Senin, 29 Juni 2009

Penerbit Disuruh Bikin Kode Internal Made in Toko Buku





Written by G. Aris Buntarman
Friday, 22 August 2008

Rabu 20 Agustus 2008, para penerbit pemilik showroom di Pusat Buku Indonesia berkumpul. Berdiskusi perihal rencana mengadakan penjualan buku-buku remainders. Itu istilah dunia industri buku yang sebetulnya belum populer di negeri kita. Remainders adalah buku-buku yang dihapus dari back list. Sudah tidak akan dicetak ulang lagi. Tidak berarti buku itu sama sekali tidak laku jual. Ujudnya pun masih nampak seperti buku baru. Tapi, dijual murah. Ketimbang dicincang untuk membuat kardus daur ulang. Di sela-sela diskusi, ada seorang penerbit yang memberi info bahwa ada jaringan Toko Buku besar yang meminta penerbit agar membuat nomor kode internal (dan barcode-nya) rekaan dari toko buku itu. Bukan berdasarkan ISBN. Ah, yang benar? Saya bertanya setengah nggak percaya.

Langkah jaringan toko buku di Indonesia itu tadi (kalau itu benar-benar akan dilaksanakan) sesungguhnya sudah pernah dilakukan oleh W.H. Smith, pedagang besar buku di Inggris. Ia menciptakan sistem penomoran sendiri yang saat itu diberi nama Standard Book Number (SBN). Sistem itu ternyata diterima dan diadopsi oleh Badan Standardisasi Dunia lalu diubah namanya menjadi International Standard Book Number (ISBN) dan sampai sekarang sudah dipakai di 166 negara.

Akan tetapi, harus dicatat, pada waktu itu memang belum ada sistem penomoran pada produk buku. Lha, kalau di jaman sekarang ini, sudah ada sistem penomoran buku yang berlaku secara internasional alias banyak negara yang mau pakai, kok ujug-ujug ada jaringan toko buku yang nggak mau pakai standard internasional dan barcode EAN 13 Bookland. Ini namanya nyeleneh. Saya nggak bilang itu inward looking atau egois, yang karena merasa sudah besar lalu mau mendikte kepada industri.

Jaringan toko buku besar itu boleh-boleh saja mempromosikan sistem penomoran produk hasil temuannya sendiri. Tetapi, itu akan menjadi preseden lucu di dunia. Indonesia bisa menjadi bahan tertawaan dunia lagi. Secara iseng, saya menghubungi seorang rekan yang bekerja di penerbit AS di Singapura. Dia hanya berkomentar, mustinya jaringan toko besar Indonesia itu malah memelopori penggunaan ISBN dan barcode EAN-13 Bookland. Mereka akan dianggap sebagai pahlawan industri. Kalau malah mengusulkan penggunaan nomor kode internal itu akan kelihatan egois dan tidak punya wawasan internasional. Memang ini sungguh aneh. Produk intelektual Indonesia (buku) sudah dianggap oleh orang Indonesia sendiri tidak layak jual di dunia internasional.

Dia menambahkan lagi, China memiliki pasar domestik yang besar, tapi mereka masih punya ambisi untuk masuk juga ke pasar internasional. Pekerja publik mereka pun bekerja dengan benar. Ada benarnya kata kawan itu. Beberapa tahun lalu ada pameran khusus buku China juga di Jakarta.

Akhir-akhir ini, mereka yang mulai memiliki kesadaran internasional adalah para pengelola jurnal ilmiah di perguruan-perguruan tinggi. Itu karena adanya dorongan dan lecutan dari pihak DIKTI.

Bagaimana keadaannya di kalangan para penerbit buku? Nampaknya, kekacauan ISBN di negeri kita bakal masih lama sebab bukan menjadi prioritas siapa-siapa yang mau membenahinya. Buku Indonesia nyaris ditujukan ke pasar dalam negeri. Masuk di akal kalau konvensi internasional, yaitu ISBN dan barcode-nya, dianggap tidak terlalu perlu. Malah difungsikan juga sebagai alat mendapatkan KUM. Akibatnya banyak dosen dan guru ikut antri untuk mendapatkan ISBN, lantas mencetak bukunya ke percetakan. Jangan heran kalau ada perusahaan percetakan juga memiliki ISBN Prefix Penerbit meski tidak menguasai persediaan bukunya untuk pasar.

Saya bertanya lagi kepada kawan penerbit yang ikut pertemuan dengan jaringan toko buku besar tadi. Mengapa peserta yang ikut pertemuan dengan jaringan toko buku itu tidak melontarkan pertanyaan kritis? Lha, penerbit yang ikut dalam pertemuan itu kebanyakan juga para SalesRep yang juga belum paham benar akan ISBN. Lagian, sampai sekarang masih banyak kawan-kawan kita penerbit yang menyerahkan urusan ISBN dan barcode itu kepada Office Boy. Lha, OB ini apa juga memikirkan pengembangan dan implementasi ISBN ke bidang yang lain?

Image

Saya ikut merasakan dan mengalami sendiri betapa sulitnya mengajak toko buku, penerbit, bahkan rekan sekerja sendiri di perusahaan untuk mengajak mendalami dan mempelajari sungguh-sungguh perihal ISBN dan barcode buku itu. Padahal, sistem itu nanti akan dilengkapi dengan sistem pengkodean yang lebih baru lagi. Dan, lebih rumit, tapi manfaatnya sangat besar. Pengelola ISBN Pusat di Berlin sebenarnya sudah memberikan petunjuk dan arahan, baik kepada para penerbit maupun kepada para trader (Toko Buku, Perpustakaan, dan pebisnis yang lain). Sayangnya, asosiasi mereka (IKAPI dan GATBI tidak aktif menyebar-luaskan pengetahuan ini).

Image

Image

Image

Image

Rabu 20 Agustus 2008 itu juga saya kirim e-mail kepada 80 toko buku yang tersebar di Indonesia. Saya memberitahu mereka bahwa ada 24 artikel perihal ISBN dan barcode di www.edu2000.org. Semoga bisa dipakai untuk bahan diskusi di perusahaannya. Eh, barangkali informasi perihal ISBN itu juga bisa menjadi materi atau bahan diskusi di acara Total Quality Control atau Balance Score Card yang saat ini lagi dimusimkan.

Dalam beberapa jam sesuah e-mail dikirim, ada 8 jawaban bahwa e-mail sudah diterima. Terima Kasih. Lumayan ada jawaban. Saya tunggu sampai seharian, yang 70 memang nggak menjawab. Kali-kali saja komputernya ngadat, e-mailnya nggak bisa dibuka. Tetapi, bisa saja ISBN tidak dianggap terlalu perlu. Tapi, bisa juga karena unsur The Singer. Not the Song. Bisa juga karena kita semua ini masih dikuasai tradisi kebathinan. Bilang terima kasih saja cukup di bathin. Tak perlu ditegaskan seperti budaya Barat: Thank you!

Thank Your, Sir! Terima kasih karena tulisan ini sudah dibaca.

G. Aris Buntarman
BISGI – Book Industry Study Group for Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar