Kamis, 25 Juni 2009

KETIKA PERPUSTAKAAN ADALAH RUMAH BIJAK



Rumah Bijak

Darul Hikmah, Bait Al-Hikma, Dar Al Hikma..." The House of Wisdom" atau dalam Bahasa Indonesia, Rumah Bijak. Suatu saat pada masa kejayaan Islam adalah tempat yang sangat terkenal, karena status, sumber dayanya serta manfaatnya bahkan lebih banyak lagi. Saat ini mungkin anda akan melihat Rumah Bijak ini sebagaimana British Council di Inggris, Library of Congress di Amerika dan Nationale Biblitheque di Paris. Yah, benar kita sedang berbicara tentang perpustakaan namun bukan hanya sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai akademi ilmu sosial dan sains di mana orang-orang cerdas berkumpul untuk berdialog, berdiskusi dan saling berbagi ilmu.

Adalah Khalifah Harun Al-Rashid yang berkuasa delama 23 tahun dari 786-809 Masehi pendiri Akademi Saintifik yang sangat terkenal (Majma' ‘Ilmi) yang mana di dalamnya terdapat penyimpanan buku-buku yang sangat menakjubkan (Khizanat Kutub) berbagai manuskrip dan buku dalam berbagai subjek baik sosial dan sains tersedia di sana, tidak hanya dalam Bahasa Arab namun bahkan juga dalam Bahasa dunia lainnya.

Koleksi yang tersimpan dalam ruangan ini memiliki sejarah akuisisi yang cukup lama dibanding masa hidup Khalifah Harun Al-Rashid sendiri, bila dihitung telah sejak tiga generasi usaha mengumpulkan koleksi dilakukan. Usaha pertama dilakukan oleh kakeknya yakni Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur Juga dikenal dengan Al-Mansur, berkuasa selama 21 tahun dari 754-775 Masehi. Al-Mansur masyhur karena membangun Kota lingkar Baghdad. Tradisi mengumpulkan koleksi ini dilanjutkan oleh ayah Khalifah Harun Al-Rasyid, yakni Khalifah Mohammad Al-Mahdi berkuasa selama 11 tahun dari 775-785 Masehi). Dan generasi ketiga tentu saja Khalifah Harun Al-Rasyid sendiri, yang rajin mengumpulkan koleksi selama perjalanan dan ekspedisi militernya. Akhirnya, karena memiliki jumlah koleksi yang sangat banyak dan beragam akhirnya akademi ini lebih dikenal dengan Rumah Bijak (Bayt Al-Hikma and Dar Al-Hikma)

Sedikit mengenai Kota Lingkar Baghdad, dibangun tahun 766-777 Masehi, dirancang untuk memiliki bentuk melingkar dengan diameter sepanjang 2 km. Memiliki empat buat gerbang utama, yang saling membelakangi satu sama lain. Gerbang Barat Daya adalah gerbang Kufa, di Tenggara terdapat Gerabang Basra, sedangkan Gerbang Khurasan terdapat di Barat Laut dan Gerbang Damaskur diletakkan di Timur Laut. Tembok yang mengelilingi Kota Baghdad terbuat dari bata-bata yang terbuat dari lumpur dicampur semacam rerumputan, sedangkan kubah dan atap terbuat dari bata yang dipanggang.

Kembali ke kisah Rumah Bijak atau the house of wisdom atau Darul Hikmah dimana selalu diasosiakian dengan Kekhalifahan Harun Al-Rasyid namun ketika anaknya berkuasa yakni Al-Ma'mun Daul Hikmah ini dikembangkan lebih besar lagi dengan membangun satu sayap bangunan untuk setiap subjek. Bayangkan, ketika perpustakaan saat ini memasukkan satu subjek ke dalam 1-2 rak di dalam gedung perpustakaannya, namun kala itu butuh satu bangunan sendiri untuk mengumpulkan satu subjek, bila ada sepuluh subjek maka otomatis saat Al-Ma'mun berkuasa membutuhkan sepulu sayap bangunan.

