pada koleksi buku-buku, Abu Yaqub mendirikan perpustakaan yang besar yang dengan perlahan-lahan dipindahkan ke Kasbah (Aljazair), dan dijadikan perpustakaan umum dibawah manajemen ilmuwan Marokko. Di Spanyol, Reyes dari Tayfas, pangeran yang mensuksesi kekhalifahan Umayyad (awal abad ke-11), menjadi terkenal di antara perpustakaan di Saragossa, Granada, Toledo dan lokasi lainnya. Sekitar lima puluh tahun sebelumnya, pada wilayah yang sama Al-Hakam II (349-365 Hijriah / 961-976 Masehi) diperkirakan memiliki koleksi sekitar 400,000 sampai dengan 600,000 buku. Dia memperkerjakan para ahli salin dan penjilid buku serta mengirimkan para agen ke setiap propinsi untuk membeli dan mentranskrip buku-buku untuknya.

Selain perpustakaan masjid, pada zaman keemasan Islam, perpustakaan pribadi juga berkembang. Di bawah kekuasaan Almohad di Marokko pada abad ke-13 terdapat Maktaba Ibnu Tarawa yang terkenal, penulis sejarah amatir sekaligus penulis manuskrip; Maktaba al-Qaysi dan Maktaba Ibnu Assukur, pustakawan utama perpustakaan kerajaan, dibutuhkan lima onta penuh untuk mengangkut semua koleksi buku-bukunya. Khizanat Sabbur dibentuk pada abad ke-11 oleh Abu Nasir Sabbur bin Ardashir seorang menteri pemerintahan Buwwahyds di Bahgdad. Perpustakaan Khizanat Sabbur tercatat sebagai pusatnya orang-orang penting dan terpelajar yang diantara mereka diskusi seringkali diadakan. Diantara ilmuwan Islam, tidak ada yang tidak pernah membuahkan buku karyanya sendiri, Shalaby menyimpulkan bahwa jumlah perpustakaan pribadi yang ada saat itu sama dengan jumlah orang-orang yang terpelajar yang mencapai ribuan. Perpustakaan Ibnu al Mutran seorang ahli kedokteran memiliki, menurut Ibu Abi Usaybi'a, memiliki lebih dari 3,000 volume koleksi; dan memperkerjakan sekaligus tiga orang ahli salin. Juga di Baghdad pernah sebuah perpustakaan umum pada abad ke-9 membutuhkan 120 onta untuk memindahkan koleksinya dari satu tempat ke tempat yang lain.

Aspek lainnya yang juga mengagumkan dari perpustakaan islam adalah organisasi dan manajemen mereka; mengagumkan, juga karena saat ini tidak begitu banyak yang menerapkan. Baik perpustakaan umum maupun pribadi mengklasifikasi koleksinya dengan memberikan tempat yang berbeda-beda bahkan kadang-kadang ruangan khusus seperti yang dilakukan di perpustakaan-perpustakaan Baghdad. Perawatan yang luar biasa, menurut Olga Pinto, dilakukan karena perpustakaan tersebut diperuntukkan untuk umum. Beberapa perpustakaan, seperti yang ada di Shiraz, Cordoba dan Kairo diberikan struktur yang terpisah-pisah dengan banyak ruangan dan fungsi yang berbeda-beda; ruang galeri dengan rak-rak yang di dalamnya buku-buku tersimpan, ruangan di mana pengunjung dan belajar dan membaca, ruang untuk menyalin manuskrip, dan ruang untuk menjilid buku-buku serta banyak fungsi ruang lainnya. Terdapat katalog yang sangat akurat dari setiap koleksinya untuk membantu pembaca/pengunjung. Katalog yang dimaksud tidak seperti yang seperti kita lihat perpustakaan saat ini, namun terkumpul dalam sebuah buku atau lebih. Untuk satu perpustakaan pribadi saja saat itu membutuhkan 10 volume buku sebagai katalognya. Sementara di Andalusia (Spanyol) katalog yang mencakup koleksi di perpustakaan Al Hakam mencapai 44 volume. Isi dari setiap bagian pada rak buku juga didaftar pada secarik kertas dan merujuk pada laci di luarnya (mungkin ini yang lebih mirip dengan katalog manual dibanyak perpustakaan saat ini); berfungsi untuk menunjukkan koleksi yang tidak lengkap atau kurang lengkap pada beberapa bagian. Pengkalatogan manuskrip saat itu adalah hal yang normal, terutama pada perpustakaan besar dimana katalog dibutuhkan untuk memudahkan temu kembali serta memberikan kontrol pada pustakawan atas kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan. Mengutip buku al-Jawza oleh Ibnu al-Qadi, Al-Fasi menulis bahwa ketika Perpustakaan Kota Fez, Abu Inan, di dalam Masjid Qarawiyyin didirikan pada 750 hijriah / 1349 Masehi pendirinya, yakni Sultan al- Mutawakkil, menunjuk seorang pustakawan yang tugas pertamanya mencatat setiap koleksi yang ada di dalam perpustakaan. Selama penelitiannya di Masjid Qayrawan di Tunisia, Shabuh menggali sebuah katalog yang disusun pada 693 Hijriah / 1923 Masehi berisi dengan cukup detil mengenai apa-apa saja isi perpustakaan masjid. Sampai dengan 1370 Hijriah/ 1950 Masehi buku-buku koleksi perpustakaan Al-Azhar telah mencapai 120,000 volume dan dicatat di dalam enam puluh volume katalog dengan 3,500 halaman total. Sebuah manuskrip pada periode keemasan Islam besarnya tidak begitu berbeda dengan buku-buku saat ini, terbuat dari kertas berkualitas dengan tulisan di kedua sisinya dan sampul kulit.

