Globalisasi
Perbincangan tentang globalisasi (terlebih dibaca dari perspektif negeri-negeri pheriperie-istilah Wallerstein) akan mengambil dua pokok pertanyaan: apa itu globalisasi dan bagaimana impak pada dunia keseharian. Globalisasi sebagai konsep akan mengacu pada pemampatan dan intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Perspektif ini membawa pada jantung soal perdebatan klasik (Marx-Weber) antara kekuatan dominasi ekonomi dan kekuatan pluralisme sosio-kultural. Pada aras praksis, globalisasi adalah terciptanya sebuah dunia yang tanpa batas. Sebuah “trans-nasional ruang”. Tak berlebihan bila Giddens (1990) menyebut bahwa masyarakat kita dewasa ini adalah masyarakat “pengembara dalam ruang dan waktu” (cf. Bauman 1998).
Bila perdebatan tentang globalisasi tersebut disuarakan di negeri pheriperi, yang tumbuh bukanlah perdebatan konseptual, namun sebuah perkawinan masalah antara ekonomi dan sosial-kultural. Keduanya datang bak air bah, saling tumpang tindih menggempur dunia kehidupan.
Kekuatan ekonomi yang dimotori oleh kekuatan kapitalisme, menumbuh-kembangkan globalisasi produksi dan konsumsi. Sektor produksi muncul dengan tumbuhnya industri-transnasional, yang merambah mendekati pasar dan upah buruh murah. Proses ini menciptakan transnasionalisasi kapital, dan sekaligus melokalisir problem-problem sosial. Maka, apa yang kini kita kenal sebagai Neo-Liberalisme pun merambah dunia keseharian kita, memformat proses kebangsaan kita dan membuat tercabik-cabiknya bangunan-bangunan sosial lama. Kekuatan kapital telah menggulung tatanan sosial. Berbagai kasus kebijakan publik tentang politik swastanisasi pendidikan, adalah contoh nyata betapa dunia sosio-kultural berhadapan langsung dengan kekuatan pasar. Negara pun takluk menghamba pada sang tuan kapital.
Sektor produksi internasional yang berkembang menciptakan pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan, negeri-negeri pheripheri justru menjadi ladang subur bagi pertumbuhan tingkah laku konsumtif, yang sering tampil sebagai gaya hidup. Scott Lash menyebutnya sebagai proses estetikanisasi dunia kehidupan.
Globalisasi sektor produksi dan konsumsi, tak pelak, membawa sebuah situasi baru: polarisierung und strafizierung der Weltbevoelkerung in globalisierte Reiche und lokalisierte Arme (polarisasi dan stratifikasi penduduk dunia dalam globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum miskin-bkp) (Beck, 1997: 101). Polarisasi ekonomi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia kehidupan yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah, tidak hanya akibat dari pergeseran dari sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi adalah terjadinya konsekuensi penalaran modernitas (Giddens 1990; Beck 1986).
Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas tersebut menciptakan impak-impak yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses kerusakan atau beaya. Beck dalam bukunya “Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” (1986) menyebut proses modernitas semacam itu sebagai “masyarakat risiko”. Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.
Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi tersebut kiranya juga menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Jika di negeri-negeri “pusat” terjadi proses individuasi yang luar biasa, demikian pula masyarakat negeri-negeri “pheripheri” mengalami goncangan-goncangan luar biasa pada tatanan sosialnya. Periode transisi ini ditandai oleh proses disembedding of social system. Akibatnya, sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi yang khaotik dan pula semakin hilangnya “kepercayaan” institusional dan individual (cf. Luhman, 1999).
Paparan argumen di atas membawa pada titik-titik simpul pemahaman bahwa proses intensifikasi ruang-ruang transnasional, problem-problemnya, konflik dan peristiwa selalu berjalan dalam logika „glokal“. Inilah yang kemudian disebut proses globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut tak pelak mengerucut pada soal bahwa semuanya dimotori oleh kekuasaan pasar yang berideologi neo-liberal (globalisme).
2. Perpustakaan di Era Global
Perkembangan globalisasi sebagai hasil dari perkawinan kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi tersebut membawa pada sebuah persoalan, bagaimanakah nasib institusi pendidikan? Perbincangan tentang dunia pendidikan dan peran perpustakaan di era global pun menjadi menarik dan mendesak. Institusi pendidikan berhadapan dengan aneka tantangan. Pada aras ekonomi, institusi pendidikan dipaksa untuk tunduk mengikuti logika pasar. Pada satu sisi, institusi pendidikan mesti membangun kualitas model pendidikan yang relevan dengan pasar, namun pada saat bersamaan institusi pendidikan mengalami tekanan pasar luar biasa untuk sekedar hidup. Pada aras sosial-budaya, proses pencerabutan sistem sosial, yang menciptakan sistem komunikasi sosial khaotik, selalu memposisikan institusi pendidikan di persimpangan jalan peradaban. Bahkan, akibat proses-proses pencerabutan (disembedding) sosial tersebut, otoritas pengetahuan, yang biasa dikontrol oleh institusi pendidikan, menjadi cair. Semuanya dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi yang telah menggempur dinding-dinding sekolah/kampus, menawarkan keterbukaan baru dalam meraih pengetahuan. Siapapun, tanpa kenal ras, agama, etnik, jenis kelamin, usia, bebas memperoleh informasi lewat internet.
Leburnya batas-batas (imajiner) institusi pendidikan formal dan informal menyeret perpustakaan dalam pusaran arus yang tak bertujuan. Informasi yang dulu dikontrol oleh kehadiran perpustakaan, kini telah tergantikan oleh mesin pencari data semacam google, yahoo, dan sejenisnya. Pada kasus inilah, perpustakaan pun mencair, tak terbatasi oleh bangunan dan rak-rak buku berderet, namun lebih bermain pada jaringan dan ketersediaan informasi di dunia maya. Perpustakaan menjadi kendaraan bagi manusia untuk melakukan pengembaraan dalam “ruang”dan “waktu”.
Lebih jauh, globalisasi ekonomi dan teknologi membawa perpustakaan tak hanya bersangkut dengan dunia pendidikan dengan slogan: “perpustakaan adalah jantung dunia kampus”, namun perpustakaan juga gayut dengan sistem sosial itu sendiri. Peran-peran perpustakaan dalam dunia sosial, lalu, berada dalam ketegangan antara keteraturan dan kekhaosan sistem sosial. Persis pada titik itulah kita bertanya: tatkala sistem sosial berjalan dengan komunikasi sosial yang khaotik, adakah fungsi perpustakaan dalam era global?
3.Perpustakaan dan Strategi Kebudayaan.
Peradaban global adalah dunia informasi yang berlalu-lalang membangun realitas maya. Transformasi budaya, lalu, menuju pada kekuasaan imajiner(Appadurai 1998). Perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi, meski berada dalam ketegangan antara struktur sosial-ekonomi yang khaotik, toh masih memiliki kekuatan pembangun kekuatan informasi. Maka, peran dan fungsi perpustakaan di era global adalah bermain dan berebut kuasa informasi dalam sistem sosial. Dengan kata lain, perpustakaan akan eksis jikalau mengembangkan moda komunikasi dalam peradaban manusia.
Pengembangan peran perpustakaan dalam moda komunikasi, mengharuskan perpustakaan mengambil tugas pencerah peradaban manusia. Pencerahan saja, bahkan, tak lagi mencukupi. Perpustakaan dituntut oleh tugasnya sebagai emansipator dalam proses-proses transformasi kebudayaan. Peran-peran ini, secara konseptual, menjadikan perpustakaan sebagai medium dalam proses dialektik konstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Perpustakaan lalu menjelma menjadi „historisitas-mediasi“, yaitu menyediakan informasi yang melintas batas masa lalu, kekinian dan masa depan (Thompson 1995). Maka, perpustakaan yang baik adalah perpustakaan yang mendokumentasikan peristiwa-peristiwa masa lalu, membawa refleksi pada kekinian, dan mengajak berpikir untuk membayangkan dunia masa depan.
Logika „historitas-mediasi“ membawa peran perpustakaan sebagai ruang dialog yang melampaui batas-batas ruang dan waktu. Pada aras konteks, perpustakaan pun akan melintas-lintas pada dunia realitas dan maya, dan antara dunia lokal dan global. Perpustakaan sebagai ruang dialog peradaban dan yang bermain dalam proses moda komunikasi, dengan demikian, memiliki fungsi jelas dalam sistem sosial. Perpustakaan menjadi penanding budaya konsumtif yang serba instan hasil dari logika pasar neo-liberal. Perpustakaan tak hanya menyediakan segepok informasi, namun menyodorkan berbagai alternatif untuk sebuah agenda rekonstruksi kebudayaan. Dalam artian ini, maka peran perpustakaan adalah sebagai agen dalam proyek strategi kebudayaan.
Proyek strategi kebudayaan ini menyebabkan perpustakaan tak hanya digunakan untuk pelayanan institusi pendidikan semacam universitas dan sekolah, namun mesti hadir sebagai mediasi dalam proses komunikasi sosial masyarakat. Perpustakaan, lalu, tak hanya bermanfaat untuk para pelajar dan mahasiswa, namun penting pula bagi masyarakat luas. Demikianlah, perpustakaan akan memiliki fungsi sebagai pencatat peristiwa, merefleksikan dan menyediakan ruang imajinasi untuk membangun kebudayaan masa depan secara lebih baik.
4. Aplikasi di Tingkat Praksis.
Tataran gagasan tentang perpustakaan ideal di era globalisasi tersebut akan memperoleh peran konkret mampu diterjemahkan menjadi agenda praksis. Maka, pentinglah kini untuk berpikir dan merealisasikan gagasan membangun perpustakaan yang mampu berperan sebagai agen dalam strategi kebudayaan. Perpustakaan berperan sebagai agen dalam proses reorganisasi sosial di masyarakat, proses dialektik antara proses disembedding dan reorganisasi, dan antara struktur sosial dan agensi.
Agenda kerja pertama adalah membuka dan melekatkan kembali perpustakaan dengan dinamika masyarakatnya. Perpustakaan tak berdiri megah, terisolasi dari dunia sosial, namun turut aktif mendokumentasikan dan mensosialisasikan problem-problem dan solusi sosial. Pada tataran ini, maka perpustakaan mesti dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga perpustakaan tak hanya bersangkut dengan sekedar pinjam-meminjam buku, namun mesti pula menunjukkan dan sekaligus mengajak masyarakat untuk memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah menjadi basis bagi orientasi nilai dan tindakan dalam strategi kebudayaan. Benarlah kata pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tak mampu menjadi bangsa besar, sebab tak memiliki kesadaran sejarah. Akibatnya, bangsa Indonesia pun tak tahu arah orientasi untuk melangkah ke masa depan.
Aktivitas konkret dari perpustakaan dengan demikian adalah menjadi ruang-ruang publik, yang selalu menawarkan refleksi masa lalu dan masa kini via informasi. Pameran buku-buku, lokakarya tentang pengarsipan baik di bidang eksakta maupun sosial, dan penerbitan berkala informasi buku untuk khalayak luas adalah beberapa contoh yang dapat diambil. Berkaitan dengan peran seperti itu, ada pengalaman pribadi yang bisa menunjukkan peran perpustakaan. Dalam rangka mengingat kembali sejarah Eropa abad pertengahan, perpustakaan Universitas Muenster mengadakan pameran seluruh buku-buku yang terbit pada abad 15-17. Pameran tersebut terselenggara berkat kerja sama antar berbagai lembaga nasional dan internasional.
Agenda kerja kedua adalah perpustakaan mesti mengambil bagian secara aktif dalam kerja-kerja jaringan informasi. Perpustakaan yang tak lagi membatasi pada kerja pelayanan untuk institusi pendidikan mesti mengambil peran dalam penyediaan informasi di tingkat lokal dan global dengan model jaringan. Aras konkret adalah perpustakaan mesti mengembangkan sebuah jaringan perpustakaan, sehingga setiap orang yang memerlukan buku-buku dapat sselalu tercukupi kebutuhannya. Tak ada lagi jawaban, bahwa buku-buku tersebut tak dipunyai oleh satu perpustakaan. Model jaringan memungkinkan semua orang mengakses ke berbagai perpustakaan di berbagai penjuru dunia. Contoh konkret, seseorang dari Yogyakarta akan gampang meminjam buku yang terdapat di Jakarta, atau bahkan di perpustakaan KITLV Leiden.
Agenda kerja ketiga adalah manajemen perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi pun menjadi keharusan dalam kerja-kerja jaringan. Cukuplah orang bisa memesan buku, memperpanjang peminjaman buku via internet. Maksimalisasi pelayanan perpustakaan dengan demikian akan semakin memudahkan perpustakaan masuk pada dunia sosial kemasyarakatan.
Penutup: Perpustakaan yang Mencerahkan.
Membangun perpustakaan ideal di era global pun jelas, mesti merekonstruksi fungsi perpustakaan di aras konseptual dan praksis. Pada aras konseptual, perpustakaan yang berfungsi historitas-mediasi dalam sistem sosial menggiring peran, bahwa perpustakaan sebagai agen dalam strategi kebudayaan. Perpustakaan akan menyediakan informasi untuk kerja-kerja refleksi masa lampau, masa kini dan pembayangan tentang masa depan.
Gagasan konseptual tersebut akan dapat terlaksana jika kerja-kerja praksis manajemen perpustakaan juga mengalami rekonstruksi. Perpustakaan sebagai historitas-mediasi akan tercapai jika perannya semakin embedded pada konteks, baik dunia relaitas- maya dan dunia lokal-global.
Demikianlah, perpustakaan tidak sekedar pelayan informasi sebuah institusi pendidikan, namun mesti menjadi agen pencerah dan penentu orientasi tindakan membangun peradaban yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Perdebatan tersebut bisa dilacak dalam pemikiran Rosenau, Gilpin, Held, Robertson, Appadurai, Giddens dan Beck. Lihat Ulrich Beck, Was ist Globalisierung: Irrtuemer des Globalismus-Antworten auf Globalisierung, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1997.49-114.
Appadurai menyebut faktor pembangun globalisasi adalah technoscapes, financescapes, mediascapes dan ideoscapes. Lihat, Arjun Appadurai, „Globale Landschaften“ dalam Ulrich Beck (ed.), Perspectiven der Weltgesellschaft, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998.
Lebih detail, Giddens menyebut tiga sumber dinamika modernitas: the separation of time and space, the development of disembedding mechanisms, the reflexive appropriation of knowledge. Lihat, Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, Stanford-California, Stanford University Press, 1990.
penulis : Bambang K. Prihandono