Rumah Bijak, selain menjadi perpustakaan, juga menunjuk arti sebagai gudang buku (penyimpanan buku) Al-Hikma (Khizanat Al-Hikma), juga Penyimpanan Buku Rumah Bijak Al-Ma'mun (Khizanat Dar Al-Kutub Al-Ma'mouniya). Penting untuk diperhatikan bahwa makna Bahasa Arab Khizanat Kutub, yang secara leterluk memang berarti tempat penyimpanan buku, adalah juga arti kata saat itu yang diartikan menjadi : perpustakaan.

Ingat, bahwa perpustakaan Rumah Bijak berdiri di dalam sebuah akademi sains, dalam akademi ini penterjemah, ilmuwan, peulis buku, para analis, penyalin buku (saat itu belum ada mesin cetak) dan banyak lagi profesi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan terjemahan, membaca, menulis, kaligrafi, pendidikan, dialog dan diskusi. Banyak sekali buku dengan subjek ilmiah yang beragam serta konsep dan ide-ide filosofi tidak hanya dalam satu Bahasa namun lebih, diterjamahkan di dalam Rumah Bijak ini.

Selain Bahasa Arab sebagai lingua franca, digunakan juga sehari-hari dalam tulisan, percakapan dan bahkan dibaca pada akademi ini yakni, Bahasa Parsi, Yahudi, Aramaik, Syriak, Yunani dan Latin dan kadang-kadang juga Sanskrit berguna untuk menerjemahkan manuskrip tua dari India biasanya dengan subjek matematik dan astronomi.

Para Penterjemah

Khalifah Abdullah Al-Ma'mun putra dari Khalifah Harun Al-Rasyid berkuasa selama 20 tahun (dari 813-833 Masehi.). Selama berkuasa beliau membesarkan dan memperluas Rumah Bijak (Bayt Al-Hikma) mendesain galeri (Riwaq) untuk setiap cabang ilmu pengetahuan ('Ilm). Banyak ulama (ilmuwan..bukankah ulama= orang yang berilmu?) dalam bidang sosial dan sains, penerjemah terkenal, penulis serta lainnya setiap harinya bekerja di Rumah Bijak. Tentunya pekerjaan mereka tidak berbeda jauh dari ilmuwan saat ini yakni : membaca, menganalisa, menerjamahkan, mengkopi, mengomentari dan tentunya menulis sebagaimana juga berdialog dan berdiskusi juga terlibat dalam mentransfer ilmu yang mereka miliki dengan mengajar.

Diantara penterjemah yang terkenal saat itu tersebutlah Yuhanna bin Al-Batriq Al-Turjuman (penterjemah Jonah son of the Patriarch), dia lebih nyaman dengan filosofi daripada kedokteran, dia yang menerjemahkan Buku Tentang Hewan (Kitab Al-Haywan) tulisan Aristotle yang terdiri dari sembilan belas bagian bahasan (Maqalat). Juga, ada Hunayn bin Ishaq Al-‘Ibadi yang menerjemahkan beberapa karya ahli filosofi Yunani, Hippocrates.

Al-Ma'mun menunjuk Hunayn untuk membawahi Departeman Terjemahan (Diwan Al-Tarjama). Ditunjuknya Hunayn bukan tanpa alasan, dia menguasai empat Bahasa yakni Syriac, Arab. Kabarnya Khalifah menggaji Hunayn dengan emas seberat buku hasil terjemahannya ke dalam Bahasa Arab. Sedihnya, Hunayn selalu memilih kertas yang paling tebal dan memerintahkan ahli tulisnya untuk menulis dengan huruf-huruf yang besar dan margin yang lebar antar barisnya. Hunayn telah banyak menerjamahkan banyak buku dari Bahasa Persia, Yunan dan Syriak. Kebenaran kisah Huyan di atas diragukan oleh penulis asli artikel ini, menurutnya sangat tidak mungkin karena demikan banyaknya buku yang telah diterjemahkan Hunayn tentunya akan membangkrutkan Khalifah bila memang tabiat Hunayn seperti itu, selain itu juga kisah di atas sepertinya hanya membuat Hunayn menjadi antagonis dan memberikan kesan dia sebagai orang yang egois dan serakah.