Selain perpustakaan sebagai tempat mengakses buku, masyarakat saat itu dapat membeli buku pada toko buku setempat. Setiap toko buku normal memiliki beberapa ratus judul buku, namun toko buku yang besar memiliki lebih banyak lagi untuk dibeli. Pemilik toko buku yang cukup terkenal, Ibnu al-Nadim seorang bibliophile dan penjual buku, memiliki tempat lantai paling atas di bangunan yang cukup besar di mana pembeli datang untuk melihat manuskrip yang dijual, menikmati suasana dan bertukar ide.

Al-Fahrist, katalog buku-buku yang dijual oleh Ibnu Nadim (bisa didapatkan di dalam toko atau dimana saja yang dapat mengakses toko bukunya), mendaftar lebih dari enam puluh ribu judul dengan subjek yang sangat luas; bahasa dan kaligrafi, skrip Yahudi dan Kristiani, Al-Qur'an dan tafsirnya, linguistik, sejarah dan genealogi (studi tentang keturunan seseorang atau sekelompok keluarga), terbitan resmi pemerintahan (kekhalifahan), tata cara pengadilan, puisi-puisi Islam dan sebelum Islam, terbitan dari sekolah-sekolah Islam, biografi, fiksi populer, travel (India, China dan Indochina), sihir, subjek umum dan fabel. Bagian pertama dari bab pertamanya al-Fahrist dikhususkan pada berbagai macam gaya penulisan termasuk dengan huruf kanji (China), kualitas kertas buku ini sangat-sangat-sangat bagus sekali.

Masyarakat dapat juga meminjam buku-buku. Yaqut menyebutkan bahwa dia diperbolehkan meminjam tidak kurang dua ratus volume tanpa harus membayar semacam jaminan. Mungkin Yaqut adalah pengecualian dan sangat jarang terjadi, namun apa yang terjadi menunjukkan bagaimana hasrat yang luar biasa untuk dapat membaca buku-buku pasa masyarakat Islam di saat itu. Peminjaman buku biasanya harus sesuai peraturan dan perundang-undangan yang hampir sama dengan apa yang biasa diterapkan pada perpustakaan saat ini antara lain ; peminjam harus menjaga dengan sangat hati-hati koleksi yang mereka pinjam; dilarang mencoret-coret buku, bila menemui kesalahan tulis misalnya diharapkan untuk melaporkannya kepada pustakawan; serta mengembalikan buku paling lama sampai tanggal yang ditentukan. Perpustakaan masjid memiliki peraturannya sendiri dalam meminjamkan buku, tentu saja namanya saja menempel dengan masjid, namun yang membedakan dengan perpustakaan lain adalah di perpustakaan masjid anda dapat menemukan bagian khusus untuk pembacanya. Perpustakaan masjid yang besar secara khusus memberikan tempat yang nyaman bagi pemakainya tidak hanya untuk membaca namun juga untuk menulis. Ruangan tersebut didisain dengan cahaya yang memadai, ruang yang nyaman dengan karpet, mat dan matras duduk. Sultan al-Mutawakkil, lagi-lagi, bahkan memerintahkan untuk membangun sebuah tempat khusus untuk pembaca perpustakaan dinamakan `zawiyat qurra' yang dihiasi dengan perlengapan serta furnitur yang elegan.

Sudah menjadi kebiasaan untuk menunjuk seorang pustakawan dalam bertanggung-jawab dengan urusan perpustakaan. Tugas semacam ini hanya untuk orang-orang yang paling terpelajar untuk menjadi penanggung jawab perpustakaan. Manajemen perpustakaan almohand, menurut Ibnu Farhun, adalah salah satu posisi di pemerintahan yang sangat menguntungkan, yang diambil dari ilmuwan yang terbaik. Al Tazi, ditunjuk menjadi pustakawan yang mana dipilih dari antara orang terpelajar dan terbaik dalam masyarakat. Perpustakaan Masjid Agung Aleppo, Sufiya, memiliki Muhammad al-Qasarani sebagai pustakawannnya, al Qasarani adalah seorang pujangga dan memiliki pengetahuan yang mendalam pada sastra, geometri, aritmatika, dan astronomi. Orang-orang seperti ini, menurut Mackensen, sangat bangga dapat ditunjuk sebagai pustakawan. It speaks highly for the generosity of the patrons as well as for the really important work carried out in these libraries that men of marked ability in various fields felt it worth their while to undertake the duties of custodian.

Kesimpulan

Kecintaan Islam pada ilmu pengetahuan menaikkan posisi penulis dan ilmuwan, evolusi industri penerbitan adalah hasil dari kembangkitan Islam di masa lalu. Dalam seratus tahun setelah kebangkitan Islam, Industri buku yang terintegrasi dan sangat kompleks berkembang di dalam Dunia Islam. Tekhnik industri buku mengalami pengembangan dalam setiap tahapnya : komposisi, penyalinan, penambahan ilustrasi, penjilidan, penerbitan, penyimpanan dan penjulannya. Membaca buku atau sekaligus mendengar buku ketika sedang didiktekan menjadi salah satu pekerjaan yang sangat penting saat itu. Dalam beberapa kota besar seperti Baghdad dan Damaskus hampir setengah dari penduduknya terlibat dalam industri buku dan penerbitan. Bagaimanapun, produksi buku adalah industri sekaligus sebagai institusi, sebuah institusi dengan praktek dan kebiasaannya sendiri, memiliki kontrol penuh atas pemalsuan dan salah penterjemahaan, di atas itu semua, adalah institusi yang menjamin pendidikan dan buku bukan menjadi hak preogratif dari segelintir orang saja, namun terbuka untuk siapa saja yang berkeinginan maju. Institusi ini juga menjamin para ilmuwan dan pengarang buku secara ekonomi dan diakui nama mereka dalam karya-karya yang mereka telurkan.

Kebutuhan akan literatur yang tinggi dari populasi oang-orang yang sangat terpelajar, kemampuan menggandakan manuskrip, permintaan yang sangat banyak dari institusi pendidikan pada akhirnyalah yang menstimulis industri buku. Dalam dua ratus tahun sepemeninggalnya Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam Industri buku dapat ditemukan hampir pada setiap sudut Dunia Muslim. Memang, seluruh peradaban Islam berotasi di sekitar buku. Perpustakaan, baik itu milik kerajaan, umum, khusus maupun pribadi, menjadi hal yang sangat biasa; toko buku ditemukan hampir di mana saja dari yang kecil, menempel pada masjid, di pusat kota, pusat toko buku, bahkan sampai menyempil sendirian dalam sebuah pasar; dan tentu saja orang-orang yang terlibat di dalam industri buku (dari pengarang, penerjemah, penyalin buku, ahli tafsir, pustakawan sampai penjual buku juga kolektor) yang datang dari semua kelas di masyarakat, dengan berbagai kebangsaan dan etnis serta latar belakang, bersaing dalam arti yang positif dalam memproduksi dan mendistribusikan buku-buku.

Digunakannya kertas bukannya papirus atau kulit sapi dan domba (parchment) menjadikan buku-buku sangat murah. Pemakaian kertas juga akhirnya memberikan efek yang luarbiasa pada waktunya ketika pembuatan kertas diserap oleh barat. Orang-orang Eropa pada masa abad pertengahan masih menggunakan parchment, karena biayanya yang sangat mahal maka menimbulkan masalah ketika harus digandakan. Keuntungan lainnya akan kertas adalah, karena murahnya biaya produksi, penyebaran dan pergerakan yang demikian luasnya atas ilmu pengetahuan. Karena itu, sebagaimana yang Pedersen simpulkan, dengan memproduksi kertas dalam skala besar, orang-orang islam mencapai kemampuan yang sangat luar biasa yang tidak dapar dipandang sebelah mata tidak hanya dalam sejarah buku-buku di Dunia Islam namun seluruh dunia.


Foto 1 Ilustrasi al-Azhar, foto diambil dari library.wustle.edu

Foto 2 Gedung Perpustakaan saat ini, lokasi tidak diketahui diambil dari sini

Foto 3 The mosque of Touba, center of the Mouride brotherhood, of which President Wade is a member. The picture is taken from outside a very important Islamic library and center of learning. Sumber foto dari sini

KETIKA PERPUSTAKAAN ADALAH RUMAH BIJAK



Rumah Bijak

Darul Hikmah, Bait Al-Hikma, Dar Al Hikma..." The House of Wisdom" atau dalam Bahasa Indonesia, Rumah Bijak. Suatu saat pada masa kejayaan Islam adalah tempat yang sangat terkenal, karena status, sumber dayanya serta manfaatnya bahkan lebih banyak lagi. Saat ini mungkin anda akan melihat Rumah Bijak ini sebagaimana British Council di Inggris, Library of Congress di Amerika dan Nationale Biblitheque di Paris. Yah, benar kita sedang berbicara tentang perpustakaan namun bukan hanya sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai akademi ilmu sosial dan sains di mana orang-orang cerdas berkumpul untuk berdialog, berdiskusi dan saling berbagi ilmu.

Adalah Khalifah Harun Al-Rashid yang berkuasa delama 23 tahun dari 786-809 Masehi pendiri Akademi Saintifik yang sangat terkenal (Majma' ‘Ilmi) yang mana di dalamnya terdapat penyimpanan buku-buku yang sangat menakjubkan (Khizanat Kutub) berbagai manuskrip dan buku dalam berbagai subjek baik sosial dan sains tersedia di sana, tidak hanya dalam Bahasa Arab namun bahkan juga dalam Bahasa dunia lainnya.

Koleksi yang tersimpan dalam ruangan ini memiliki sejarah akuisisi yang cukup lama dibanding masa hidup Khalifah Harun Al-Rashid sendiri, bila dihitung telah sejak tiga generasi usaha mengumpulkan koleksi dilakukan. Usaha pertama dilakukan oleh kakeknya yakni Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur Juga dikenal dengan Al-Mansur, berkuasa selama 21 tahun dari 754-775 Masehi. Al-Mansur masyhur karena membangun Kota lingkar Baghdad. Tradisi mengumpulkan koleksi ini dilanjutkan oleh ayah Khalifah Harun Al-Rasyid, yakni Khalifah Mohammad Al-Mahdi berkuasa selama 11 tahun dari 775-785 Masehi). Dan generasi ketiga tentu saja Khalifah Harun Al-Rasyid sendiri, yang rajin mengumpulkan koleksi selama perjalanan dan ekspedisi militernya. Akhirnya, karena memiliki jumlah koleksi yang sangat banyak dan beragam akhirnya akademi ini lebih dikenal dengan Rumah Bijak (Bayt Al-Hikma and Dar Al-Hikma)

Sedikit mengenai Kota Lingkar Baghdad, dibangun tahun 766-777 Masehi, dirancang untuk memiliki bentuk melingkar dengan diameter sepanjang 2 km. Memiliki empat buat gerbang utama, yang saling membelakangi satu sama lain. Gerbang Barat Daya adalah gerbang Kufa, di Tenggara terdapat Gerabang Basra, sedangkan Gerbang Khurasan terdapat di Barat Laut dan Gerbang Damaskur diletakkan di Timur Laut. Tembok yang mengelilingi Kota Baghdad terbuat dari bata-bata yang terbuat dari lumpur dicampur semacam rerumputan, sedangkan kubah dan atap terbuat dari bata yang dipanggang.

Kembali ke kisah Rumah Bijak atau the house of wisdom atau Darul Hikmah dimana selalu diasosiakian dengan Kekhalifahan Harun Al-Rasyid namun ketika anaknya berkuasa yakni Al-Ma'mun Daul Hikmah ini dikembangkan lebih besar lagi dengan membangun satu sayap bangunan untuk setiap subjek. Bayangkan, ketika perpustakaan saat ini memasukkan satu subjek ke dalam 1-2 rak di dalam gedung perpustakaannya, namun kala itu butuh satu bangunan sendiri untuk mengumpulkan satu subjek, bila ada sepuluh subjek maka otomatis saat Al-Ma'mun berkuasa membutuhkan sepulu sayap bangunan.

Rumah Bijak, selain menjadi perpustakaan, juga menunjuk arti sebagai gudang buku (penyimpanan buku) Al-Hikma (Khizanat Al-Hikma), juga Penyimpanan Buku Rumah Bijak Al-Ma'mun (Khizanat Dar Al-Kutub Al-Ma'mouniya). Penting untuk diperhatikan bahwa makna Bahasa Arab Khizanat Kutub, yang secara leterluk memang berarti tempat penyimpanan buku, adalah juga arti kata saat itu yang diartikan menjadi : perpustakaan.

Ingat, bahwa perpustakaan Rumah Bijak berdiri di dalam sebuah akademi sains, dalam akademi ini penterjemah, ilmuwan, peulis buku, para analis, penyalin buku (saat itu belum ada mesin cetak) dan banyak lagi profesi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan terjemahan, membaca, menulis, kaligrafi, pendidikan, dialog dan diskusi. Banyak sekali buku dengan subjek ilmiah yang beragam serta konsep dan ide-ide filosofi tidak hanya dalam satu Bahasa namun lebih, diterjamahkan di dalam Rumah Bijak ini.

Selain Bahasa Arab sebagai lingua franca, digunakan juga sehari-hari dalam tulisan, percakapan dan bahkan dibaca pada akademi ini yakni, Bahasa Parsi, Yahudi, Aramaik, Syriak, Yunani dan Latin dan kadang-kadang juga Sanskrit berguna untuk menerjemahkan manuskrip tua dari India biasanya dengan subjek matematik dan astronomi.

Para Penterjemah

Khalifah Abdullah Al-Ma'mun putra dari Khalifah Harun Al-Rasyid berkuasa selama 20 tahun (dari 813-833 Masehi.). Selama berkuasa beliau membesarkan dan memperluas Rumah Bijak (Bayt Al-Hikma) mendesain galeri (Riwaq) untuk setiap cabang ilmu pengetahuan ('Ilm). Banyak ulama (ilmuwan..bukankah ulama= orang yang berilmu?) dalam bidang sosial dan sains, penerjemah terkenal, penulis serta lainnya setiap harinya bekerja di Rumah Bijak. Tentunya pekerjaan mereka tidak berbeda jauh dari ilmuwan saat ini yakni : membaca, menganalisa, menerjamahkan, mengkopi, mengomentari dan tentunya menulis sebagaimana juga berdialog dan berdiskusi juga terlibat dalam mentransfer ilmu yang mereka miliki dengan mengajar.

Diantara penterjemah yang terkenal saat itu tersebutlah Yuhanna bin Al-Batriq Al-Turjuman (penterjemah Jonah son of the Patriarch), dia lebih nyaman dengan filosofi daripada kedokteran, dia yang menerjemahkan Buku Tentang Hewan (Kitab Al-Haywan) tulisan Aristotle yang terdiri dari sembilan belas bagian bahasan (Maqalat). Juga, ada Hunayn bin Ishaq Al-‘Ibadi yang menerjemahkan beberapa karya ahli filosofi Yunani, Hippocrates.

Al-Ma'mun menunjuk Hunayn untuk membawahi Departeman Terjemahan (Diwan Al-Tarjama). Ditunjuknya Hunayn bukan tanpa alasan, dia menguasai empat Bahasa yakni Syriac, Arab. Kabarnya Khalifah menggaji Hunayn dengan emas seberat buku hasil terjemahannya ke dalam Bahasa Arab. Sedihnya, Hunayn selalu memilih kertas yang paling tebal dan memerintahkan ahli tulisnya untuk menulis dengan huruf-huruf yang besar dan margin yang lebar antar barisnya. Hunayn telah banyak menerjamahkan banyak buku dari Bahasa Persia, Yunan dan Syriak. Kebenaran kisah Huyan di atas diragukan oleh penulis asli artikel ini, menurutnya sangat tidak mungkin karena demikan banyaknya buku yang telah diterjemahkan Hunayn tentunya akan membangkrutkan Khalifah bila memang tabiat Hunayn seperti itu, selain itu juga kisah di atas sepertinya hanya membuat Hunayn menjadi antagonis dan memberikan kesan dia sebagai orang yang egois dan serakah.

Ilmuwan terkenal Abu Yusuf Yakub Al-Kindi seorang ahli medis (kedokteran), filosofer, matematikawan, ahli geometeri, ahli logika dan astronomes ditunjuk oleh Al-Ma'mun sebagai salah satu ilmuwan yang bertanggung jawab menerjemahkan karya-karya Aristoetels. Beliau memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya yang dikenal dengan nama Al-Kindiya.

Usaha Akuisisi Buku oleh Khalifah

Suatu saat dalam masa hidupnya Khalifah Al-Ma'mun mendengar tentang perpustakaan yang menakjubkan di Sicilia. Khalifah menulis surat yang ditujukan kepada Raja Sicilia saat itu memintanya untuk menyatukan koleksi perpustakaan Sicilia, yang kebanyakan berisi buku-buku mengenai filosofi dan ilmu sains Bangsa Yunani, dengan Perpustakaan Rumah Bijak milik Khalifah Al-Ma'mun.Atas saran pendeta penasehat Raja Sicila yang menganggap bahwa buku-buku yang berada dalam perpustakaan mereka memiliki efek negatif bagi masyaraskat saat itu, segera saja mengirimkan semua koleksi perpustakaan kepada Khalifah Al-Ma'mun. Seperti yang kita fahami saat itu gereja dan sains saling bertolak belakang dan sampai sekarang kisah Galileo yang dipaksa minum racun oleh gereja karena meyakini bumi itu bulat, masih dikenang.

Al-Ma'mun juga dikenal karena kebiasaannya memenuhi ratusan unta dengan buku-buku tulisan tangan yang mengagumkan dari Khurasan (Tenggara Persia) menuju Baghdad untuk melengkap perpustakaannya di Darul Hikma (Rumah Bijak). Selain juga dikenal karena ketertarikannya akan penterjemahan dan pentranskripan.

Pernah Al-Ma'mun meminta Kerajaan Byzantium, saat itu masih menjadi kerajaan Kristen, untuk mengizinkan mengirimkan beberapa dari ilmuwan Kekhalifahan guna menerjemahkan beberapa buku yang sekiranya bermanfaat yang tersimpan di dalam kerajaan Byzantium; Raja Byzantium memberikan jawaban yang positif. Khalifah lantas mengirimkan beberapa ilmuwannya, dan memerintahkan mereka untuk menerjemahkan apa saja yang mereka bisa terjemahkan dari orang-orang bijak Yunani, dan mengoreksi apa yang fihak lain pernah terjemahkan. Diantara ilmuwan yang khalifah kirim adalah Al-Hajjaj bin Mater, Ibn Al-Batreeq, Salam bin Haroun (Supervisor dan manajer Rumah Bijak / Bayt al-Hikma saat ini profesi itu dikenal dengan....pustakawan), Youhanna bin Masawayh and Hunayn bin Ishaq.

Banyak yang memanfaatkan ( membaca, menulis, mescribing, penterjemahan, bahkan hubungan antar penulis) Rumah Bijak ini, di antaranya yang terkenal bahkan selalu diasosiasikan dengan Rumah Bijak adalah : Banu Musa bin Shakir Al-Munajjim (ahli astronomi) ayah dari tiga putra yakni Muhammad, Ahmad, dan Al-Hasan; Yahya bin Abi Mansour Al-Munajjim Al-Ma'mouni (ahli Astronomi Ma'mun); Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi; Sa'id bin Harun Al-Katib (juru tulis) Hunayn bin Ishaq Al-'Ibadi, dan putranya Ishaq, and sepupunya dari fihak ibu Haseeb Al-Hasan Al-As'am; Thabit bin Qurra; ‘Umar bin Farrukhan Al-Tibari; Yahya bin Abi Mansour Al-Mosuli, Al-Sunouberi Al-Halabi, Al-Fadhl bin Bobekht, ‘Allan Al-Shu'oubi, dan banyak lagi.

Perlu diingat juga, Khalifah Al-Ma'mun tidak hanya senang mengumpulkan buku-buku untuk perpustakaannya. Namun dia, yang juga fasih berBahasa Arab dan Persia karena ibunya adalah keturunan Persia dari Khurasan, juga aktif dan bergabung bersama ilmuwan, ulama serta orang biijak dalam seminar, pengajaran dan diskusi dari pelabagai subjek dalam ilmu sosial dan sains.

Ketika kita memasuki gedung perpustakaan Rumah Bijak kita akan melihat, diperkirakan, bahwa setiap khalifah memiliki ruang sendiri-sendiri : Al-Mansour, Al-Mahdi, Al-Rasheed, and Al-Ma'moun, berdasarkan koleksi yang mereka kumpulkan. Bahkan masing-masing ruang koleksi memiliki pustakawannya.

Tentunya bila melihat data-data di atas Rumah Bijak yang terkenal baik status, lingkup, besarnya, sumber dayanya, juga penggunanya, dan lain-lain mirip dengan perpustakaan British di London atau Nationale Bibliotheque di Paris, selain juga Rumah Bijak saat itu juga sebuah Akademi untuk ilmu sosial dan sains dimana orang-orang pintar datang berbondong-bondong untuk berdialog, berdiskusi dan saling bertukar ilmu.

Sangat menyedihkan dan tragis, Rumah Bijak harus berakhir secara brutal pada 12 february 1258 bersama dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol yang dipimpin oleh Hulegu (Cucu dari Jenghis Khan), yang juga membunuh khalifah terakhir, Al-Musta'sim, Kekhalifahan Abasiyah. Walaupun sebenarnya saat itu Khalifah sudah menyerahkan diri untuk menghentikan penghancuran lebih lanjut Kota Baghdad dan warisan budayanya. Helegu juga memerintahkan untuk menghabisi semua keturunan dan keluarga Khalifah, termasuk juga mereka yang berada di Bilat Al-Khilapha. Penaklukan Mongol atas Baghdad ini selain menghancurkan banyak warisan budaya Islam saat itu juga mengakhiri Kekhalifahan Abbasiyah.

Bangsa Mongol tidak tertarik sama sekali dengan apa yang ada di dalam Rumah Bijak,. Ratusan tahun usaha mengumpulkan buku-buku, terjemahan dari berbagai ilmu semua dibuang ke dalam air berlumpur Sungai Tirgis. Hingga sampai akhirnya moment tersebut tetap dikenang di mana warna air Sungai Tirgis yang tadinya coklat menjadi hitam selama sehari akibat lunturnya tinta-tinta dari jutaan buku-buku dan manuskrip.

Selain Rumah Bijak banyak Perpustakaan di Baghdad (Khaza'in Al-Kutub Al-Baghdadiya) yang tergabung pada sekolah-sekolah agama (madrasah) setiapnya memiliki ribuan koleksi buku dan manuskrip juga ikut jmenjadi korban bar-barnya bangsa Mongol. Belum lagi perpustakaan pribadi yang tidak dibuka untuk umum namun tetap bisa digunakan oleh para ilmuwan, filsuf, peneliti dan penulis.

Tetapi akhirnya ide tentang Rumah Bijak tidak mati begitu saja. Beberapa kota di propinsi paling timur pada Dunia Islam didirikan Rumah Ilmu Pengetahuan (Dour Al-‘Ilm, singular Dar Al-‘Ilm) antara abad ke 9-10 untuk mengikuti peran Darul Hikma atau Rumah Bijak di Baghdad. Kota-kota tersebut antara lain Mosul, Basra, shiraz, Rayy dan lain-lain

Khalifah Al-Ma'mun dan Sumbangsihnya

Al-Ma'mun juga seperti ayahnya, Al-Rashid, banyak membangun institusi pendidikan sekelas perguruan tinggi saat ini, observatorium dan pabirk-pabrik tekstil. Selama Al-Ma'mun berkuasa jumlah yang dibangunnya sekitar 332 institusi dengan jumlah siswa yang selalu memenuhinya dalam mengejar ilmu dari sosial sampai sains. Al-Ma'mun tidak menganggap enteng institusi-institusi yang dibangunnya, terbukti hanya dengan disain arsitektur yang terbaik institusi tersebut dibangun. Bahkan untuk menghormati kedudukan institusi ini Al-Ma'mun menempatkan kebanyakannya satu komplek dengan masjid-masjid dan gedung-gedung monumental (Mashadid). Padahal itu hanya institusi pendidikan tinggi, belum lagi sekolah-sekolah pendidikan dasar yang berjumlah lebih banyak.

Selain membangun Rumah Bijak yang mengagumkan itu Khalifah Al-Ma'mun juga membangun obesrvatorium bintang (Marsad Falaki) di distrik Shammasiya, Baghdad. Khalifah mempercayakan observatorium ini kepada Sanad bin Ali Al-Yahoudi yang dikenal sebagai ahli bintang (Astronomi) nya Al-Ma'mun (Munajjim Ma'mouni), selain Sanad juga observatorium ini dipercayakan kepada Yahya bin Abi Mansour, dan Khalid bin Abdil Mala. Sebagai buahnya, Sanad atas bantuan observatorium dan bantuan teman-temannya, berhasil menulis ephemeris (zeej) yang terkenal yakni sebuah tabel yang menghitung posisi benda planet melalui interval regular sepanjang periode. Konon kabarnya Sanad diIslamkan oleh Khalifah Al-Ma'mun sendiri.

Dia juga membangun rumah sakit (Bimarstanat or Maristanat), yang dipenuhi dengan ahli-ahli medik, ahli bedah, ahli mata, dokter gigi, serta para mahasiswa yang sedang belajar kedokteran (dan tentu saja juga ada pasien-pasiennya yang sedang menderita penyakit tertentu). Atas jasanya banyak ahli sejarah yang menggelari Al-Ma'mun dengan "The Master of Arabic Civilisation" atau dalam Bahasa Arab "Ustad Al-Hadhara Al-Arabiya" karena apa yang dia bangun dan wariskan sangan bermanfaat pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sampai saat ini.

Posisi Rumah Bijak yang saat itu berada pada sebuah ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah pada masa keemasaannya sangat penting. Karena Baghdad memainkan peran yang sangat dominan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahkan kemakmuran ke seantero kekuasaannya yang mencangkup area yang sangat luas di muka bumi.

Baghdad mencapai zaman keemasannya saat dibawah kekuasaan khalifah Rasheed, al-Ma'mun, Al-Mu'tadhid dan Al-Muktafi. Bangunan-bangunan di kota Baghdad saat itu menyebar sangat luas hingga memenuhi pinggiran Sungai Tigris di kedua sisinya, sebagai akibat urbanisasi kota ini semakin padat, saat itu penduduknya telah mencapai sekitar satu juta orang. Baghdad saat Kekhalifhan Abbasiyah adalah pusatnya Kebudayaan dan peradaban dunia Islam (bahkan dunia keseluruhan karena saat itu Eropa masih dalam abad kegelapan). Baghdad juga menjadi pusatnya seni, sains dan sastra. Kota Baghdad dipenuhi dengan banyak sekali ilmuwan dari ahli sains, ahli kedokteran, filsuf, ahli matematika, ahli astronomi, sastrawan, penulis, pujangga, penterjemah, juru tulis serta para seniman yang ahli dalam berbagai macam bentuk ukiran atau jenis seni lainnya.

Selain Rumah Bijak di Baghdad dan Kairo Mesir, adalah Perpustakaan Besar Cordoba dari Dinasti Umayyad di Andalusia berisi ribuan koleksi buku dan manuskrip yang sangat menakjubkan. Namun bagaimana seseorang menyadari kehebatan koleksi perpustakaan tersebut? Adalah saat ini kita membaca dalam buku-buku sejarah yang setelah 1492 setelah Andalusia jatuh ke tangan Spanyol sekitar setengah juta buku dan manuskrip yang tidak ternilai harganya dihancurkan dan dibakar!

Harus diakui ada saja persaingan antara tiga perpustakaan besar Islam saat itu dalam mendapatkan buku-buku dan manuskrip yang sangat berharga, juga tentunya bersaing untuk mendapatkan orang-orang terdidik agar mahu bekerja di perpustakaan mereka. Namun persaingan ini bukan suatu yang negatif, malah sebaliknya karena memberikan keuntungan bagi penelitian ilmu pengetahuan dan Publikasi ilmiah di Dunia Islam.

Tidak berlebihan bila saat ini kita membayangkan siluet di balik senja yang mulai turun, onta dan karavannya penuh dengan buku-buku danma nuskrip dari segala penjuru Dunia Islam dalam perjalanannya menuju tiga perpustakaan besar yang saling bersaing tadi, yakni : Rumah Bijak atau Darul Hikma di Baghdad, Darul Hikma di Kairo dan Perpustakaan Besar Kordoba, Andalusia. Pemandangan yang sangat menakjubkan.

Tragisnya, untuk kedua kalinya, selama perang di Irak 2003, Perpustakaan Pusat di Baghdah, Gedung Manuskrip Islam (Dar Al-Makhtoutat Al-Islamiya) juga di Baghdad serta banyak perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum di Baghdad, Mosulk dan Basra mengalami nasib yang hampir sama dengan Rumah Bijak saat Kekhalifahan Abbasiyah ditaklukan Mongol, dihancurkan dan dibakar habis. Bahkan artefak warisan budaya selama ribuan tahun di musim Irak mengalami nasib yang sama.


Catatan-Catatan

Catatan dari penulis asli artikel tulisan ini di mana term "pertengahan" yang sering kali digunakan dalam literatur peradaban. Menurutnya tidak dapat diterima untuk menyebut "Abad Pertengahan Peradaban Islam", "Abad Pertengahan Arsitektur Islam", "Abad Pertengahan Sains Islam", "Abad Pertengahan Filosofi Islam" dan seterusnya. Ini karena term "pertengahan" hanya merujuk pada sejarah Eropa. Sementara saat itu Eropa sedang dalam tidur panjangnya di kegelapan, Abad Pertengahan mereka, kebudayaan dan pencapaian yang sangat luar biasa majunya pada saat yang sama pada Dunia Islam sedang mengalami puncak kejayaannya. Penulis artikel ini menganjurkan term yang lebih pantas yakni antara lain : "Masa Keemasan Islam". "Masa Keemasan Peradaban Islam", "Abad Islam", "Era Islam", "Epik Islam", "Masa Islam" dan lain-lain.

Catatan dari saya : Belajar dari Rumah Bijak Baghad rasanya malu sekali bila melihat bagaimana kondiri perpustakaan nasional Indonesia dan kebanyakan perpustakaan di negeri Islam lainnya di muka bumi ini. Seperti kehilangan semangat untuk mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Saya melihatanya begini, selain saat itu mereka sangat sadar sekali bahwa mencari ilmu benar-benar poin yang sangat penting dalam Islam, (ingat seruan "bacalah" / "Iqro!") ada dukungan penuh dari fihak pemerintah (khalifah). Bukan saja dukungan dalam mengakuisisi buku-buku namun juga dukungan kesejahteraan bagi pegawai perpustakaannya. Bagaimana Khalifah Al-Ma'mun membayar penterjemahnya dengan emas seberat buku yang ditimbangnya adalah contoh yang luar biasa.

Dan tentu saja yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana minat pemakai/pengguna perpustakaan yang sangat luar biasa. Mereka membuat perpustakaan semakin berbunga karena melahirkan karya-karya hebat yang sampai sekarang bahkan masih digunakan. Kuncinya adalah dengan perpustakaan mereka mentransfer ilmu. Bila saat itu penterjemahan (dalam mentransfer ilmu) adalah kuncinya, kenapa saat ini tidak bisa seperti itu?


Diterjemahkan dari :

The Abbasids’ House of Wisdom in Baghdad by: Dr. Subhi Al-Azzawi, AA Dipl, PhD (UCL), ARB Architect, Kent, UK, Wed 07 February, 2007

Sumber :

http://www.muslimheritage.com/topics/default.cfm?articleID=667

Figure 1. A view of one of the two "Iwans" overlooking the courtyard of the so-called "Abbasid Palace" ("al-Qasral-'Abbasi") in Baghdad.

Figure 2. The Almageste was translated into Arab by Ishâq b. Hunayn (830-910). This manuscript, copied in a North African writing, dates back to the beginning of the XIIIth century (Image from: http://classes.bnf.fr/idrisi/pedago/culture

Figure 3. Al-Khwarazmi on a Soviet Union Stamp.