Selasa, 16 Juni 2009

GLOBALISASI, PERPUSTAKAAN DAN STRATEGI KEBUDAYAAN

1. Memahami
Globalisasi

Perbincangan tentang globalisasi (terlebih dibaca dari perspektif negeri-negeri pheriperie-istilah Wallerstein) akan mengambil dua pokok pertanyaan: apa itu globalisasi dan bagaimana impak pada dunia keseharian. Globalisasi sebagai konsep akan mengacu pada pemampatan dan intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Perspektif ini membawa pada jantung soal perdebatan klasik (Marx-Weber) antara kekuatan dominasi ekonomi dan kekuatan pluralisme sosio-kultural. Pada aras praksis, globalisasi adalah terciptanya sebuah dunia yang tanpa batas. Sebuah “trans-nasional ruang”. Tak berlebihan bila Giddens (1990) menyebut bahwa masyarakat kita dewasa ini adalah masyarakat “pengembara dalam ruang dan waktu” (cf. Bauman 1998).

Bila perdebatan tentang globalisasi tersebut disuarakan di negeri pheriperi, yang tumbuh bukanlah perdebatan konseptual, namun sebuah perkawinan masalah antara ekonomi dan sosial-kultural. Keduanya datang bak air bah, saling tumpang tindih menggempur dunia kehidupan.
Kekuatan ekonomi yang dimotori oleh kekuatan kapitalisme, menumbuh-kembangkan globalisasi produksi dan konsumsi. Sektor produksi muncul dengan tumbuhnya industri-transnasional, yang merambah mendekati pasar dan upah buruh murah. Proses ini menciptakan transnasionalisasi kapital, dan sekaligus melokalisir problem-problem sosial. Maka, apa yang kini kita kenal sebagai Neo-Liberalisme pun merambah dunia keseharian kita, memformat proses kebangsaan kita dan membuat tercabik-cabiknya bangunan-bangunan sosial lama. Kekuatan kapital telah menggulung tatanan sosial. Berbagai kasus kebijakan publik tentang politik swastanisasi pendidikan, adalah contoh nyata betapa dunia sosio-kultural berhadapan langsung dengan kekuatan pasar. Negara pun takluk menghamba pada sang tuan kapital.

Sektor produksi internasional yang berkembang menciptakan pula tingkah laku konsumtif di berbagai belahan bumi. Bahkan, negeri-negeri pheripheri justru menjadi ladang subur bagi pertumbuhan tingkah laku konsumtif, yang sering tampil sebagai gaya hidup. Scott Lash menyebutnya sebagai proses estetikanisasi dunia kehidupan.
Globalisasi sektor produksi dan konsumsi, tak pelak, membawa sebuah situasi baru: polarisierung und strafizierung der Weltbevoelkerung in globalisierte Reiche und lokalisierte Arme (polarisasi dan stratifikasi penduduk dunia dalam globalitas kaum kaya dan lokalitas kaum miskin-bkp) (Beck, 1997: 101). Polarisasi ekonomi tersebut dibarengi pula oleh adanya situasi dunia kehidupan yang terfragmentasi. Penyebabnya adalah, tidak hanya akibat dari pergeseran dari sektor produksi menuju sektor konsumsi, namun lebih dahsyat lagi adalah terjadinya konsekuensi penalaran modernitas (Giddens 1990; Beck 1986).

Konsekuensi-konsekuensi dari penalaran dan praktik modernitas tersebut menciptakan impak-impak yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Risiko adalah kata kunci untuk mendeskripsikan proses kerusakan atau beaya. Beck dalam bukunya “Risikogesellschaft: Auf dem Weg in eine andere Moderne” (1986) menyebut proses modernitas semacam itu sebagai “masyarakat risiko”. Individuasi adalah proses sosial yang tak terelakkan, yang menghidupi dan dihidupi oleh roh modernitas.
Spirit modernitas yang menyertai proses globalisasi tersebut kiranya juga menghantam dunia kehidupan warga masyarakat. Jika di negeri-negeri “pusat” terjadi proses individuasi yang luar biasa, demikian pula masyarakat negeri-negeri “pheripheri” mengalami goncangan-goncangan luar biasa pada tatanan sosialnya. Periode transisi ini ditandai oleh proses disembedding of social system. Akibatnya, sistem komunikasi sosial masyarakat pada situasi yang khaotik dan pula semakin hilangnya “kepercayaan” institusional dan individual (cf. Luhman, 1999).

Paparan argumen di atas membawa pada titik-titik simpul pemahaman bahwa proses intensifikasi ruang-ruang transnasional, problem-problemnya, konflik dan peristiwa selalu berjalan dalam logika „glokal“. Inilah yang kemudian disebut proses globalisasi. Dimensi-dimensi tersebut tak pelak mengerucut pada soal bahwa semuanya dimotori oleh kekuasaan pasar yang berideologi neo-liberal (globalisme).

2. Perpustakaan di Era Global

Perkembangan globalisasi sebagai hasil dari perkawinan kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi tersebut membawa pada sebuah persoalan, bagaimanakah nasib institusi pendidikan? Perbincangan tentang dunia pendidikan dan peran perpustakaan di era global pun menjadi menarik dan mendesak. Institusi pendidikan berhadapan dengan aneka tantangan. Pada aras ekonomi, institusi pendidikan dipaksa untuk tunduk mengikuti logika pasar. Pada satu sisi, institusi pendidikan mesti membangun kualitas model pendidikan yang relevan dengan pasar, namun pada saat bersamaan institusi pendidikan mengalami tekanan pasar luar biasa untuk sekedar hidup. Pada aras sosial-budaya, proses pencerabutan sistem sosial, yang menciptakan sistem komunikasi sosial khaotik, selalu memposisikan institusi pendidikan di persimpangan jalan peradaban. Bahkan, akibat proses-proses pencerabutan (disembedding) sosial tersebut, otoritas pengetahuan, yang biasa dikontrol oleh institusi pendidikan, menjadi cair. Semuanya dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi yang telah menggempur dinding-dinding sekolah/kampus, menawarkan keterbukaan baru dalam meraih pengetahuan. Siapapun, tanpa kenal ras, agama, etnik, jenis kelamin, usia, bebas memperoleh informasi lewat internet.

Leburnya batas-batas (imajiner) institusi pendidikan formal dan informal menyeret perpustakaan dalam pusaran arus yang tak bertujuan. Informasi yang dulu dikontrol oleh kehadiran perpustakaan, kini telah tergantikan oleh mesin pencari data semacam google, yahoo, dan sejenisnya. Pada kasus inilah, perpustakaan pun mencair, tak terbatasi oleh bangunan dan rak-rak buku berderet, namun lebih bermain pada jaringan dan ketersediaan informasi di dunia maya. Perpustakaan menjadi kendaraan bagi manusia untuk melakukan pengembaraan dalam “ruang”dan “waktu”.
Lebih jauh, globalisasi ekonomi dan teknologi membawa perpustakaan tak hanya bersangkut dengan dunia pendidikan dengan slogan: “perpustakaan adalah jantung dunia kampus”, namun perpustakaan juga gayut dengan sistem sosial itu sendiri. Peran-peran perpustakaan dalam dunia sosial, lalu, berada dalam ketegangan antara keteraturan dan kekhaosan sistem sosial. Persis pada titik itulah kita bertanya: tatkala sistem sosial berjalan dengan komunikasi sosial yang khaotik, adakah fungsi perpustakaan dalam era global?

3.Perpustakaan dan Strategi Kebudayaan.

Peradaban global adalah dunia informasi yang berlalu-lalang membangun realitas maya. Transformasi budaya, lalu, menuju pada kekuasaan imajiner(Appadurai 1998). Perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi, meski berada dalam ketegangan antara struktur sosial-ekonomi yang khaotik, toh masih memiliki kekuatan pembangun kekuatan informasi. Maka, peran dan fungsi perpustakaan di era global adalah bermain dan berebut kuasa informasi dalam sistem sosial. Dengan kata lain, perpustakaan akan eksis jikalau mengembangkan moda komunikasi dalam peradaban manusia.

Pengembangan peran perpustakaan dalam moda komunikasi, mengharuskan perpustakaan mengambil tugas pencerah peradaban manusia. Pencerahan saja, bahkan, tak lagi mencukupi. Perpustakaan dituntut oleh tugasnya sebagai emansipator dalam proses-proses transformasi kebudayaan. Peran-peran ini, secara konseptual, menjadikan perpustakaan sebagai medium dalam proses dialektik konstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Perpustakaan lalu menjelma menjadi „historisitas-mediasi“, yaitu menyediakan informasi yang melintas batas masa lalu, kekinian dan masa depan (Thompson 1995). Maka, perpustakaan yang baik adalah perpustakaan yang mendokumentasikan peristiwa-peristiwa masa lalu, membawa refleksi pada kekinian, dan mengajak berpikir untuk membayangkan dunia masa depan.

Logika „historitas-mediasi“ membawa peran perpustakaan sebagai ruang dialog yang melampaui batas-batas ruang dan waktu. Pada aras konteks, perpustakaan pun akan melintas-lintas pada dunia realitas dan maya, dan antara dunia lokal dan global. Perpustakaan sebagai ruang dialog peradaban dan yang bermain dalam proses moda komunikasi, dengan demikian, memiliki fungsi jelas dalam sistem sosial. Perpustakaan menjadi penanding budaya konsumtif yang serba instan hasil dari logika pasar neo-liberal. Perpustakaan tak hanya menyediakan segepok informasi, namun menyodorkan berbagai alternatif untuk sebuah agenda rekonstruksi kebudayaan. Dalam artian ini, maka peran perpustakaan adalah sebagai agen dalam proyek strategi kebudayaan.

Proyek strategi kebudayaan ini menyebabkan perpustakaan tak hanya digunakan untuk pelayanan institusi pendidikan semacam universitas dan sekolah, namun mesti hadir sebagai mediasi dalam proses komunikasi sosial masyarakat. Perpustakaan, lalu, tak hanya bermanfaat untuk para pelajar dan mahasiswa, namun penting pula bagi masyarakat luas. Demikianlah, perpustakaan akan memiliki fungsi sebagai pencatat peristiwa, merefleksikan dan menyediakan ruang imajinasi untuk membangun kebudayaan masa depan secara lebih baik.

4. Aplikasi di Tingkat Praksis.

Tataran gagasan tentang perpustakaan ideal di era globalisasi tersebut akan memperoleh peran konkret mampu diterjemahkan menjadi agenda praksis. Maka, pentinglah kini untuk berpikir dan merealisasikan gagasan membangun perpustakaan yang mampu berperan sebagai agen dalam strategi kebudayaan. Perpustakaan berperan sebagai agen dalam proses reorganisasi sosial di masyarakat, proses dialektik antara proses disembedding dan reorganisasi, dan antara struktur sosial dan agensi.

Agenda kerja pertama adalah membuka dan melekatkan kembali perpustakaan dengan dinamika masyarakatnya. Perpustakaan tak berdiri megah, terisolasi dari dunia sosial, namun turut aktif mendokumentasikan dan mensosialisasikan problem-problem dan solusi sosial. Pada tataran ini, maka perpustakaan mesti dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga perpustakaan tak hanya bersangkut dengan sekedar pinjam-meminjam buku, namun mesti pula menunjukkan dan sekaligus mengajak masyarakat untuk memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah menjadi basis bagi orientasi nilai dan tindakan dalam strategi kebudayaan. Benarlah kata pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tak mampu menjadi bangsa besar, sebab tak memiliki kesadaran sejarah. Akibatnya, bangsa Indonesia pun tak tahu arah orientasi untuk melangkah ke masa depan.

Aktivitas konkret dari perpustakaan dengan demikian adalah menjadi ruang-ruang publik, yang selalu menawarkan refleksi masa lalu dan masa kini via informasi. Pameran buku-buku, lokakarya tentang pengarsipan baik di bidang eksakta maupun sosial, dan penerbitan berkala informasi buku untuk khalayak luas adalah beberapa contoh yang dapat diambil. Berkaitan dengan peran seperti itu, ada pengalaman pribadi yang bisa menunjukkan peran perpustakaan. Dalam rangka mengingat kembali sejarah Eropa abad pertengahan, perpustakaan Universitas Muenster mengadakan pameran seluruh buku-buku yang terbit pada abad 15-17. Pameran tersebut terselenggara berkat kerja sama antar berbagai lembaga nasional dan internasional.

Agenda kerja kedua adalah perpustakaan mesti mengambil bagian secara aktif dalam kerja-kerja jaringan informasi. Perpustakaan yang tak lagi membatasi pada kerja pelayanan untuk institusi pendidikan mesti mengambil peran dalam penyediaan informasi di tingkat lokal dan global dengan model jaringan. Aras konkret adalah perpustakaan mesti mengembangkan sebuah jaringan perpustakaan, sehingga setiap orang yang memerlukan buku-buku dapat sselalu tercukupi kebutuhannya. Tak ada lagi jawaban, bahwa buku-buku tersebut tak dipunyai oleh satu perpustakaan. Model jaringan memungkinkan semua orang mengakses ke berbagai perpustakaan di berbagai penjuru dunia. Contoh konkret, seseorang dari Yogyakarta akan gampang meminjam buku yang terdapat di Jakarta, atau bahkan di perpustakaan KITLV Leiden.

Agenda kerja ketiga adalah manajemen perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi pun menjadi keharusan dalam kerja-kerja jaringan. Cukuplah orang bisa memesan buku, memperpanjang peminjaman buku via internet. Maksimalisasi pelayanan perpustakaan dengan demikian akan semakin memudahkan perpustakaan masuk pada dunia sosial kemasyarakatan.
Penutup: Perpustakaan yang Mencerahkan.

Membangun perpustakaan ideal di era global pun jelas, mesti merekonstruksi fungsi perpustakaan di aras konseptual dan praksis. Pada aras konseptual, perpustakaan yang berfungsi historitas-mediasi dalam sistem sosial menggiring peran, bahwa perpustakaan sebagai agen dalam strategi kebudayaan. Perpustakaan akan menyediakan informasi untuk kerja-kerja refleksi masa lampau, masa kini dan pembayangan tentang masa depan.

Gagasan konseptual tersebut akan dapat terlaksana jika kerja-kerja praksis manajemen perpustakaan juga mengalami rekonstruksi. Perpustakaan sebagai historitas-mediasi akan tercapai jika perannya semakin embedded pada konteks, baik dunia relaitas- maya dan dunia lokal-global.
Demikianlah, perpustakaan tidak sekedar pelayan informasi sebuah institusi pendidikan, namun mesti menjadi agen pencerah dan penentu orientasi tindakan membangun peradaban yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Perdebatan tersebut bisa dilacak dalam pemikiran Rosenau, Gilpin, Held, Robertson, Appadurai, Giddens dan Beck. Lihat Ulrich Beck, Was ist Globalisierung: Irrtuemer des Globalismus-Antworten auf Globalisierung, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1997.49-114.

Appadurai menyebut faktor pembangun globalisasi adalah technoscapes, financescapes, mediascapes dan ideoscapes. Lihat, Arjun Appadurai, „Globale Landschaften“ dalam Ulrich Beck (ed.), Perspectiven der Weltgesellschaft, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1998.

Lebih detail, Giddens menyebut tiga sumber dinamika modernitas: the separation of time and space, the development of disembedding mechanisms, the reflexive appropriation of knowledge. Lihat, Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, Stanford-California, Stanford University Press, 1990.

penulis : Bambang K. Prihandono

PROGRAM PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN BERBASIS KOMPETENSI

By Bambang


Pengembangan perpustakaan itu wajib hukumnya. Pengembangan itu harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Namun pendanaan untuk pengembangan perpustakaan itu langka kenyataannya. Oleh karena itu, pendekatannya adalah sistem bergilir berdasarkan kinerja pendekatannya. Maka program hibah kompetisi itu caranya. Dengan adanya kompetisi, maka diperlukan program hibah kompetisi dengan cara proposal dan penilaian proposal, dan Tim Penilai proposal yang selain menilai dokumen proposal, mungkin juga perlu melakukan penilaian lapangan (site evalution). Penilaian lapangan ini dimaksudkan untuk mencocokkan apa yang tertulis dalam dokumen proposal dengan apa yang senyatanya ada di lapangan, dengan maksud untuk mendapatkan kepastian bahwa perpustakaan yang akan diberi dana hibah adalah perpustakaan yang memiliki potensi untuk berkembang dan mampu memanfaatkan dana tersebut sebaik-baiknya.

Jadi pustakawan harus memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi diri atas kondisi dan kemampuan perpustakaannya. Selain itu, juga harus memiliki kemampuan untuk menyusun program pengembangan yang berbasis kompetisi. Sementara itu pada tingkat instansi penyandang dana yang dikompetisikan juga harus tersedia pustakawan (Madya dan Utama) yang memiliki kemampuan untuk menilai dan menyeleksi proposal secara transparan.

Tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai lontaran gagasan awal yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan dalam pengembangan perpustakaan di negeri tercinta ini. Jika diperlukan penjelasan atau uraian yang lebih teknis dan lengkap maka penjelasan itu akan dituangkan dalam artikel atau makalah berikutnya.

Program Hibah (grants) bagi Pengembangan Perpustakaan

Jika dilakukan penelusuran atas dokumen atau kepustakaan tentang program hibah (grants) bagi pengembangan perpustakaan, maka akan diketemukan cukup banyak cantuman dalam internet. Salah satunya adalah Negara Bagian Missouri (Missouri State Government) yang menawarkan berbagai kesempatan kepada perpustakaan-perpustakaan di negara ini untuk meningkatkan layanannya melalui penggunaan anggaran federal bagi Library Services and Technology Act (LSTA) funds. Hibah anggaran ini didasarkan pada prioritas dalam Missouri Five Year State Plan 2003-2008 atau Rencana Lima Tahun Negara Bagian Missouri 2003-2008¹. Hibah ini terbuka untuk perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan khusus, dan perpustakaan sekolah, di Missouri, sekalipun tidak semua jenis hibah tersedia bagi setiap jenis perpustakaan. Untuk itu, pengelola perpustakaan harus mengajukan proposal pengembangannya kepada Secretary of State, melalui LSTA Grant Office.

Program hibah atau Grant Program ini dapat diakses secara terbuka oleh para pengelola perpustakaan melalui situs http//www.sos.mo gov/library/development/grants.asp. Dengan kata lain, hibah benar-benar tersedia untuk diperebutkan secara bebas.

LSTA Grant Program juga disediakan oleh State Library of North Carolina. Pada seksi Ovieviews dalam situsnya, didaftarkan program-program hibah yang akan disediakan untuk tahun 2007-2008 dan dijelaskan secara singkat jenis-jenis perpustakaan apa saja yang boleh mengikuti setiap program, serta jadwal kegiatan 2007-2008 yang terkait dengan proses penyusunan dan pengajuan proposal. Formulir pengajuan dan petunjuk penulisan proposal juga disediakan di situs, pada seksi Applications and Guidelines (http://statelibrary.dcr.state.nc.us/Ista/2007-2008Grants.htm#Guidelines). Dengan begitu program ini benar-benar terbuka untuk di kompetisikan secara bebas oleh para pengelola perpustakaan yang boleh mengikuti progam (eligible)².

Petunjuk penggunaan dana hibah pada State Library of North Carolina tersebut tersedia dalam situs dengan alamat http://statelibrary.dcr.state.nc.us/gates/gates.htm. Dijelaskan, bahwa sesuai dengan foundation guidelines, 75% dari total dana hibah boleh digunakan dalam dua cara, yakni: (1) pembelian/pengadaan komputer untuk akses internet bagi umum, dan (2) pembelian khusus yang diperlukan untuk meningkatkan kecepatan koneksi internet pada lokasi khusus yang diijinkan. Sedangkan 25% sisanya boleh digunakan untuk meningkatkan pengelolaan komputerisasi untuk akses publik, seperti peningkatan kapasitas server, pengadaan antivirus, dan pembelian lisensi perangkat lunak untuk komputerisasi bagi akses publik, dan lain-lain.

Dua contoh di atas memberi gambaran bahwa pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi merupakan hal yang biasa, bahkan di Negara-negara maju sekalipun. Di Negara tercinta ini memang belum lumrah, kecuali untuk pengembangan perpustakaan perguruan tinggi yang merupakan bagian dari pengembangan institusi induknya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas pernah membuka peluang bagi unit perpustakaan perguruan tinggi untuk memperebutkan dana hibah melalui program Technical and Professional Supports Devolopment Program (TPSDP), Devolopment for Undergraduate Education (DUE), DUE-Like, dan SP4 Plus³. Untuk memenangkan hibah tersebut, unit perpustakaan, yang dimasukkan dalam kelompok/kategori Institusional Support System (ISS) atau University Wide Programs atau Program Cakupan Perguruan Tinggi (PCPT), harus menyusun proposal pengembangan yang didasarkan pada hasil evaluasi diri atas kondisi dan kemajuan hingga saat disusunnya proposal tersebut. Melalui program SP4 Plus, misalnya sebuah unit perpustakaan dapat memperoleh hibah dana pengembangan maksimal sebesar Rp 250.000.000,- per tahun selama 2 tahun anggaran. Pada tahun 2006 yang lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas secara khusus juga meluncurkan Program Hibah Kompetisi Peningkatan Mutu Pendidikan (PHK PMP) bagi perguruan tinggi swasta (PTS), untuk pengembangan laboratorium dan perpustakaan.

Evaluasi Diri

Suatu institusi dalam menyusun rencana pengembangan, harus melakukan evaluasi diri (self evaluation) untuk mengetahui kondisi perkembangan dan kemajuan pada saat ini (state of the art review). Dalam evaluasi diri ini beberapa pendekatan dapat dilakukan, antara lain pendekatan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (KKPA, atau SWOT: strength, weakness, opportunity, dan threat). Analisis ini penting, karena dana hibah yang relatif terbatas itu harus benar-benar dapat dimanfaatkan dengan baik, dan hanya perpustakaan yang memiliki kekuatan dan potensi untuk berkembanglah yang seyogyanya memperoleh dana hibah tersebut.

Analisis KKPA juga dapat dilaksanakan menurut aspek-aspek tertentu yang dianggap penting dalam menilai penyelenggaraan perpustakaan. Sebagai contoh, dalam konteks pengembangan berbasis kompetisi ini, menurut hemat penulis, dapat ditetapkan aspek-aspek pengembangan yang dapat diakronimkan sebagai SO CURELY, dengan penjabaran sebagai berikut:

- Scientific Orientation, perpustakaan harus berorientasi kepada pengembangan suasana keilmuan, yang tercermin dari komprehensivitas bidang ilmu yang di koleksikannya, kemuktahiran, kerelevansian dan pemanfaatan kemajuan pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi, baik dalam pengelolaan aset maupun dalam penyelenggaraan layanan.

- Comprehensiveness, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya mencakup seluruh bidang ilmu secara proporsional; selain itu, juga ada komitmen untuk menyediakan sumber-sumber informasi dalam berbagai media, sehingga informasi benar-benar tersedia secara komprehensif.

- Uptodateness, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya mutakhir, antara lain ditandai dengan mudanya tahun penerbitan.

- Relevancy, perpustakaan selalu mengupayakan agar koleksinya sesuai dengan kebutuhan pengguna, baik atas dasar kebijakan pengadaan yang ditetapkan maupun berdasarkan studi identifikasi kebutuhan yang dilaksanakan secara berkala.

- Efficiency and effectiveness, perpustakaan selalu mengupayakan agar dalam pengelolaan dan penyelenggaraan layanannya dilaksanakan secara efisien dan efektif, mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada secara cost-effective.

- Leadership, pengelolaan dan penyelenggaraan layanan perpustakaan harus didasarkan pada sistem manajemen yang jelas, dengan kepemimpinan yang kuat berdasarkan perencanaan yang strategis; kepemimpinan di sini bukan hanya kepemimpinan individual yang disandang oleh para pejabat struktural, namun juga kepemimpian kolektif yang dapat dilihat dari kekompakan, hubungan baik antara pimpinan dan staf, kerjasama, dan kebulatan-tekad (commitment) seluruh karyawan dalam perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Dalam rumusan lain, aspek ini mungkin dapat disebut sebagai budaya organisasi yang mengutamakan kekompakan kerjasama, dan komunikasi yang baik dan produktif antar semua karyawan.

- Trendy, perpustakaan harus senantiasa mengikuti tuntutan kemajuan iptek, mengikuti trend atau kecenderungan terbaru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tentu saja sangat dimungkinkan untuk menetapkan aspek-aspek pengembangan lain yang dianggap paling dibutuhkan, atau yang memiliki tingkat prioritas tinggi.

Proposal Pengembangan

Jika suatu perpustakaan dapat melakukan evaluasi diri secara lengkap, kemudian hasil evaluasi diri-nya secara jelas dapat menemukenali aspek-aspek kekuatan dan kelemahan internal, serta aspek-aspek peluang dan tantangan eksternal, maka perpustakaan itu akan dapat menemukenali masalah-masalah dan akar permasalahannya yang perlu ditangani. Hasil ini menjadi dasar bagi perencanaan program pengembangan ke depan berdasarkan skala prioritas dan urgensinya. Program pengembangan yang direncanakan seyogyanya didasarkan pada cara pendekatan atau strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi kelemahan (strategi SW), memanfaatkan peluang untuk mengatasi kelemahan (strategi OW), menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman (strategi ST), dan memanfaatkan peluang untuk menghadapi ancaman (strategi OT). Kesemuanya itu dituangkan dalam sebuah proposal pengembangan yang dikompetisikan.

Agar kesempatan mengajukan proposal pengembangan ini terbuka secara adil kepada setiap perpustakaan dalam kategori yang sama, maka seyogyanya dikembangkan suatu pedoman atau guideline untuk penyusunan proposal yang diharapkan. Dalam guideline tersebut selain dikemukakan sistematika proposal, juga perlu dijelaskan langkah-langkah penyusunannya, termasuk langkah-langkah dalam melakukan evaluasi diri (termasuk aspek-aspek penting yang harus dievaluasi), menyusun laporannya, serta cara-cara menggunakan laporan hasil evaluasi diri tersebut dalam penyusunan proposal pengembangan.

Selain itu, guideline juga harus menjelaskan bentuk-bentuk program/kegiatan pengembangan yang dapat diusulkan (eligible), berikut rincian dananya untuk setiap program. Program hibah pada Negara bagian Missouri di atas, misalnya menyediakan berbagai bentuk program hibah yang disediakan. Salah satu di antaranya adalah Career Development Grant. Program hibah ini menyediakan bantuan finansial bagi staf perpustakaan dan badan pengelola perpustakaan umum untuk mengikuti pendidikan lanjutan dan/atau pelatihan, manakala anggaran lokal tidak mencukupi untuk membiayai seluruhnya. Kegiatan yang diijinkan meliputi lokakarya baik tingkat regional, tingkat Negara bagian, maupun tingkat nasional; konferensi, seminar atau program pengembangan karier lainnya yang ditawarkan oleh asosiasi profesi, atau badan layanan umum non-profit lainnya. Kegiatan lainnya yang bisa diikuti adalah kursus berbasis web (Web-based instructional courses), dan pelatihan teknis atau pelatihan khusus yang ditawarkan oleh penyedia layanan non-profit.

Dalam kaitan dengan prinsip SO CURELY di atas, maka bentuk program/kegiatan pengembangan yang dapat diusulkan, antara lain:

1. Pengembangan koleksi, yang sekaligus mencakup peningkatan Scientific Orientation, Comprehensiveness, Up-to-dateness, dan Relevancy; namun, jika anggaran rutin untuk pengembangan koleksi sudah cukup besar, sebaiknya dana hibah ini digunakan untuk pengembangan lainnya yang tidak bisa didanai dari anggaran rutin.

2. Pengembangan sistem pengelolaan dan pelayanan, yang mencakup aspek efficiency and effectiveness serta aspek trendy; dalam era pemanfaatan teknologi informasi dewasa ini, pengembangan sistem jaringan merupakan tuntutan pengembangan yang mendesak.

3. Pengembangan ketenagaan, baik melalui pendidikan gelar maupun pendidikan non-gelar yang tentunya terkait dengan peningkatan kualitas Leadership kepemimpinan kolektif dalam penyelenggaraan perpustakaan.

Dalam setiap program pengembangan tersebut dapat dicakup berbagai kegiatan atau sub-program yang terkait. Dalam pengembangan koleksi misalnya, dapat diusulkan pengadaan jenis-jenis koleksi tertentu, perawatan/perbaikan, dan pelestarian (alih media). Dalam pengembangan sistem dapat diusulkan pengembangan layanan baru, pengadaan perangkat sistem otomasi, atau pendidikan pengguna. Dan dalam pengembangan ketenagaan dapat diusulkan pengiriman tenaga untuk mengikuti diklat, penyelenggaraan kursus/pelatihan internal, studi banding, atau juga pengiriman tenaga untuk studi lanjut bidang perpustakaan. Namun jika masa berlangsungnya program hibah ini memungkinkan untuk mendukung pembiayaan program pendidikan gelar, maka seyogyanya dana hibah digunakan hanya untuk program-program pendidikan non-gelar, termasuk penyelenggaraan lokakarya dengan mendatangkan tenaga ahli dari institusi perpustakaan yang lebih maju.

Penyandang Dana

Jika semua pihak mematuhi ketentuan tentang Perpustakaan Nasional RI, maka jelaslah bahwa penanggung jawab atas semua upaya pengembangan perpustakaan di negeri ini adalah Perpustakaan Nasional RI sebagai lembaga pemerintah non departemen (LPND). Apalagi jika nanti Undang-Undang tentang Perpustakaan telah disahkan, maka Perpustakaan Nasional RI sebagai LPND bidang perpustakaan jelas menjadi penanggung jawab atas semua upaya pengembangan perpustakaan pada tataran nasional. Oleh karena itu, penyandang dana untuk pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini semestinya juga Perpustakaan Nasional RI.

Dalam bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa dana untuk pengembangan perpustakaan termasuk kategori langka, bukan hanya terbatas. Maka pada tahap pertama Perpustakaan Nasional RI dapat menetapkan pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini hanya berlaku bagi perpustakaan umum saja. Bahkan, jika ternyata ada beberapa tataran kondisi perkembangan dan kemajuan perpustakaan umum di seluruh wilayah negeri ini, maka Perpustakaan Nasional RI bisa menetapkan kompetisi ini hanya terbuka bagi perpustakaan umum tipe atau kondisi tertentu, misalnya: yang koleksinya kurang dari sekian ribu, atau yang terletak di luar jawa, atau pembatasan yang lainnya. Dengan pembatasan demikian maka perpustakaan yang tidak termasuk kategori yang ditetapkan tidak akan diperbolehkan mengikuti kompetisi.

Dengan penetapan semacam itu, maka pihak penyandang dana telah dapat merencanakan kebutuhan anggaran pengembangan yang akan di kompetisikan, misalnya untuk sekian perpustakaan masing-masing sekian juta, untuk sekian tahun anggaran. Dengan demikian diharapkan bahwa dana yang disediakan/dianggarkan bukan hanya dibagi rata ( karena mungkin pembagiannya menjadi relatif kecil) tanpa ada jaminan pasti bahwa dana itu bermanfaat secara cost-effective bagi pengembangan perpustakaan, melainkan diberikan kepada perpustakaan yang memang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berkembang.

Program pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini mungkin merupakan hal baru, kecuali bagi perpustakaan perguruan tinggi. Oleh karena itu, jika program ini benar-benar akan dilaksanakan, pihak penyandang dana juga perlu melakukan pelatihan dan sosialisasi secukupnya. Hal itu penting, agar maksud dan tujuan program ini benar-benar tercapai.

Jika Gayung Bersambut …

Sebagaimana dikemukakan dalam judul di atas, lontaran ide pengembangan perpustakaan berbasis hibah kompetisi ini masih bersifat gagasan awal. Gagasan ini, sejujurnya, dikembangkan berdasarkan pengalaman penulis mengikuti dan menjadi reviewer atas program pengembangan perguruan tinggi berbasis kompetisi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Penulis melihat bahwa sistem hibah kompetisi tersebut sangat bagus, memotivasi dan menantang institusi perguruan tinggi untuk berkompetisi secara sehat. Budaya kompetisi yang sehat seperti itu memang perlu terus di kembangkan, agar pendanaan yang relatif tidak cukup besar dapat digunakan secara cost effective oleh institusi yang memang mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memanfaatkannya.

Jika gagasan tersebut bersambut, tentu saja diperlukan tindak lanjut yang mencakup berbagai tahapan persiapan/perencanaan. Untuk itu pihak Perpustakaan Nasional RI, khususnya Biro Perencanaan, perlu melakukan sejumlah kegiatan kaji-tindak, antara lain penyusunan guideline, sosialisasi, dan pengangkatan sejumlah reviewer untuk menilai proposal yang akan masuk.

Semoga melalui pola pengembangan berbasis hibah kompetisi ini tingkat kemajuan dan perkembangan perpustakaan di negeri ini semakin tinggi dan merata. Dengan demikian misi utama perpustakaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sungguh-sungguh dapat dilaksanakan dengan relatif mudah dan cepat.

Daftar Sumber :

¹Diturunkan dari http://www.sos.mo.gov/library/Ista_03-08.pdf

²Diturunkan dari http://statelibrary.dcr.state.nc.us/gates.htm

³Diringkaskan dari informasi pada http://dikti.org/phk/

Penulis : A.C. Sungkono Hadi ( Pustakawan Madya Universitas Cendrawasih, Jayapura )

PENGEMBANGAN MINAT BACA MASYARAKAT


A. Pendahuluan

Membaca merupakan keterampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan keterampilan bawaan yang dapat dikembangkan, dibina dan dipupuk melalui kegiatan belajar mengajar. Lingkungan pendidikan merupakan basis yang sangat strategis untuk mengembangkan kebiasaan membaca, kegiatan membaca sudah semestinya merupakan aktivitas rutin sehari-hari bagi masyarakat ilmiah dan pendidikan untuk memperoleh pengetahuan atau informasi.

Dalam dunia pendidikan, membaca mempunyai fungsi sosial untuk memperoleh kualifikasi tertentu sehingga seseorang dapat mencapai prestasi (achievement reading), seseorang peserta didik agar memperoleh kelulusan dengan baik, harus mempelajari atau membaca sejumlah bahan bacaan yang direkomendasikan oleh pendidik, begitu sebaliknya seorang pendidik untuk meraih kualifikasi tertentu dalam mengajar atau menulis ilmiah juga harus didukung dengan kegiatan membaca berbagai bahan bacaan untuk selalu memperbaharui pengetahuannya secara kontinyu, sesuai dengan perkembangan yang ada.

Kebiasaan membaca merupakan sesuatu yang penting dan fundamental yang harus dikembangkan sejak dini dalam rangka untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.

Upaya pembinaan minat baca telah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan pencanangan gemar membaca yang masih sangat hangat diingatan kita yaitu tanggal 17 Mei kemarin dicanangkan sebagai hari Buku Nasional, dengan harapan masyarakat Indonesia lebih giat untuk membaca buku. Namun bagaimana hasil yang diperoleh di Indonesia bila dibanding dengan negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan India. Hasil temuan dari UNDP menunjukkan Negara kita masih jauh di bawah negara-negara tersebut yaitu pada urutan ke-96, posisi ini sangat memprihatinkan kalau bangsa kita mengklaim sebagai bangsa yang besar.

B. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca di Indonesia

Masalah minat baca di Indonesia telah banyak dibahas melalui tulisan, seminar, workshop dan berbagai media. Namun masalah ini masih sangat menarik untuk kita pelajari bersama. Mengapa ? Kenyataan di lapangan, walaupun telah banyak kalangan mengupas, bahkan Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai cara, yang salah satunya pada tanggal 17 Mei telah dicanangkan sebagai hari Buku Nasional. Namun bagaimana hasilnya kita masih berada pada urutan ke-96 dibawah Malaysia, dan untuk Asia Tenggara hanya ada 2 (dua) negara yang ada di bawah kita yaitu Kamboja dan Laos. Padahal kalau kita cermati sejenak penerbitan koran dan majalah, dalam sepuluh tahun terakhir ini jumlahnya telah meningkat, akan tetapi hal ini tidak diikuti oleh penerbitan buku, sehingga belum ada hasil yang signifikan terhadap perkembangan minat baca masyarakat di Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan kita, Mengapa ? minat baca di Indonesia dikatakan masih rendah. Sebenarnya kalau kita simak ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca di Indonesia antara lain :

Pertama , Kurikulum pendidikan dan sistem pembelajaran di Indonesia belum mendukung kepada peserta didik, semestinya kurikulum atau sistem pembelajaran yang ada mengharuskan membaca buku lebih banyak lebih baik atau mencari informasi lebih dari apa yang diajarkan

Kedua , masih terlalu banyaknya jenis hiburan, permainan game dan tanyangan TV yang tidak mendidik, bahkan kebanyakan acara-acara yang ditanyangkan lebih banyak yang mengalihkan perhatian untuk membaca buku kepada hal-hal yang bersifat negatif.

Ketiga, Kebiasaan masyarakat terdahulu yang turun temurun dan sudah mendarah daging, masyarakat sudah terbiasa dengan cara mendongeng, berceritera yang sampai saat sekarang masih berkembang di masyarakat Indonesia.

Keempat, Rendahnya produksi buku-buku yang berkualitas di Indonesia, dan masih adanya kesenjangan penyebaran buku di perkotaan dan pedesaan, yang mengakibatkan terbatasnya sarana bahan bacaan dan kurang meratanya bahan bacaan ke pelosok tanah air

Kelima, rendahnya dukungan dari lingkungan keluarga, yang kesehariaanya hanya disibukkan oleh kegiatan-kegiatan keluarga yang tidak menyentuh aspek-aspek penumbuhan minat baca pada keluarga.

Keenam, minimnya sarana untuk memperoleh bahan bacaan, seperti perpustakaan, taman bacaan. Bahkan hal ini masih dianggap merupakan sesuatu yang aneh dan langka dalam masyarakat.

C. Strategi Pengembangan Minat Baca

Dari uraian diatas terlihat bahwa kegaiatan menbaca merupakan sesuatu yang penting dan fundamental yang harus dikembangkan secara berkelanjutan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun kalau kita lihat kenyataan dilapangan, bahwa untuk mengembangkan minat baca masyarakat kita masih banyak kendala, yang mengakibatkan rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia.

Dalam rangka upaya mengembangkan minat baca masyarakat ada beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain :

Pertama, mendesain kurikulum atau sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan kegiatan membaca bahan bacaan yang terkait dengan kurikulum atau sistem pembelajaran yang ada.

Kedua, pendidik berupaya merekomendasikan bahan-bahan bacaan yang harus dibaca oleh peserta didik yang dikaitkan dengan tugas-tugas pembelajaran, hal ini juga harus di informasikan ke pustakawan atau perpustakaan agar disediakan bahan bacaan yang direkomendasikan, sehingga peserta didik dengan sendirinya akan mencari dan membaca bahan bacaan di perpustakaan.

Ketiga, Tersedianya sarana sumber informasi/Perpustakaan/Taman Bacaan/Pusat Dokumentasi dan Informasi yang memadai, mudah terjangkau dan representatif, sehingga pengguna merasa butuh informasi yang ada di perpustakaan, dan perpustakaan juga dapat memenuhi kebutuhan pengguna.

Keempat, Pemerataan akses informasi dengan dikembangkannya Taman Bacaan ke tingkat desa, sehingga masyarakat di pedesaan juga merasakan adanya penyebaran informasi atau ilmu pengetahuan.

Kelima, menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat, betapa petingnya kebiasaan membaca, karena dengan membaca akan dapat membuka wacana baru dan menambah wawasan terkait dengan perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi. Ini dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan cara menerapkan Gerakan Membaca ( 20 minutes reading of mother and child ) sebagaimana yang dikembangkan di Jepang. Gerakan ini mengharuskan Ibu mengajak Anak membaca selama 20 menit sebelum tidur.

D. Penutup

Pengembangan minat baca pada masyarakat merupakan tugas berat, karena tugas pengembangan minat baca ini diperlukan campur tangan dari berbagai pihak ( pendidik, keluarga, lingkungan dan pemerintah) serta harus didukung adanya sarana prasarana yang memadai. Tugas pendidik dan keluarga harus ada hubungan yang demokratis dalam mendidik keluarga, dengan membiasakan diri membaca dan mendiskusikan isinya, serta mengurangi frekuensi menonton TV, pendidik memfasilitasi kebutuhan bahan bacaan yang direkomendasikan di perpustakaan.. Lingkungan atau Masyarakat juga harus dikondisikan dengan membuat sejenis peraturan lingkungan yang terkait dengan program penentuan waktu belajar, sehingga masyarakat akan mengikuti ketentuan yang telah diterapkan di lingkungan masyarakat tersebut. Kemudian Tugas Pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana seperti perpustakaan, taman baca, dan pusat-pusat informasi lainnya serta memberikan subsidi buku-buku bacaan sampai ke pelosok tanah air, agar masyarakat luas dapat memperoleh fasilitas sumber informasi dengan cepat dan mudah.

E. Daftar Bacaan

1. SIREGAR, A. Ridwan. Perpustakaan Energi Pembangunan Bangsa.—Medan : Universitas Sumatera Utara, 2004.

2. E. KOSWARA (editor). Dinamika Informasi dalam Era Global.-- Bandung : IPI dan Remadja Rosdakarya, 1998.

3. HARDJOPRAKOSO, Mastini , Bunga Rampai Kepustakawanan.-- Jakarta : Perpustakaan Nasional RI.,

4. http://www.dunia.ibu.org/

5. http://www.librarycorner.org/

6. http://www.cybertokoh.com/

7. FA. WIRANTO (editor). Perpustakaan dalam dinamika pendidikan dan kemasyarakatan.—Semarang : UNIKA Soegiyopranoto, 2008