Ilmuwan terkenal Abu Yusuf Yakub Al-Kindi seorang ahli medis (kedokteran), filosofer, matematikawan, ahli geometeri, ahli logika dan astronomes ditunjuk oleh Al-Ma'mun sebagai salah satu ilmuwan yang bertanggung jawab menerjemahkan karya-karya Aristoetels. Beliau memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya yang dikenal dengan nama Al-Kindiya.

Usaha Akuisisi Buku oleh Khalifah

Suatu saat dalam masa hidupnya Khalifah Al-Ma'mun mendengar tentang perpustakaan yang menakjubkan di Sicilia. Khalifah menulis surat yang ditujukan kepada Raja Sicilia saat itu memintanya untuk menyatukan koleksi perpustakaan Sicilia, yang kebanyakan berisi buku-buku mengenai filosofi dan ilmu sains Bangsa Yunani, dengan Perpustakaan Rumah Bijak milik Khalifah Al-Ma'mun.Atas saran pendeta penasehat Raja Sicila yang menganggap bahwa buku-buku yang berada dalam perpustakaan mereka memiliki efek negatif bagi masyaraskat saat itu, segera saja mengirimkan semua koleksi perpustakaan kepada Khalifah Al-Ma'mun. Seperti yang kita fahami saat itu gereja dan sains saling bertolak belakang dan sampai sekarang kisah Galileo yang dipaksa minum racun oleh gereja karena meyakini bumi itu bulat, masih dikenang.

Al-Ma'mun juga dikenal karena kebiasaannya memenuhi ratusan unta dengan buku-buku tulisan tangan yang mengagumkan dari Khurasan (Tenggara Persia) menuju Baghdad untuk melengkap perpustakaannya di Darul Hikma (Rumah Bijak). Selain juga dikenal karena ketertarikannya akan penterjemahan dan pentranskripan.

Pernah Al-Ma'mun meminta Kerajaan Byzantium, saat itu masih menjadi kerajaan Kristen, untuk mengizinkan mengirimkan beberapa dari ilmuwan Kekhalifahan guna menerjemahkan beberapa buku yang sekiranya bermanfaat yang tersimpan di dalam kerajaan Byzantium; Raja Byzantium memberikan jawaban yang positif. Khalifah lantas mengirimkan beberapa ilmuwannya, dan memerintahkan mereka untuk menerjemahkan apa saja yang mereka bisa terjemahkan dari orang-orang bijak Yunani, dan mengoreksi apa yang fihak lain pernah terjemahkan. Diantara ilmuwan yang khalifah kirim adalah Al-Hajjaj bin Mater, Ibn Al-Batreeq, Salam bin Haroun (Supervisor dan manajer Rumah Bijak / Bayt al-Hikma saat ini profesi itu dikenal dengan....pustakawan), Youhanna bin Masawayh and Hunayn bin Ishaq.

Banyak yang memanfaatkan ( membaca, menulis, mescribing, penterjemahan, bahkan hubungan antar penulis) Rumah Bijak ini, di antaranya yang terkenal bahkan selalu diasosiasikan dengan Rumah Bijak adalah : Banu Musa bin Shakir Al-Munajjim (ahli astronomi) ayah dari tiga putra yakni Muhammad, Ahmad, dan Al-Hasan; Yahya bin Abi Mansour Al-Munajjim Al-Ma'mouni (ahli Astronomi Ma'mun); Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi; Sa'id bin Harun Al-Katib (juru tulis) Hunayn bin Ishaq Al-'Ibadi, dan putranya Ishaq, and sepupunya dari fihak ibu Haseeb Al-Hasan Al-As'am; Thabit bin Qurra; ‘Umar bin Farrukhan Al-Tibari; Yahya bin Abi Mansour Al-Mosuli, Al-Sunouberi Al-Halabi, Al-Fadhl bin Bobekht, ‘Allan Al-Shu'oubi, dan banyak lagi.

Perlu diingat juga, Khalifah Al-Ma'mun tidak hanya senang mengumpulkan buku-buku untuk perpustakaannya. Namun dia, yang juga fasih berBahasa Arab dan Persia karena ibunya adalah keturunan Persia dari Khurasan, juga aktif dan bergabung bersama ilmuwan, ulama serta orang biijak dalam seminar, pengajaran dan diskusi dari pelabagai subjek dalam ilmu sosial dan sains.

Ketika kita memasuki gedung perpustakaan Rumah Bijak kita akan melihat, diperkirakan, bahwa setiap khalifah memiliki ruang sendiri-sendiri : Al-Mansour, Al-Mahdi, Al-Rasheed, and Al-Ma'moun, berdasarkan koleksi yang mereka kumpulkan. Bahkan masing-masing ruang koleksi memiliki pustakawannya.

Tentunya bila melihat data-data di atas Rumah Bijak yang terkenal baik status, lingkup, besarnya, sumber dayanya, juga penggunanya, dan lain-lain mirip dengan perpustakaan British di London atau Nationale Bibliotheque di Paris, selain juga Rumah Bijak saat itu juga sebuah Akademi untuk ilmu sosial dan sains dimana orang-orang pintar datang berbondong-bondong untuk berdialog, berdiskusi dan saling bertukar ilmu.

Sangat menyedihkan dan tragis, Rumah Bijak harus berakhir secara brutal pada 12 february 1258 bersama dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol yang dipimpin oleh Hulegu (Cucu dari Jenghis Khan), yang juga membunuh khalifah terakhir, Al-Musta'sim, Kekhalifahan Abasiyah. Walaupun sebenarnya saat itu Khalifah sudah menyerahkan diri untuk menghentikan penghancuran lebih lanjut Kota Baghdad dan warisan budayanya. Helegu juga memerintahkan untuk menghabisi semua keturunan dan keluarga Khalifah, termasuk juga mereka yang berada di Bilat Al-Khilapha. Penaklukan Mongol atas Baghdad ini selain menghancurkan banyak warisan budaya Islam saat itu juga mengakhiri Kekhalifahan Abbasiyah.

Bangsa Mongol tidak tertarik sama sekali dengan apa yang ada di dalam Rumah Bijak,. Ratusan tahun usaha mengumpulkan buku-buku, terjemahan dari berbagai ilmu semua dibuang ke dalam air berlumpur Sungai Tirgis. Hingga sampai akhirnya moment tersebut tetap dikenang di mana warna air Sungai Tirgis yang tadinya coklat menjadi hitam selama sehari akibat lunturnya tinta-tinta dari jutaan buku-buku dan manuskrip.

Selain Rumah Bijak banyak Perpustakaan di Baghdad (Khaza'in Al-Kutub Al-Baghdadiya) yang tergabung pada sekolah-sekolah agama (madrasah) setiapnya memiliki ribuan koleksi buku dan manuskrip juga ikut jmenjadi korban bar-barnya bangsa Mongol. Belum lagi perpustakaan pribadi yang tidak dibuka untuk umum namun tetap bisa digunakan oleh para ilmuwan, filsuf, peneliti dan penulis.

Tetapi akhirnya ide tentang Rumah Bijak tidak mati begitu saja. Beberapa kota di propinsi paling timur pada Dunia Islam didirikan Rumah Ilmu Pengetahuan (Dour Al-‘Ilm, singular Dar Al-‘Ilm) antara abad ke 9-10 untuk mengikuti peran Darul Hikma atau Rumah Bijak di Baghdad. Kota-kota tersebut antara lain Mosul, Basra, shiraz, Rayy dan lain-lain

Khalifah Al-Ma'mun dan Sumbangsihnya

Al-Ma'mun juga seperti ayahnya, Al-Rashid, banyak membangun institusi pendidikan sekelas perguruan tinggi saat ini, observatorium dan pabirk-pabrik tekstil. Selama Al-Ma'mun berkuasa jumlah yang dibangunnya sekitar 332 institusi dengan jumlah siswa yang selalu memenuhinya dalam mengejar ilmu dari sosial sampai sains. Al-Ma'mun tidak menganggap enteng institusi-institusi yang dibangunnya, terbukti hanya dengan disain arsitektur yang terbaik institusi tersebut dibangun. Bahkan untuk menghormati kedudukan institusi ini Al-Ma'mun menempatkan kebanyakannya satu komplek dengan masjid-masjid dan gedung-gedung monumental (Mashadid). Padahal itu hanya institusi pendidikan tinggi, belum lagi sekolah-sekolah pendidikan dasar yang berjumlah lebih banyak.

Selain membangun Rumah Bijak yang mengagumkan itu Khalifah Al-Ma'mun juga membangun obesrvatorium bintang (Marsad Falaki) di distrik Shammasiya, Baghdad. Khalifah mempercayakan observatorium ini kepada Sanad bin Ali Al-Yahoudi yang dikenal sebagai ahli bintang (Astronomi) nya Al-Ma'mun (Munajjim Ma'mouni), selain Sanad juga observatorium ini dipercayakan kepada Yahya bin Abi Mansour, dan Khalid bin Abdil Mala. Sebagai buahnya, Sanad atas bantuan observatorium dan bantuan teman-temannya, berhasil menulis ephemeris (zeej) yang terkenal yakni sebuah tabel yang menghitung posisi benda planet melalui interval regular sepanjang periode. Konon kabarnya Sanad diIslamkan oleh Khalifah Al-Ma'mun sendiri.

Dia juga membangun rumah sakit (Bimarstanat or Maristanat), yang dipenuhi dengan ahli-ahli medik, ahli bedah, ahli mata, dokter gigi, serta para mahasiswa yang sedang belajar kedokteran (dan tentu saja juga ada pasien-pasiennya yang sedang menderita penyakit tertentu). Atas jasanya banyak ahli sejarah yang menggelari Al-Ma'mun dengan "The Master of Arabic Civilisation" atau dalam Bahasa Arab "Ustad Al-Hadhara Al-Arabiya" karena apa yang dia bangun dan wariskan sangan bermanfaat pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sampai saat ini.

Posisi Rumah Bijak yang saat itu berada pada sebuah ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah pada masa keemasaannya sangat penting. Karena Baghdad memainkan peran yang sangat dominan dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bahkan kemakmuran ke seantero kekuasaannya yang mencangkup area yang sangat luas di muka bumi.

Baghdad mencapai zaman keemasannya saat dibawah kekuasaan khalifah Rasheed, al-Ma'mun, Al-Mu'tadhid dan Al-Muktafi. Bangunan-bangunan di kota Baghdad saat itu menyebar sangat luas hingga memenuhi pinggiran Sungai Tigris di kedua sisinya, sebagai akibat urbanisasi kota ini semakin padat, saat itu penduduknya telah mencapai sekitar satu juta orang. Baghdad saat Kekhalifhan Abbasiyah adalah pusatnya Kebudayaan dan peradaban dunia Islam (bahkan dunia keseluruhan karena saat itu Eropa masih dalam abad kegelapan). Baghdad juga menjadi pusatnya seni, sains dan sastra. Kota Baghdad dipenuhi dengan banyak sekali ilmuwan dari ahli sains, ahli kedokteran, filsuf, ahli matematika, ahli astronomi, sastrawan, penulis, pujangga, penterjemah, juru tulis serta para seniman yang ahli dalam berbagai macam bentuk ukiran atau jenis seni lainnya.

Selain Rumah Bijak di Baghdad dan Kairo Mesir, adalah Perpustakaan Besar Cordoba dari Dinasti Umayyad di Andalusia berisi ribuan koleksi buku dan manuskrip yang sangat menakjubkan. Namun bagaimana seseorang menyadari kehebatan koleksi perpustakaan tersebut? Adalah saat ini kita membaca dalam buku-buku sejarah yang setelah 1492 setelah Andalusia jatuh ke tangan Spanyol sekitar setengah juta buku dan manuskrip yang tidak ternilai harganya dihancurkan dan dibakar!

Harus diakui ada saja persaingan antara tiga perpustakaan besar Islam saat itu dalam mendapatkan buku-buku dan manuskrip yang sangat berharga, juga tentunya bersaing untuk mendapatkan orang-orang terdidik agar mahu bekerja di perpustakaan mereka. Namun persaingan ini bukan suatu yang negatif, malah sebaliknya karena memberikan keuntungan bagi penelitian ilmu pengetahuan dan Publikasi ilmiah di Dunia Islam.

Tidak berlebihan bila saat ini kita membayangkan siluet di balik senja yang mulai turun, onta dan karavannya penuh dengan buku-buku danma nuskrip dari segala penjuru Dunia Islam dalam perjalanannya menuju tiga perpustakaan besar yang saling bersaing tadi, yakni : Rumah Bijak atau Darul Hikma di Baghdad, Darul Hikma di Kairo dan Perpustakaan Besar Kordoba, Andalusia. Pemandangan yang sangat menakjubkan.

Tragisnya, untuk kedua kalinya, selama perang di Irak 2003, Perpustakaan Pusat di Baghdah, Gedung Manuskrip Islam (Dar Al-Makhtoutat Al-Islamiya) juga di Baghdad serta banyak perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum di Baghdad, Mosulk dan Basra mengalami nasib yang hampir sama dengan Rumah Bijak saat Kekhalifahan Abbasiyah ditaklukan Mongol, dihancurkan dan dibakar habis. Bahkan artefak warisan budaya selama ribuan tahun di musim Irak mengalami nasib yang sama.


Catatan-Catatan

Catatan dari penulis asli artikel tulisan ini di mana term "pertengahan" yang sering kali digunakan dalam literatur peradaban. Menurutnya tidak dapat diterima untuk menyebut "Abad Pertengahan Peradaban Islam", "Abad Pertengahan Arsitektur Islam", "Abad Pertengahan Sains Islam", "Abad Pertengahan Filosofi Islam" dan seterusnya. Ini karena term "pertengahan" hanya merujuk pada sejarah Eropa. Sementara saat itu Eropa sedang dalam tidur panjangnya di kegelapan, Abad Pertengahan mereka, kebudayaan dan pencapaian yang sangat luar biasa majunya pada saat yang sama pada Dunia Islam sedang mengalami puncak kejayaannya. Penulis artikel ini menganjurkan term yang lebih pantas yakni antara lain : "Masa Keemasan Islam". "Masa Keemasan Peradaban Islam", "Abad Islam", "Era Islam", "Epik Islam", "Masa Islam" dan lain-lain.

Catatan dari saya : Belajar dari Rumah Bijak Baghad rasanya malu sekali bila melihat bagaimana kondiri perpustakaan nasional Indonesia dan kebanyakan perpustakaan di negeri Islam lainnya di muka bumi ini. Seperti kehilangan semangat untuk mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan.

Saya melihatanya begini, selain saat itu mereka sangat sadar sekali bahwa mencari ilmu benar-benar poin yang sangat penting dalam Islam, (ingat seruan "bacalah" / "Iqro!") ada dukungan penuh dari fihak pemerintah (khalifah). Bukan saja dukungan dalam mengakuisisi buku-buku namun juga dukungan kesejahteraan bagi pegawai perpustakaannya. Bagaimana Khalifah Al-Ma'mun membayar penterjemahnya dengan emas seberat buku yang ditimbangnya adalah contoh yang luar biasa.

Dan tentu saja yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana minat pemakai/pengguna perpustakaan yang sangat luar biasa. Mereka membuat perpustakaan semakin berbunga karena melahirkan karya-karya hebat yang sampai sekarang bahkan masih digunakan. Kuncinya adalah dengan perpustakaan mereka mentransfer ilmu. Bila saat itu penterjemahan (dalam mentransfer ilmu) adalah kuncinya, kenapa saat ini tidak bisa seperti itu?


Diterjemahkan dari :

The Abbasids’ House of Wisdom in Baghdad by: Dr. Subhi Al-Azzawi, AA Dipl, PhD (UCL), ARB Architect, Kent, UK, Wed 07 February, 2007

Sumber :

http://www.muslimheritage.com/topics/default.cfm?articleID=667

Figure 1. A view of one of the two "Iwans" overlooking the courtyard of the so-called "Abbasid Palace" ("al-Qasral-'Abbasi") in Baghdad.

Figure 2. The Almageste was translated into Arab by Ishâq b. Hunayn (830-910). This manuscript, copied in a North African writing, dates back to the beginning of the XIIIth century (Image from: http://classes.bnf.fr/idrisi/pedago/culture

Figure 3. Al-Khwarazmi on a Soviet Union Stamp.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar