Jumat, 11 Desember 2009
Pustaka Sekolah Merupakan Gudang buku rongsokan
Oleh Marjohan
Guru SMA Neg 3 Batusangkar
RATA-RATA pustaka sekolah dikelola secara serampangan karena disebabkan banyak faktor. Dalam suasana sekolah dua shift dengan jam istirahat sangat kasib membuat murid-murid enggan untuk berkunjung ke pustaka. Sebab mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk membolak balik buku dan menilai bacaan-bacaan yang lain. Murid-murid lebih senang untuk menggunakan waktu istirahat yang jumlahnya Cuma beberapa belas menit saja untuk pergi ke kantin atau bersenda gurau untuk sekedar menarik nafas segar di luar pustaka.
Hanya ada segelintir murid saja bila dibandingkan dengan total populasi sekolah. Murid-murid itu pun mengunjungi pustaka karena merasa kebingungan, tidak punya duit lagi untuk pergi ke kantin dan tidak punya teman yang sreg untuk bersenda gurau. Kecuali satu atau dua orang murid saja yang mempunyai niat untuk mengunjingi pustaka.
Tidak hanya murid, guru-guru pun jarang terlihat yang mengunjungi pustaka. Kalau ditanya “mengapa” maka jawaban yang paling-paling kita dengar adalah tidak ada waktu atau tidak ada kesempatan. Dan ini adalah sebuah jawaban tradisionil.
Salah satu dari penyebab hilangnya gairah guru dan murid mengunjungi pustaka karena pustaka yang berfungsi tempat koleksi buku-buku ternyata miskin dengan koleksi buku kecuali yang dapat ditemukan di perpustakaan adalah tumpukan buku-buku teks pelajaran dan buku-buku terbitan Pusat Pembukuan Depdikbud dan PN. Balai Pustaka. Seolah-olah perpustakaan sekolah bukanlah tempat gudang ilmu tetapi tepatnya perpustakaan sekolah adalah tong sampah bagi pembuangan buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan buku-buku keluaran Pusat Perbukuan Depdikbud.
Kedengarannya amat sinis. Tapi ini adalah kalimat yang dilontarkan oleh seorang petugas pustaka yang merasa putus asa atau frustasi melihat perkembangan pustaka yang tidak pernah menggairahkan. Paling kurang menurut visi petugas pustaka tadi.
Sebetulnya ini adalah suatu kenyataan. Kalau kita mengunjungi beberapa pustaka sekolah, kecuali kalau petugas pustaka menumpuknya dalam gudang, kita akan menemukan deretan buku-buku teks yang diterbitkan pemerintah masih utuh. Dan rata-rata buku-buku itu berdebu dan hampir tidak terawat. Malah ada inisiatif dari petugas pustaka yang suka iseng untuk menjualnya secara kiloan untuk kertas pembungkus teri di tengah pasar. “Sungguh sayang bukan,” katanya, dari pada buku-buku itu ditumpuk atau dibakar maka lebih baik dijual dan uangnya dapat dimanfaatkan untuk pembeli sabun cuci. Sungguh ini merupakan suatu pelecehan atas buku dan ilmu. Apalagi mengingat biaya yang dikeluarkan pemerintah, Depdikbud, tentu berkisar sampai puluhan miliar rupiah dan berakhir dalam bentuk pemborosan dana negara yang amat sia-sia.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi, apakah buku-buku ini diluncurkan tanpa rencana?
Untuk mendapat jawabannya tentu kita dapat menemui berbagai pihak, terutama guru-guru dan petugas pustaka sebagai orang lapangan yang langsung berkecimpung menghadapi buku-buku teks tersebut.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud dibuat asal jadi saja, komentar seorang guru Bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh buku-buku paket (buku teks) agak kaku dan penampilannya sangat formal dan tidak sesuai dengan selera murid yang berusia remaja. Untuk buku Bahasa Indonesia, misalnya, tidaklah tepat kalau disusun oleh ahli bahasa saja tetapi juga diikutsertakan unsur dari sastrawan agar bahasa buku ini enak dicerna dan menarik untuk dibaca.
Tampaknya buku-buku keluaran Depdikbud bersifat “teacher-centered”. Maksudnya buku-buku itu musti ditelaah dulu oleh guru dan baru disampaikan uraiannya pada murid. Sering kita dengar murid merasa susah untuk memahami isi buku dan jenuh dengan gaya bahasanya. Melihat sistem belajar orang kita yang cenderung menghafal dan buku mentelaah isi buku maka guru suka memanjakan murid dengan cara meringkaskan isi buku untuk dapat dihafalkan bila ada ujian. Akibatnya jadilah murid-murid ibarat sapi suci agama Hindu di India yang mengunyah-ngunyah kertas berisi tulisan, menelannya dan mengeluarkan dalam bentuk kotoran tanpa pernah singgah di dalam kepala. Begitu pula bagi guru karena tidak menguasai materi pelajaran, membuat keringkasan dan menghafalnya. Akibatnya jadilah guru itu dengan ilmu tua semalam dari murid.
Kebiasaan guru yang suka meringkas isi buku dan mencatatkan kepada murid, secara dikte agar dapat mengefektifkan jam tatap muka atau menyuruh seorang murid mencatatkan di papan tulis sampai tangannya pegal-pegal, membuat buku-buku paket keluaran Depdikbud tetap utuh di perpustakaan. Disamping itu yang membuat buku-buku paket tetap menumpuk di Pustaka adalah rasa acuh tak acuh guru terhadap keberadaan pustaka. Sehingga guru tersebut tidak tahu kalau-kalau buku pendamping buku paket lain, untuk memperkaya wawasan murid, telah datang ke pustaka. Malah kalaupun tahu ada buku baru, banyak guru tidak memperdulikan karena tidak suka bersusah-susah payah. Sehingga kita lihat buku-buku penunjang lain semakin berdebu saja di pustaka.
Hal ini yang membuat guru enggan menggunakan buku paket, dengan akibat menyuruh murid-murid untuk membeli buku-buku pasaran, akibat materi buku paket Depdikbud tidak persis sama dengan isi GBPP sesuai dengan persepsi guru masing-masing atau materi pelajarannya melompat-lompat. Misal, pelajaran yang seharusnya untuk kelas tiga tetapi terdapat pada buku kelas dua.
Masih ada alasan pribadi lain yang membuat buku paket keluaran Depdikbud dan PN. Balai Pustaka terabaikan. Sehingga tetap menumpuk-numpuk di perpustakaan.
Sanggar-sanggar belajar seperti MGMP, LKG, SPKG dan lain-lain adalah ajang mendiskusikan, mana buku-buku yang bermutu, diantara guru-guru peserta sanggar. Maka sering penilaian mereka jatuh kepada buku pasaran sebagai buku, yang berkwalitas karena mudah untuk dicerna sehingga buku paket pemerintah semakin menempati urutan belakang. Barangkali buku-buku pasaran itu laris karena tujuannya komersil maka ia dirancang secara profesional. Apakah dari segi perwajahan buku, ilustrasi, gaya bahasa dan sampai kepada ukuran buku yang menyerupai buku populer karena desainnya menarik. Disamping itu karena dalam sistem kenaikan pangkat sekarang yang memberi penilaian kepada guru yang kreatif membuat buku atau LKS. Maka guru inti yang kreatif dan yang memiliki orientasi kepangkatan dan orientasi ekonomi segera merancang buku apakah dengan cara mengedit, yakni dengan caplok sana caplok sini. Maka jadilah sebuah buku atau LKS yang menarik setelah keluar dari percetakan lokal. Kemudian mereka, guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru inti, mempengaruhi guru-guru pengikut sanggar agar sekolah mereka menggunakan buku atau LKS yang ditulis oleh guru-guru inti. Inipun membuat buku paket semakin terpojok kedudukannya.
Alasan kekurangan atau kesulitan ekonomi juga membuat guru-guru bidang studi berbisnis buku dengan cara mengambil buku kepada agen pemasaran buku untuk dijual kepada murid-murid dengan janji bahwa kalau terjual maka keuntungan 20 sampai 30 persen adalah untuk guru bidang studi yang telah berjasa tadi. Suatu keuntungan yang lumayan yang membuat guru dapat tersenyum manis. Tetapi ini dapat menelantarkan buku-buku paket sebagai buku utama.
Pada umumnya buku-buku paket yang menumpuk di perpustakaan sekolah adalah buku-buku paket dalam kurikulum lama. Tetapi sebagian besar, ketika kurikulum lama masih berlaku, buku-buku paket itu telah ada juga yang menumpuk-numpuk dan berdebu di perpustakaan.
Sekarang bagaimana dengan keadaan atau nasib buku-buku paket yang ditulis seusai dengan kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru, ., ini?
Dari buku-buku paket terbitan PN. Balai Pustaka atau yang diluncurkan oleh Pusat Perbukuan Depdikbud kita telah melihat kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Pada umumnya buku-buku sudah dirancang dengan perwajahan yang cukup menarik dan penjilidan yang cukup kokoh sehingga tidak memungkinkan lagi lembaran halaman buku-buku mudah lepas dan bertebaran. Tetapi dari awal-awal tahun berlakunya kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru telah terlihat pula gejala bahwa buku-buku ini mengalami nasib serupa dengan buku-buku paket kurikulum lama yakni ditumpuk-tumpuk dalam perpustakaan. Pada hal buku-buku ini dengan modal puluhan miliar rupiah sengaja dirancang untuk membantu orang tua murid dan sekaligus menyukseskan program pengajaran yang telah dirancangkan oleh pemerintah kita. Tetapi sekarang dimana letak salah dan letak penyebabnya.
Karena tujuannya betul-betul komersil maka penerbitan swasta dalam naungan IKAPI, dan sebagian buku-buku yang dipasarkan ada yang telah disahkan oleh Dirjen Dikdasmen, melihat bahwa sekolah-sekolah adalah pasar yang potensial untuk mencari keuntungan. Maka mereka mempelajari kelemahan buku yang diluncurkan pemerintah dan juga mempelajari selera guru dan murid sebagai konsumen mereka.
Seorang penyalur buku pelajaran dari penerbit swasta mengatakan bahwa yang membuat buku-buku keluaran penerbit mereka laris seperti kacang goreng adalah karena adanya kesan “pandangan pertama” terhadap buku-buku yang mereka pasarkan dan kesan ini tidak dimiliki oleh buku paket yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kesan buku terbitan non pemerintah yaitu bentuknya pop, mungkin bahasanya adalah bahasa populer dan ukuran disajikan seperti majalah remaja, dan ukuran buku itu cukup tipis sehingga mendatangkan kesan enteng untuk dibaca dan dicerna. Kemudian ditambah dengan unsur pelayanan dari agen pemasaran yang menyebar dan mengunjungi setiap sekolah. Disana mereka mempengaruhi guru-guru bidang studi dan menunjukkan keunggulan buku-buku mereka sehingga membuat guru betul-betul merasakan adanya kemudahan-kemudahan terhadap buku pasaran itu. Misalnya buku pasaran menyajikan uraian, rata-rata dengan cara mengunyah-ngunyahkan materi dan menyuapkannya ke dalam mulut murid, terasa mudah untuk dicerna oleh guru dan murid. Malah tanpa adanya kehadiran guru, murid sendiripun juga dapat melakukan instruksi pelajaran dalam buku pasaran. Betul-betul pendekatannya bersifat “student-centered”. Sedangkan buku terbitan pemerintah memuat uraian yang bersifat umum sehingga murid musti mengerutkan dahi agar dapat memahaminya seorang guru harus meringkaskan isi buku terlebih dahulu. Terasa oleh kita penyajian buku pasaran juga bersifat memanjakan murid atau memanjakan pendidikan yang bersifat menghafal. Sedangkan buku terbitan Balai Pustaka dan Depdikbud lebih mendorong guru dan murid untuk menelaah isi buku dan mengembangkan sikap “menganalisa” dan bukan sikap menghafal.
Kita rasa karena penyebaran buku pelajaran pasaran dikemas secara potensial dengan tujuan komersil yaitu dengan mengirim agen-agen pemasaran sampai menemui setiap guru bidang studi telah dapat mempengaruhi mereka dan membuat mereka berpaling dari buku terbitan Depdikbud. Pada sebuah SMA yang didatangi oleh agen penyaluran buku kita akan dapat melihat transaksi antar guru dan agen untuk mengambil pesanan buku untuk dapat disebarkan pada beberapa kelas dengan jumlah total murid diatas seratus orang dengan janji kelak 20 atau 30 persen keuntungan adalah untuk ibu atau bapak guru. Sementara dihadapkan guru itu sendiri tergeletak onggokan buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru yang diterbitkan oleh pemerintah tetapi sebentar lagi bakal masuk atau digusur kembali ke dalam pustaka sebagai tong sampah tempat pembuangan. Ketika ditanya “kenapa buku pasaran atau LKS ini yang dipakai dan buku paket Depdikbud dikembalikan ke Pustaka”. Jawabannya adalah karena LKS atau buku itu lebih tipis dan lebih praktis untuk dipakai dalam proses belajar mengajar di kelas. Tampaknya guru-guru kita ingin mengajar asal enteng saja.
Dapat kita lacak bahwa yang membuat buku paket keluaran Depdikbud terabaikan dan buku pelajaran yang diproduksi oleh swasta begitu laris karena adanya perbedaan dalam pelayanan. Dimana buku swasta langsung datang dipasarkan ke sekolah-sekolah dan melayani guru-guru. Disamping itu ada kalanya karena faktor keterlambatan datang buku-buku paket pemerintah. Dimana tahun pelajaran telah berjalan sekian minggu, dan malah sampai satu bulan, maka buku paket baru datang. Tentu saja kekosongan buku diisi oleh buku swasta meski dengan cara menguras kantong orang tua murid yang rata-rata banyak yang kurang mampu. Dimana mereka harus mengeluarkan uang yang banyak untuk setiap bidang studi di sekolah dan untuk sekian orang anak-anak merasa yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kita merasa khawatir kalau-kalau buku paket kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum sebelumnya, apalagi bagi buku kurikulum baru . ini mengalami nasib yang sama dengan buku paket Depdikbud dalam kurikulum lama. Maka agar buku paket ini tidak ditumpuk di perpustakaan, sebagai ton sampah, tempat pembuangan buku-buku paket atau buku-buku teks terbitan PN Balai Pustaka dan terbitan Pusat Perbukuan Depdikbud untuk itu kita mohon kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan antisipasi dalam rangka kita dapat memanfaatkan buku-buku yang telah diciptakan dengan dana besar demi kemajuan bangsa kita ini juga.
Rabu, 25 November 2009
Pengemasan informasi: Sebuah usaha pendekatan sumber informasi pada pengguna perpustakaan
PENGERTIAN
Secara umum sebetulnya konsep pengemasan informasi masih belum jelas, namun dari berbagai diskusi yang pernah dilakukan berikut beberapa pengertian pengemasan informasi.
a. Menurut Alan Bunch, 1984 (dalam Stilwell, 2004) menggambarkan pengemasan informasi sebagai sebuah pendekatan untuk membantu diri sendiri, menekankan pada permasalahan bahwa layanan informasi adalah memilih informasi yang sesuai, dan memproses ulang informasi tersebut dalam sebuah bentuk yang benar-benar dapat dipahami, mengemas informasi, dan merancang semua bahan ini dalam sebuah media yang tepat bagi pengguna, sehingga mengkombinasikan dua konsep yang melekat dalam istilah pengemasan (yakni memproses ulang dan mengemas).
b. Menurut Webster's New World College Dictionary, 1995 menyatakan bahwa "repackaging is to package again in or as in a better or more attractive package." Jadi dapat dikatakan bahwa pengemasan merupakan sebuah usaha mengemas kembali ke dalam bentuk yang lebih baik dan menarik.
LATAR BELAKANG MASALAH
Melihat pengertian di atas sebetulnya dapat kita lihat bahwa pengemasan informasi adalah sebuah proses untuk mengolah kembali informasi yang ada sehingga mampu ditampilkan ke dalam kemasan yang lebih baik dan siap pakai bagi pengguna dan pencari informasi. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, mengapa pengemasan informasi ini penting bagi sebuah layanan perpustakaan terutama bagi pengguna agar lebih "dekat" dengan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan? Ada beberapa permasalahan yang dapat dijadikan dasar mengapa pengemasan informasi ini penting:
1. Banjir Informasi. Banyaknya informasi yang ada dari berbagai sumber informasi baik tercetak, non cetak, maupun digital membuat "kebingungan" tersendiri bagi pengguna untuk mendapatkan informasi "terbaik" dan sesuai dengan kebutuhannya. Banyaknya informasi seringkali menjadikan pengguna dihadapkan pada informasi yang tidak sesuai, kandungan informasinya kurang tepat, tidak relevan sampai informasi "aspal", asli tapi palsu yang tidak dapat dipercaya. Untuk itu perlu sebuah tindakan dari perpustakaan untuk mengantisipasi apa yang biasa disebut sebagai "banjir informasi". Pengemasan informasi yang menghasilkan produk terseleksi adalah salah satu jawabannya.
2. Kebutuhan Pemakai Informasi. Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu cepat, maka kebutuhan pemakai informasi juga semakin meningkat, yakni kebutuhan akan informasi yang cepat, tepat dan mudah. Perpustakaan sebagai institusi yang bertanggungjawab kepada transfer informasi ini juga harus dapat melihat fenomena pergeseran orientasi kebutuhan pengguna akan informasi ini, untuk itu perlu dilakukan inovasi berbasis kebutuhan pemakai informasi ini. Pengemasan informasi adalah salah satu bentuk yang dapat dipakai oleh perpustakaan sebagai bentuk inovasi menjawab kebutuhan pemakai informasi ini.
3. Kebutuhan Peningkatan Layanan Perpustakaan. Perpustakaan sebagai pusat sumber informasi sudah semestinya dapat meningkatkan pelayanan dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan tuntutan penggunanya. Perpustakaan yang tidak "mau" meningkatkan dan menyesuaikan layanannya dengan perkembangan global di dunia tentunya akan ditinggalkan oleh penggunanya. Peningkatan layanan perpustakaan ini harus didukung berbagai aspek termasuk kemasan dari informasi yang ingin ditampilkan dan disajikan kepada penggunanya. Untuk itu pengemasan informasi menjadi penting agar pengguna dapat merasakan sebuah peningkatan yang signifikan dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini.
4. Orientasi Ekonomis. Informasi yang tak terbentung dan terus bertambah akan menyebabkan perpustakaan menjadi "gudang" informasi yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan pengeluaran biaya yang tidak sedikit. Penggunapun akan semakin sulit menemukan informasi yang tepat dan uptodate. Untuk itu perlu diambil langkah penghematan (biaya, ruang dan tenaga) diantaranya dapat dilakukan melalui pengemasan informasi. Secara ekonomis, hasil kemas informasi merupakan produk yang sangat mungkin untuk dijual kepada khalayak umum dengan segmentasi tertentu, sehingga membuka peluang usaha bagi perpustakaan. Selain itu pengguna akan menghemat banyak waktu, tenaga dan biaya untuk sekedar mendapatkan informasi yang sesuai, mudah, cepat dan tepat.
Keempat permasalahan di atas terkait satu dengan lainnya sehingga tidak dapat dipisahkan. Satu dengan lainnya akan membawa kepada sebuah sinergitas dalam menentukan arah dan langkah dalam penyajian informasi yang lebih baik demi kepentingan bersama. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk penyajian informasi seperti apa yang layak dilayankan saat ini di perpustakaan. Kemasan informasi sendiri harus dapat memberikan nilai lebih bagi informasi itu sendiri. Informasi dikatakan mempunyai nilai (menurut Djatin) apabila diukur dari:
· Mampu menurunkan biaya penelitian, pengembangan dan pelaksanaan
· Menghemat waktu, sehingga implementasi dan inovasi bisa lebih cepat
· Membuat kebijakan lebih efektif
· Mendukung ke arah pencapaian tujuan/sasaran strategis organisasi
· Mengatasi Ke-ketidaktahuan
· Memuaskan manajemen dan pemakai
BENTUK PENGEMASAN INFORMASI
Berdasarkan analisa ketiga hal dalam permasalahan di atas maka selanjutnya perpustakaan dapat menentukan sejauh mana bentuk kemasan informasi tersebut harus diwujudkan. Berikut adalah beberapa contoh bentuk kemasan informasi yang ada sampai saat ini dan relevan digunakan bagi pengguna perpustakaan.
· Publikasi Cetak.
Pengemasan informasi biasanya dapat juga diwujudkan dalam bentuk publikasi cetak seperti Brosur, Newsletter, Prosiding, Indeks Majalah, Indeks Artikel, Kumpulan Artikel Terpilih, Bibliografi, dan bentuk publikasi terseleksi lainnya. Kemasan dalam bentuk publikasi cetak ini akan sangat membantu pengguna dalam menemukan informasi tercetak yang terpilih sesuai dengan bidang kajian dan kebutuhannya. Sehingga pengguna tidak perlu "membuang" waktu untuk menelusur satu demi satu kebutuhan informasinya dalam "belantara" informasi di perpustakaan.
· Media Audio-Visual.
Informasi juga dapat dikemas dalam bentuk Audio-Visual seperti dalam bentuk Audio-Video Cassette, CD- Interaktif, VCD, DVD, dan bentuk lainnya. Kemasan informasi ini merupakan kemasan yang menarik karena akan mengajak pengguna menggunakan informasi dalam bentuk gambar dan suara.
· Pangkalan Data Lokal.
Kemasan informasi juga dapat diwujudkan dalam pangkalan data (database) lokal. Sekitar 2 tahun yang lalu, konsep pangkalan data lokal ini banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi ilmiah bagi para pengguna melalui semacam server lokal, baik yang berupa file maupun CD-ROM. Contohnya adalah CD Database ERIC, CD Database Medline, CD-Database Agricola, dan sebagainya.
· Pangkalan Data Online.
Saat ini di Indonesia pangkalan data Online sedang mengalami perkembangan yang cukup baik, baik dengan "membeli" kemasan yang sudah jadi, mengambil dari sumber-sumber gratis maupun membangun sendiri. Kemasan informasi dalam bentuk ini telah memberikan kesempatan akses informasi secara lebih luas tidak terbatas dalam perpustakaan. Hal ini berkat kemajuan teknologi internet yang mau tidak mau harus diikuti oleh perpustakaan dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi pada penggunanya. Contoh beberapa kemasan informasi siap pakai dalam bentuk pangkalan data online yang diproduksi antara lain EBSCOHost, ProQuest, ScienceDirect, IEEE Database, JSTOR dan lain sebagainya.
TAHAPAN PENGEMASAN INFORMASI
Keputusan sebuah perpustakaan untuk melakukan dan menggunakan kemasan informasi harus diikuti dengan mempersiapkan langkah-langkah yang tepat agar tidak terjadi kesia-siaan. Beberapa langkah yang secara umum dilakukan oleh perpustakaan dalam rangka pengemasan informasi adalah:
1. Orientasi kebutuhan dan tuntutan pemakai/pengguna informasi di perpustakaan
2. Seleksi dan Penetapan Topik informasi yang akan dikemas. Penetapan dan seleksi ini biasanya akan melibatkan ide-ide dan masukan dari staf ahli, produsen produk kemasan informasi, konsumen produk & jasa informasi, karyawan, dan manajemen puncak.
3. Menentukan bentuk kemasan informasi
4. Penetapan strategi pencarian informasi yang akan dikemas
5. Penetapan lokasi informasi dan cara mengaksesnya
6. Pengolahan informasi, mengevaluasi, dan mensitir informasi
7. Mengemas informasi dalam bentuk yang telah ditetapkan
8. Mengevaluasi produk yang dikeluarkan dan proses pembuatannya
Pada kasus penentuan kemasan informasi dalam bentuk non cetak terutama pangkalan data sering kali tidak semua langkah di atas dilakukan. Hal ini dikarenakan produk dalam bentuk pangkalan data sering kali merupakan produk kemasan informasi yang siap pakai, karena prosedur seleksi informasi dan proses pengolahan hingga menjadi produk sudah dilakukan oleh produsen. Pada kasus ini posisi perpustakaan adalah sebagai user selector dan user evaluator saja.
DAMPAK EKONOMIS PENGEMASAN INFORMASI
Pengemasan informasi merupakan bagian dari sebuah usaha ekonomis dari perpustakaan atau penyedia informasi yang juga akan membawa dampak ekonomis bagi perpustakaan /penyedia informasi dan juga masyarakat/pengguna yang memanfaatkannya. Beberapa dampak ekonomis dari adanya pengemasan informasi diantaranya adalah:
1. Perpustakaan mampu menyediakan kemasan-kemasan informasi yang siap pakai yang dapat dijual kepada masyarakat/pengguna dengan segmentasi yang telah ditentukan, misal informasi bidang kedokteran yang terkemas akan sangat berguna bagi para praktisi dan pemerhati di bidang kedokteran.
2. Banjir informasi yang terus menerus apabila tidak ditangani oleh perpustakaan akan membawa dampak pada pembengkakan cost perawatan dan pengelolaan, sehingga apabila dibandingkan dengan biaya yang dihasilkan dari pemanfaatan informasi akan sangat tidak signifikan. Dengan pengemasan informasi maka perpustakaan dapat menekan biaya (cost) bagi perawatan dan pengelolaan, sekaligus dapat memanfaatkan hasilnya sebagai bentuk layanan "penjualan informasi" di perpustakaan kepada pengguna yang membutuhkan.
3. Bagi pengguna, adanya kemasan informasi ini akan memotong biaya dan juga waktu yang dibutuhkan oleh pengguna dalam mencari, memilih, dan memperoleh informasi yang dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan pengguna dengan mudah mendapatkan kemasan informasi yang siap pakai dan disediakan oleh perpustakaan secara mudah, cepat, tepat dan hemat waktu. Misalnya, untuk mendapatkan informasi tertentu di perpustakaan, pengguna cukup mengakses database perpustakaan melalui internet yang menyediakan berbagai koleksi digital hasil kemas informasi di berbagai bidang.
4. Pengemasan informasi ini merupakan peluang komoditas bagi perpustakaan yang berpotensi sebagai bidang usaha informasi di perpustakaan yang akan mampu menghasilkan pemasukan. Hal ini tentunya akan membantu melepaskan image perpustakaan sebagai "cost institution" menjadi "benefit institution". Artinya perpustakaan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang hanya "menyedot" biaya dan punya ketergantungan terhadap biaya, menjadi perpustakaan yang mampu memberikan keuntungan dan membiayai kegiatannnya sendiri. Misalnya perpustakaan mengeluarkan produk kumpulan artikel dalam bidang X yang dikemas baik menggunakan media digital (CD, Disket, etc) maupun cetak yang dapat dipasarkan (dijual) kepada pengguna dengan segmentasi tertentu (sesuai dengan bidang X tersebut). Contoh: Perpustakaan Fakultas Kedokteran mengeluarkan produk "Kumpulan Artikel Bidang Kedokteran khusus masalah Flu Burung" yang dapat dijual kepada dokter maupun masyarakat umum yang "konsen" terhadap permasahan flu burung ini.
PENUTUP
Pengemasan informasi ini merupakan usaha dari sebuah perpustakaan atau pusat informasi untuk mendekatkan pengguna kepada sumber-sumber informasi yang relevan, akurat, mudah dan terakses secara cepat. Namun informasi yang terkemas ini tidak akan dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila tidak didukung oleh peran tenaga perpustakaan atau pustakawan dalam mensosialisasikan dan juga melakukan pendidikan pemakai perpustakaan. Intinya adalah proses pengemasan informasi tidak selesai begitu saja sampai pada produk terkemas dihasilkan. Akan tetapi juga pada pencapaian tujuan pengemasan informasi tersebut, yakni memberikan informasi yang lebih baik dan menarik bagi pengguna perpustakaan. Jadi perpustakaan akan selalu mempunyai tanggung jawab dan pekerjaan rumah yang besar bagi proses tranformasi informasi yang relevan dan sesuai tuntutan penggunanya dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, pengemasan informasi akan membawa dampak ekonomis yang cukup signifikan baik bagi perpustakaan maupun pengguna. Bahkan saat ini dapat dikatakan bahwa produk hasil kemas informasi merupakan komoditas yang dapat dijadikan alternatif usaha bagi perpustakaan, sehingga informasi tidak berhenti sebagai hal yang akan "menguras" biaya perawatan dan pengelolaan, tetapi juga dapat menjadi sumber pendapatan/pemasukan bagi perpustakaan. Penggunapun akan semakin mudah, hemat waktu dan hemat biaya dalam memperoleh informasi yang "instant" dan segera dibutuhkan oleh mereka. Jadi tunggu apa lagi? Kini saatnya anda hadir dalam "bisnis informasi" di era globalisasi informasi.
Bibliografi
Djatin, Jusni., dan Hartinah, Sri. (-). Pengemasan dan Pemasaran Informasi: Pengalaman PDII-LIPI. Jakarta: PDII-LIPI : www.consal.org.sg/webupload/forums/attachments/2277.doc diakses tanggal 20 September 2006.
Limb, Peter. (2004). Digital Dilemmas and Solutions. Oxford: Chandos Publishing.
Neufeldt, Victoria., and Guralnik, David B. (ed). (1995). Webster's New World College Dictionary. Ohio: Macmillan General Reference.
Stilwell, Christine. (2004). Repackaging information: a review. www.hs.unp.ac.za/infs/kiad/04stilw.doc. Diakses tanggal 20 September 2006.
Webb, Sylvia P., dan Winterton, Jules. (2003). Fee-Based Services in Library and Information Centres. Second edition. London: Europe Publications Limited.
Selasa, 17 November 2009
MEMPERCEPAT DISTRIBUSI DAN INFORMASI MELALUI EKSISTENSI PERPUSTAKAAN DIGITAL
Heri Abi Burachman Hakim
ABSTRAK
Eksistensi teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak bagi semua segi kehidupan. Masyarakat sendiri semakin akrab dan bergantung pada eksistensi perangkat teknologi informasi. Sebagai lembaga yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat perpustakaan perlu menyesuaikan diri dengan dinamika yang terjadi masyarakat. Perpustakaan perlu menyesuaikan layanan yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan dinamika masyarakat. Di saat masyarakat akbrab dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi maka perpustakaan perlu mengembangkan layanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu wujud dari layanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi adalah dengan pengembangan perpustakaan. Dengan perpustakaan akan mempercepat distribusi informasi serta menyajikan koleksi perpustakaan dalam genggaman masyarakat.
Kata kunci: Informasi, Digitalisasi, Perpustakaan Digital
Pendahuluan
Dinamika masyarakat saat ini terjadi sangat cepat. Hal ini disebabkan karena iklim hidup yang semakin kompetif serta kemajuan teknologi yang terjadi. Kemajuan teknologi memungkinkan masyarakat melakukan rutinitas lebih cepat hingga waktu yang digunakan dapat efektif dan efisien.
Hambatan geografis tidak lagi menjadi masalah utama bagi masyarakat dalam menjalankan rutinitas harian. Masyarakat dapat lakukan aktivitasnya kapanpun dan dimanapun. Sekali lagi, ini dimungkinkan karena kemajuan teknologi informasi memberikan fasilitas melakukan aktivitas tersebut. Untuk berkomunikasi seorang saat ini tidak perlu harus bertatap muka atau berkirim surat yang memakan waktu lama, dalam hitungan detik saat ini masyarakat dapat berkomunikasi dengan menggunakan telepon, telepon seluler dan internet. Perkembangan berbagai teknologi tersebut memungkinkan masyarakat berkomunikasi melalui teleconference, chatting dan e-mail.
Perkembangan teknologi informasi telah mengubah format masyarakat, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global, sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, mengantarkan masyarakat memasuki sebuah desa besar, dimana masyarakat saling kenal dan menyapa satu sama lainnya(Bungin, 2006: 159). Masyarakat global ini memungkinkan komukasi secara global sehingga komunitas manusia mengasilkan budaya bersama, menghasilkan produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, distribusi informasi bersama bahkan mampu menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini.
Semua lembaga perlu merespon fenomena ini. Baik itu lembaga pemerintahan, bisnis atau lembaga non profit perlu menyesuaikan diri dengan kondisi semacam ini. Berbagai lembaga tersebut mulai menyesuaikan diri dengan mengembangkan layanan berbasis “e-”. Lembaga pemerintah telah merespon kondisi ini dengan menerapkan e-government, lembaga bisnis merespon dengan menerapkan e-bisnis, sedangkan lembaga pendidikan merespon dengan mengerapkan e-learning atau e-education. Berbagai layanan baru tersebut sebagai bentuk respon atas dinamika yang terjadi dimasyarakat menjadikan internet dan teknologi jaringan komputer sebagai tulang punggungnya.
Sebagai bagian dari masyarakat maka perpustakaan perlu merespon kondisi yang sedang terjadi dimasyarakat. Ketika masyarakat menginginkan segala sesuatu berjalan dengan cepat maka perpustakaanpun perlu meresponnya. Perkembangan teknologi informasi yang membawa perubahan dimasyarakat juga perlu direspon oleh perpustakaan. seperti apa respon perpustakaan terhadap dinamika yang terjadi dimasyarakat akan coba dibahas dalam tulisan dibawah ini
Pembahasan
Informasi Sebagai Produk Layanan Perpustakaan
Perpustakaan memeliki beberapa jenis layanan yang disediakan bagi pengguna perpustakaan. Akan tetapi dari berbagai layanan tersebut, sebenarnya hanya ada satu produk yang dilayanankan kepada masyarakat. Perpustakaan hanya membungkus produk tersebut menjadi berbagai jenis layanan. Produk yang menjadi inti dari layanan perpustakaan adalah informasi.
Informasi saat ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan informasi menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan seseorang atau lembaga. Mereka akan sukses apabila mampu mengelohan dan memanfaatkan informas yang tersedia.
Informasi adalah nilai yang lebih tinggi dari data. Data merujuk pada fakta-fakta baik berupa angka-angka, teks, dokumen, gambar, bagan, suara yang mewakili deskripsi verbal atau kode tertentu. Apabila Informasi telah disaring dan diolah selalui suatu sistem pengolahan sehingga memiliki arti dan nilai bagi seseorang maka data itu berubah menjadi Informasi (Kumorotomo dan Margono, 1998: 10).
Dari definisi tersebut maka informasi dapat dianologikan sebagai pengetahuan, karena pengetahuan memberikan manfaat bagi orang yang memilikinya. Dalam dunia perpustakaan yang dilayankan perpustakaan adalah informasi karena didalam buku atau koleksinya lainnya di perperpustakaan terekan informasi dan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi saat ini dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyebabkan terjadinya ledakan data dan informasi. Disini informasi dan data akan berserakan layakanya sampah. Dan ini menjadi tugas pengelola perpustakaan mengolah data untuk menjadi informasi dan informasi yang telah diolah akan menjadi ilmu pengetahuan (Sutarno NS,2005: 65). Selanjutnya ilmu pengetahuan tersebut didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Mobile dan Wireless Technology
Kemajuan teknologi memberikan kemudahan bagi manusia. Untuk berkerja atau berkomunikasi, seseorang tidak perlu datang langsung kekantor atau bertatap muka satu sama lain. Semua dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Untuk berkerja seseorang dapat bekerja melalui internet sehingga tidak perlu datang kekantor. Sedangkan untuk berkomunikasi seseorang dapat menggunakan telepon.
Berbagai produk teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang. Saat ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memasuki era mobile technology dan wireless technolgy. Era mobile technology adalah masa dimana produk-produk teknologi informasi dapat dibawa dan dimanfaatkan kapanpun dan dimanapun. Sedangkan untuk wireless technology adalah teknologi tanpa kabal.
Saat ini komunikasi masyarakat semakin dipermudah dengan keberadaan telepon seluler atau Personal Digital Assiten (PDA). Dimanapun seseorang dapat berkomunikasi tanpa bergantung pada jaringan kabel telpon yang disediakan PT Telkom. Munculnya berbagai operator telepon seluler semakin memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi.
Untuk perkembangan teknologi komputer dan jaringan saat ini telah mencapai masa teknologi wireless. Teknologi ini memungkinkan seseorang terkoneksi internet tanpa harus terhubung dengan kabel jaringan, dengan menggunakan komputer yang memiliki fasilitas wireless dan berapa pada area hotspot memungkinkan seseorang terkoneksi kedalam jaringan internet. Teknologi wireless semakin memudahkan komunikasi antar komputer
Ilustrasi diatas merupakan contoh dari produk mobile dan wireless technology. Dan perkembangan kedua teknologi tersebut memberikan pengaruh terhadap budaya dan gaya hidup masyarakat. Masyarakat menjadi masyarakat yang menginginkan segalanya disajikan secara cepat dan tepat. Hal ini dikarenakan masyarakat telah dimanjakan oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan segalanya disajikan dan didapatkan secara mudah dan cepat.
Harga-harga perangkat mobile technology yang semakin terjangkau menyebabkan pemanfaatan perangkat mobile technology menjadi gaya hidup sekaligus kebutuhan bagi masyarakat indonesia. Saat ini dapat dilihat bagimana masyarakat sangat tergantung pada telepon seluler sebagai alat komunikasi.
Berbagai produk teknologi informasi dan komunikasi diatas merupakan sarana untuk distribusi informasi, dan sebagai lembaga yang produk layanannya adalah informasi maka perpustakaan tentu berubah. Perubahan ini diperlukan untuk mendekatkan perpustakaan dengan pengguna serta memenuhi tuntutan pengguna perpustakaan agar perpustakaan mampu beradaptasi dengan dinamika yang terjadi. Dengan perubahan ini tingkat akses masyarakat terhadap layanan perpustakaan akan semakin meningkat. Perpustakaan perlu mendesain layanan yang mampu mempercepat distribusi informasi bagi pengguna perpustakaan.
Perpustakaan dalam Genggaman Tangan
Perkembangan mobile dan wireless technology tentu perlu direspon perpustakaan. Ketika masyarakat indonesia menjadi masyarakat “mobile” maka waktu mereka untuk mengakses perpustakaan secara langsung semakin terbatas. Dalam kondisi seperti ini perpustakaan perlu mendesain layanan yang mampu mendekatkan layanan perpustakaan kepada pengguna walaupun perpustakaan jauh secara fisik dari pengguna. Apabila hal ini tidak dilakukan perpustakaan, mungkin perpustakaan akan ditinggalkan oleh masyarakat.
Jika berkunjung kebeberapa caffe atau mall di yogyakarta serta berkeliling ke berbagai fakultas yang ada di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada, maka dapat dilihat mahasiswa yang sedang mengakses internet dengan menggunakan laktop atau PDA.
Melihat fenomena diatas serta akrabnya masyarakat dengan perangkat-perangkat mobile techonology seperti internet, PDA dan telepon seluler maka perpustakaan dapat mendesain layanan berbasis web. Layanan berbasis web ini memungkinkan pengguna mengakses layanan perpustakaan kapanpun dimanapun. Dengan perangkat mobile techology hal ini tentu mungkin dilakukan.
Konsep layanan berbasis web ini tidak hanya sebatas perpustakaan memiliki sebuah website. Saat ini banyak telah perpustakaan memiliki website. Akan tetapi selama ini kebanyakan website perpustakaan tersebut hanya difungsikan sebagai sarana publikasi atau katalog online sebuah perpustakaan. seharusnya eksistensi website perpustakaan juga dimanfaat sebagai digital library sehingga perpustakaan dapan diakses selama 24 jam.
Layanan berbasis web yang dimaksudkan disini adalah optimalisasi website perpustakaan dalam memberikan layanan kepada pengguna perpustakaan. Pengguna dapat mendapatkan layanan apapun yang mereka butuhkan melalui website perpustakaan. Misalnya untuk ngetahui status suatu koleksi ada atau sedang pinjam, memesan buku yang dibutuhkan dapat melalui website perpustakaan Untuk mewujudkan hal ini maka sistem informasi perpustakaan perlu terintegrasi dengan web perpustakaan.
Website perpustakaan tersebut nantinya juga akan difungsikan sebagai perpustakaan digital. Melalui website yang dimiliki perpustakaan dapat menyajikan koleksi yang dimilikinya kepada pengguna perpustakaan. Dengan usaha ini maka pengguna tidak perlu berkunjung ke perpustakaan. Cukup dengan mengakses website perpustakaan dengan laktop atau komputer desktop mereka dapat menikmati koleksi digital perpustakaan untuk menunjang aktivitasnya. Dengan demikian maka perpustakaan seolah-olah berada dalam genggaman mereka. Bahkan di era mobile techology semacam ini tampaknya perpustakaan digital merupakan format ideal perpustakaan yang diimpikan masyarakat. Dimanapun dan kapapun mereka dapat mengakses layanan serta koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Melalui website ini pula perpustakaan dapat membuka layanan pesan koleksi, perpanjangan atau layanan delivery service. Sehingga apabila satu buku telah masuk daftar pesanan maka tidak dapat dipinjam oleh pengguna lain serta apabila tidak memiliki waktu untuk datang ke perpustakaan pengguna dapat memanfaatkan layanan delivery service agar perpustakaan mengantarkan buku yang dipesannya di posisi dia berada, atas layanan ini tentu pengguna perpustakaan dikenai biaya tersendiri.
Selain itu, teknologi telepon seluler juga dapat dimanfaatkan dalam menunjang layanan berbasis web. Caranya, pengguna perpustakaan dapat memesan buku, cek status buku atau meminta layanan delivery service buku melalui telepon seluler yang mereka miliki. Perkembangan teknologi telepon seluler dan software komputer memungkinkan melalukan hal tersebut. Saat ini untuk memesan tiket pesawat terbang atau melakukan transaksi perbankan cukup dilakukan dengan menggunakan telepon seluler tanpa harus datang langsung ke perpustakaan dan mengapa perpustakaan tidak mampu menerapkan konsep ini dalam layanan perpustakaan.
Dengan layanan berbasis web ini mungkin akan menurutkan tingkat kunjungan pengguna perpustakaan ke perpustakaan, akan tetapi akan meningkatkan akses pengunjung terhadap layanan yang disediakan perpustakaan. Pengguna perpustakaan akan semakin dekat dengan perpustakaan dan dengan mudah dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan setiap saat. Perpustakaan seolah-olah berada dalam genggaman tangan pengguna perpustakaan, karena hanya dengan mengoperasikan berbagai produk teknologi informasi dan komunikasi yang ada dalam genggaman tangan mereka, masyarakat dapat menikmati layanan perpustakaan.
Koleksi Digital sebagai Kebutuhan
Untuk realisasi konsep layanan diatas maka sudah saatnya perpustakaan membangun koleksi digital. Fungsi koleksi digital ini sebagai pelengkap koleksi tercetak yang dimiliki perpustakaan. Kedua jenis koleksi ini diharapkan mampu menjembatani kebutuhan dua kelompok pengguna perpustakaan yang berbeda, yaitu mereka yang lebih aktif memanfaatkan koleksi tercetak serta menyediakan kelompok yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengakses langsung perpustakaan dan mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengakses koleksi digital perpustakaan.
Perpustakaan perlu menghimpun koleksi digital. Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk menghimpun koleksi digital yaitu dengan melakukan proses digitalisasi koleksi atau mencari koleksi digital yang tersebar di dunia maya atau internet.
Digitalisasi koleksi merupakan adalah proses digitalisasi dokumen, informasi dan koleksi lainya sehingga berwujud dokumen digital (Suprihadi, 2005; 2). Dengan kata lain digitalisasi berarti melakukan konversi dari koleksi tercetak menjadi koleksi digital maka ada berbagai sarana yang dibutuhkan perpustakaan. Proses konversi ini adalah usaha untuk Sarana tersebut dapat berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Perangkat keras yang dibutuhkan meliputi komputer lengkap dengan scanner, sedangkan untuk kebutuhan perangkat lunak proses digitalisasi membutuhkan program adobe acrobad. Adobe acrobad merupakan program yang familiar digunakan untuk konversi dalam format digital.
Cara kedua yaitu memanfaatkan internet sebagai sarana untuk menghimpung koleksi digital. Cara ini merupakan cara yang efektif dan efisien. Efektif disini dimaksudkan bahwa dengan memanfaatkan internet koleksi digital dapat diperoleh secara cepat dan tepat. Sedangkan efisien disini dimaksudkan bahwa koleksi digital tersebut diperoleh secara cepat dan tidak membutuhkan biaya yang besar. Di dunia internet tersedia banyak jurnal on-line atau elektronik, makalah atau e-book. Apabila perpustastakaan mampu melakukan langkah ini maka distribusi informasi bagi mereka yang membutuhkan dapat dilakukan secara cepat.
Konsep Open Content
Perpustakaan digital yang menjadikan website sebagai sarana layanannya merupakan format perpustakaan yang ideal bagi masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini. untuk mengakses layanan dan koleksi perpustakaan, mereka tidak perlu mengakses perpustakaan secara fisik, cukup dengan mengakses website perpustakaan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan akan segera diperoleh.
Akan tetapi untuk membangun perpustakaan digital bukan tanpa masalah. Salah satu masalah besar yang terkait dengan realisasi perpustakaan digital adalah masalah hak cipta. Sampai saat ini hak cipta menjadi momok dalam melakukan kegiatan digitalisasi. Perpustakaan tentu tidak ingin kasus digitalisasi koleksi beberapa perpustakaan oleh google yang mendapat protes keras dari penerbit karena dianggap melanggar hak cipta terulang lagi.
Untuk itu dalam kegiatan digitalisasi koleksi, perpustakaan harus memiliki batasan yang jelas mengenai koleksi yang aman untuk digitalasi atau tidak. Perpustakaan tentu tidak ingin dituntut penerbit karena dianggap melanggar hak cipta.
Untuk itu koleksi yang didigitalisasi adalah koleksi yang berlabel “Open Content”. Dalam dunai penulisan saat ini dikenal konsep baru yaitu open content, konsep ini berusaha untuk memfasilitasi pembuatan “content” yang berkualitas dan dapat tersedia secara gratis (Rahadjo, 2000: 2). Open content merupakan gerakan seperti open source yang memberikan kebebasan orang menggunakan produk-produknya tanpa harus takut terjerat undang-undang hak cipta. Open content memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memanfaatkan tulisan atau informasi yang ada dalam sebuah karya. Mereka bebas menggunakannya bahkan menggandakannya. Atau dengan katalain digitalisasi koleksi yang berlabel open content tidak akan menimbulkan masalah.
Sedangkan untuk terbitan atau buku-buku yang berlabel hak cipta maka perpustakaan tidak perlu mendigitalkan koleksi tersebut kecuali ada izin dari penulis karya tersebut. Selain itu untuk publikasi lokal (grey literature) yang disumbangkan oleh pengguna perpustakaan, perpustakaan dapat meminta izin terlebih dahulu kepada pengguna yang menghibahkan karyanya tersebut agar perpustakaan diberikan izin untuk mendigitalkan karya yang telah disumbangkannya ke perpustakaan.
Sampai saat ini belum ada pembahasan yang jelas mengenai digitalisasi dan hak cipta, untuk itu perputakaan perlu berhati-hati Usaha ini dilakukan agar perpustakaan proses digitalisasi koleksi perpustakaan tidak tergolong sebagai salah satu kategori pelanggar hak cipta.
Perubahan Pola Kerja
Di era mobile technology seperti saat ini, membawa perubahan atas pola kerja serta oritentasi kerja perpustakaan. Pola kerja perpustakaan tidak hanya berorientasi pada layanan konvensional, akan tetapi mulai berubah ke orientasi layanan berbasis teknologi informasi.
Pustakawan tidak hanya sibuk mengurus kartu katalog, memasang kelengkapan buku atau masih banyak lagi kegiatan konvensional lainnya. Pustakawan akan semakin dengan kegiatan analisis informasi, digitalisasi koleksi, serta publikasi koleksi digital perpustakaan melalui website perpustakaan. Analisis informasi disini mencakup kegiatan analisis ribuan informasi yang tersebar di internet, pustakawan mulai mengklasifikasi informasi yang dibutuhkan pengguna kemudian menyusun metadata atas informasi tersebut sehingga memudahkan proses temu kembali informasi. Kegiatan digitalisasi meliputi kegiatan alih media dari dokumen tercetak menjadi dokumen digital, pustakawan dapat menggunakan scanner sebagai perangkat keras dan adobe acrobat sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk mendigitalisasi koleksi perpustakaan. Setelah itu, koleksi digital tersebut disajikan dalam website perpustakaan sehingga dapat diakses oleh masyarakat yang semakin bermobilitas tinggi.
Untuk itu profil pustakawan kedepan adalah pribadi yang komunikatif, berkemampuan berpikir kritis, mampu mengaplikasikan serta senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi. Pustakawan tidak hanya dibekali dengan ilmu manajemen perpustaan serta pengolahan bahan pustaka, akan tetapi pustakawan juga perlu melengkapi dirinya dengan kemampuan dibidang teknologi informasi. Sudah saat pustakawan belajar menggunakan aplikasi desain website seperti macromedia dreamweaver, php sebagai scripting serta mysql sebagai database. Pengetahuan tersebut diperlukan agar pustakawan mampu mendesain website perpustakaan, bahkan dapat mendesain program automasi perpustakaan. Dengan keterampilan seperti ini maka pustakawan dapat mendesain perpustakaan masa depan tanpa harus bergantung pada orang-orang yang bergerak dibidang teknologi informasi.
Penutup
Mobilititas masyarakat yang semaking tinggi serta perkembangan mobile technology menghembuskan angin perubahan bagi perpustakaan. Perubahan ini mutlak dilakukan agar perpustakaan tidak ditinggalkan oleh masyarakat, karena di era semacam ini muncul banyak lembaga-lembaga alternatif menyediakan informasi bagi masyarakat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan perpustakaan dalam upaya pembenahan ini adalah sebagai berikut:
- Menanamkan kepada setiap pustakawan tentang konsep perpustakaan kedepan sehingga setiap pustakawan dapat mempersiapkan diri dalam usaha menuju perpustakaan masa depan.
- Pustakawan perlu melengkapi dirinya dengan keterampilan dibidang teknologi informasi karena kedepan teknologi informasi tidak dapat dipisahkan dari dunia perpustakaan.
- Saat ini kualifikasi SDM yang dibutuhkan perpustakaan adalah mereka yang memiliki kemampuan berbahasa internasional, berpikir kritis serta mampu mengaplikasikan perangkat teknologi informasi dan komunikasi.
- Perpustakaan perlu mendesain layanannya berbasis web sehingga dapat diakses oleh masyarakat di era mobile technology saat ini.
- Perpustakaan dapat membuka layanan delivery service guna membantu anggota perpustakaan yang tidak dapat datang langsung ke perpustakaan untuk meminjam buku yang dibutuhkan.
- Dalam kegiatan digitalisasi koleksi perpustakaan perlu mempertimbangkan masalah hak cipta yang melekat pada koleksi tersebut.
Daftar Pustaka
Arif, Ikhwan. “Konsep dan Perencanaan dalam Automasi Perpustakaan” Makalah Seminar dan Workshop Sehari “ Membangun Jaringan Perpustakaan Digital dan Otomasi Perpustakaan menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan “ UMM 4 Oktober 2003
Buxbaum, Shari, (Ed.). 2004. Library Service: Perpustakaan Virtual untuk Kuliah Bisnis Sistem Jarak Jauh, Tren yang Berkembang Saat ini. Jakarta: Muari Kencana.
Bungi, M. Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Kumorotomo, Wahyudi dan Subandono Agus Margono. 1998. Sistem Informasi Manajemen. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Nugroho, Bunafit. 2004. Aplikasi Pemrograman Web Dinamis dengan PHP dan MySQL: Studi Kasus, Membuat Sistem Informasi Pengolahan Data Buku.Yogyakarta: Gava Media.
Pujiyono, Wahyu; Umar, Rusdi dan Sari, Kustanti Arum. 2005. “Sistem Pesanan Pelayan Tiket Via SMS”. Seminar Peran Perguruan Tinggi di Era Mobile Technology, 27 Agustus Dilaksanakan oleh Universita Ahmad Dahlan, Yogykarta. Hal. 39-44
Rahardjo, Budi, “Bisnis Open Source”, Makalah disampaikan pada “National Open Source Workshop & Conference (NOSWOCK 2000)”, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 25 - 29 September 2000.
Sopandi, Dede. 2004. Instalasi dan Konfigurasi Jaringan Komputer. Bandung: Informatika.
Suprihadi, Eddy. Digitalisasi Informasi Karya Ilmiah dan Perlindungan Karya Intelektual Makalah ini disampaikan pada seminar: “Online Informasi Resource Sharing dan Digitalisasi Karya Ilmiah di Lingkungan Perguruan Tinggi”.Universitas Malang, 3 Oktober 2005.
Sutarno NS. 2005. Tanggung Jawab Perpustakaan dalam Mengembangkan Masyarakat Informasi. Jakarta: Panta Rei.
Perpustakaan Digital dan Sistem Informasi Perpustakaan
Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system).
from: /www.pdii.lipi.go.id
Rabu, 04 November 2009
Peran Perpustakaan Perlu Dioptimalkan
Bantul, Kompas - Peran perpustakaan perlu dioptimalkan di era multimedia yang merasuk ke semua penjuru. Perpustakaan tidak lagi diposisikan sebagai gudang buku dengan koleksinya yang terbatas, melainkan harus dimaknai sebagai pusat informasi masyarakat. Karenanya, koleksi perpustakaan yang dimiliki harus multiformat, baik buku maupun file, dengan tambahan akses internet.
"Perpustakaan adalah layanan tak terbatas waktu dan ruang. Karena itu, perpustakaan hadir bukan hanya menjaga koleksi dan memberikan akses yang pasif, tetapi memberikan nilai pada informasi dan pengetahuan yang lebih penting," kata Kepala Perpustakaan Kabupaten Bantul Eddy Susanto, Sabtu (24/10).
Saat ini perpustakaan Bantul belum memiliki koleksi data dalam bentuk file. Namun, ke depan, tengah dibuat persiapan transformasi ke arah multiformat. "Sistem komputerisasi kami awali dari pelayanan peminjaman dan pengembalian buku. Dengan sistem itu, kami dengan mudah bisa mengetahui buku-buku yang belum kembali maupun yang terlambat dalam pengembalian," ujar Eddy.
Saat ini, perpustakaan juga menyediakan layanan internet gratis. Masyarakat bisa memanfaatkan layanan internet gratis itu untuk mencari informasi yang bermanfaat. "Selain buku, internet bisa menjadi sumber informasi yang praktis karena hampir semua jenis informasi bisa digali dari internet," tutur Eddy. Rak kosong
Jumlah koleksi buku perpustakaan Bantul saat ini berkisar 57.000 buah, yang sebagian besar buku non-fiksi. Tiap tahun pengadaan buku melalui APBD sekitar 3.000 buku, dengan anggaran Rp 100 juta. Buku-buku yang dibeli masih kurang untuk mencukupi rak-rak perpustakaan dan perpustakaan mobil keliling.
"Dengan kapasitas yang saat ini ada, pengadaan buku tiap tahun minimal 10.000 buku, dengan nilai anggaran antara Rp 400 juta-Rp 500 juta. Bayangkan, untuk satu unit mobil keliling saja butuh isi sekitar 2.500-3000 buku. Sementara ini, kami ada delapan unit mobil sehingga sisa buku di rak perpustakaan tinggal 9.000 buku," kata Eddy.
Deny (23), seorang pengunjung perpustakaan, mengaku senang dengan kehadiran perpustakaan daerah. Apalagi, pihak perpustakaan tidak menerapkan sistem denda bagi peminjam yang telat mengembalikan bukunya.
"Saya biasanya ke perpustakaan untuk mencari informasi soal pertanian karena saya masih menempuhkan pendidikan di fakultas pertanian. Ke depan saya berharap bisa mengakses data berupa file dari perpustakaan, seperti di kantor-kantor penelitian dan pengembangan," ucapnya. (ENY)
Selasa, 03 November 2009
Alamat Internet akan Berubah
Badan pengatur internet, Icann, memutuskan mengijinkan nama domain menggunakan abjad Arab, China dan abjad lainnya dalam pertemuan tahunan di Seoul, demikian laporan BBC, Jumat (30/10).
Lebih setengah dari 1,6 miliar penduduk yang menggunakan internet memakai bahasa dengan abjad non-Latin. Internationalised Domain Names (IDNs) yang pertama akan digunakan tahun depan.
Rencana IDNs disetujui pertama kali dalam pertemuan Juni 2008 namun pengujian sistem telah berlangsung selama dua tahun. Domain Name System (DNS) akan diubah sehingga dapat dikenali dan diterjemahkan ke abjad non-Latin.
DNS bertindak seperti buku telepon yang memudahkan memahami nama-nama domain ke dalam angka-angka komputer yang dikenali yang disebut alamat Internet Protocol (IP)
Perpustakaan Digital Al Quran Pertama di Indonesia Berdiri
Penulis : Heru Prihmantoro
TANGERANG-MI: Yayasan Lentera Hati yang dipimpin oleh Husein Ibrahim bekerjasama dengan Yayasan Paguyuban Ikhlas pimpinan Rosano Barack mendirikan digital Library of Al-Quran di Pusat Studi Al-Quran (PSQ) di Ciputat, Tanggerang Selatan, Selasa (20/10).
Menurut Pimpinan PSQ Prof Dr M Quraish Shihab, kendati jumlah buku yang terdapat di perpustakaan ini belum banyak yakni sekitar 30.000, namun perpustakaan ini merupakan perpustakaan Al Quran terlengkap yang ada di Indonesia. Juga merupakan satu-satunya perpustakaan Al-quran dan tafsir dalam bentuk cetak dan digital pertama di Indonesia. Selain berisi buku-buku dalam bentuk cetak dan elektronik di komputer, perpustakaan ini juga menyediakan berbagai referensi dalam bentuk elektronik dan audio video.
"Anak-anak sekolah, pelajar, mahasiswa serta pelajar yang tengah mengambil paper atau skripsi kerap memanfaatkan perpustakaan ini untuk keperluan mereka," kata Prof Quraish Shihab.
Hadir dalam peresmian perpustakaan tersebut Walikota Tanggerang Selatan M Soleh, sesepuh Tanggerang sekaligus mantan Menteri Koperasi dan UMKM Zarkasih Noor, dan mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, serta Dirjen Bimas Islam Depag Nazaruddin Umar.
Walikota Taggerang M Soleh dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas didirikannya Pusat Studi Al-Quran dan perpustakaan tersebut. Sebab, hal itu dapat lebih menegaskan Tanggerang Selatan sebagai kota pelajar sekaligus pusat kegiatan pendidikan Islam.
Selain peresmian perpustakaan, bersamaan dengan itu juga Yayasan juga meresmikan Pondok Pesantren Bayt Al-Quran, yang juga terletak di kawasan Pondok Cabe, Tanggerang Selatan.
Pendirian pesatren tersebut menurut Ketua Yayasan Lentera Hati Husein Ibrahim adalah untuk memberi pengertian lebih dalam terhadap pemahaman Al Quran. Kata Hesein, saat ini bayak orang yang hafal dan bisa membaca Al Quran tetapi tidak didukug oleh pemahaman dan wawasan yang luas. Mereka juga banyak yang berasal dari kalangan ekonomi lemah sehingga diperlukan dukungan agar mereka bisa belajar lebih baik lagi. Selain itu mereka juga dididik untuk meningkatkan ilmu lain di bidang kewirausahaan, manajemen, motivasi pengembangan diri dan ketrampilan terapan lainnya. (Hru/OL-7)
Kondisi SDM Teknologi Informasi
Beberapa kawan tidak jarang mengeluh tentang Sumber Daya Manusia ini. Keluhan yang datang tidak hanya dari kalangan swasta, namun juga dari kalangan pemerintahan. Pengalaman penulis memantau di bidang pemerintahan misalnya, waktu bertemu dengan salah seorang Gubernur, disana terungkap bahwa untuk salah satu kantor Dinas mereka yang khusus bergerak di dalam telekomunikasi dan Informasi, hanya memiliki satu orang Sarjana dalam bidang teknologi informasi in. Sementara ruang lingkup pekerjaan dari kantor ini adalah untuk seluruh kantor Dinas dan Badan yang ada pada level propinsi.
Begitu juga ketika penulis diminta oleh JICA –Jepang untuk melakukan survey ke beberapa lokasi di Indonesia. Umumnya mereka yang dikunjungi merasa kesulitan untuk mendapatkan sumberdaya manusia handal dari bidang Informatika. Ketika dilihat dari sudut pandang pihak swasta pun demikian sulitnya. Sementara SDM yang mampu untuk suatu bidang tertentu juga bukan main sulitnya menemukan. Bahkan salah seorang kawan, sempat mengatakan, sudah berkali-kali mencoba membuat iklan lowongan, namun yang masuk umumnya adalah mereka yang masih kurang pengalaman, sehingga tidak siap langsung memecahkan masalah yang ada. Sementara pekerjaan sudah mulai menuntut untuk diterapkannya suatu teknologi.
Berikut ini beberapa kondisi tentang sumberdaya manusia kita khususnya dalam bidang informatika di Indonesia.
Banyak Tapi Sulit
Sumberdaya dalam bidang teknologi informasi ini, yang seharusnya dan umumnya berasal dari jurusan Informatika ini fenomenanya memang menarik. Lulusan yang dihasilkan dalam setahun bisa mencapai ribuan. Lulusannya juga tidak sedikit yang menganggur. Sementara di sisi lain, para pencari kerja mengeluhkan susahnya mencari orang-orang yang berhubungan dengan informatika ini. Aneh!
Namun kalau ditelaah lebih jauh, ternyata kuncinya yang dicari adalah yang memahami dan bisa mengimplementasikan, bukan yang memiliki gelar saja. Sehingga tidaklah menjadi aneh, karena tidak semua yang menjadi sarjana informatika berkualitas. Beberapa perusahaan baik dari Eropa dan Amerika tidak jarang mengontak penulis mengenai sumberdaya manusia ini. Termasuk mengerjakan pembangunan sistem informasi. Mereka begitu senang dengan orang Indonesia. Kenapa tidak, standar gaji orang Indonesia secara umum dibandingkan dengan standar gaji mereka rendah lumayan rendah.
Mari kita coba bandingkan ketika kami dilibatkan dalam pengerjaan salah satu sistem informasi untuk sebuah perusahaan pembuat mobil mewah di Jerman (awal tahun 2000an). Kenapa mereka mau mengerjakannya di Indonesia? Sebagai salah satu pembanding, hitunglah biaya gaji. Kita ambil mata uang dolar aja, ya. Di sana, gaji orang IT berkisar $3500-$5000. Di negara kita? Mm.... sekitar 2 juta – 7juta atau sekitar $222-$777 (kurs dipakai $1=Rp.9000). Bisa dibayangkan, gaji satu orang mereka yang bekerja di sana bisa untuk membayar sekitar 7-8 orang kita. Komunikasi antar negara? Tidak mahal, cukup pakai internet saja...!
Orang Komputer
Kejadian yang salah dan sering terjadi adalah pengertian dari istilah “orang komputer” atau ”informatika” yang dipakai masyarakat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang yang dimaksud paham tentang komputer. Paham tentang komputer ini diartikan lebih jauh lagi, bahwa orang yang dimaksud adalah ahli komputer, ahli dalam berbagai hal dalam bidang komputer. Ini salah satu kendala lain dari para informatikawan ketika berada di lapangan.
Mari kita coba memahami hal ini, apakah “ahli komputer” yang dimaksud orang tersebut memang mengerti tentang berbagai hal dalam bidang komputer? Oh, no.. no…! belum tentu ada orang seperti ini, kalau boleh mengatakan selain “sangat jarang”. Ilmu tentang komputer atau teknologi informasi itu luas sekali, memiliki bagian-bagian tersendiri, danmasing-masing itupun memiliki turunan lagi yang lebih spesifik.
Ada istilah menarik, “tau banyak berarti tau sedikit-sedikit, tau sedikit bisa berarti banyak”. Ini adalah statement yang tepat untuk ini. Jika anda mengenal orang yang mengatakan dia tahu segala hal seperti computer network , desain grafis , artificial intelligence , dsb, berarti dia bisa diasumsikan yang dia tahu adalah kulit-kulitnya saja. Apakah dia paham bagaimana mendesain dengan corel draw atau software desain lain? Apakah dia paham cara untuk melakukan manajemen database pada server ? Pahamkah dia bagiamana merancang program dengan menggunakan algoritma? Itu baru sebagian dari dasar masing belum lebih terlalu dalam.
Diakui oleh Dunia Internasional
Sumberdaya manusia kita yang mendalami bidang teknologi informasi ini termasuk yang diperhitungkan dalam dunia internasional, kenapa tidak, salah satu buktinya pada salah satu lomba yang diadakan oleh google di India pada awal tahun 2005, dimana Indonesia mampu menguasai dua peringkat tertinggi yang dilombakan dalam bidang pemrograman tersebut, sedangkan Amerika menduduki peringkat ke 17. Serta masih banyak lagi kemampuan para informatikawan Indonesia yang tidak bisa dianggap enteng dalam kemampuan daya saing mereka.
Selain itu, bagi mereka yang merasa memiliki kemampuan untuk bersaing, tidak jarang juga yang bekerja ke luar negeri. Karena kemampuan mereka diakui dengan sertifikasi berkelas internasional yang dikantonginya.
jack Febrian -- Dosen dan Praktisi Teknologi Informasi di Bandung. Telah menulis beberapa buku, diantaranya Menggunakan Internet, Kamus Komputer dan Teknologi Informasi, Menjelajah Dunia dengan Google, Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia, dll..
Perkembangan Teknologi Digital
Semula dengan ditemukannya berbagai perangkat sederhana, mulai dari telepon, yang berbasis analog, maju dan berkembang terus hingga muncul berbagai perangkat elektronika lainnya. Hingga akhirnya teknologi ini terintegrasi satu dengan lainnya.
Di sisi lain, akibat perkembangan dari kemampuan teknologi, terjadi juga perubahan yang cukup dramatis di sisi perjalanan dan operasi bisnis, yang menghasilkan pelayanan-pelayanan baru, termasuk dalam hal pemanfaatan jaringan dunia tanpa batas.
Telepon, yang pada awal ditemukan pada tahun 1876, diniatkan sebagai media untuk mengirimkan suara, dan salah satu penerapan konsep analog, juga memberikan konstribusi yang tidak sedikit terhadap perkembangan teknologi. Sampai dengan sekitar tahun 1960-an, penerapan analog ini masih tetap bertahan, hingga setelah itu, mulai mengarah kepada teknologi digital.
Kemudian, teknologi digital yang mulai merambah ke berbagai rancangan teknologi yang diterapkan dan digunakan oleh manusia. Facsimile, adalah salah satu batu loncatan dari pemanfaatan jaringan telekomunikasi, yang mampu memberikan konstribusi dan pemikiran, bahwa datapun mampu untuk dilewatkan melalui media telepon tersebut.
Begitu juga dengan perkembangan komputer. Komputer pertama yang diperkenalkan adalah ENIAC II, diinstalasi dan digunakan pada tahun 1946, setelah perang dunia kedua. Komputer ini merupakan sebuah rangkaian elektronika lampu tabung seberat 20 ton. Perkembangannya juga cukup menakjubkan, baik dalam ukuran dan kemampuan kerjanya.
Kini, ukuran komputerpun, hanya dalam ukuran segenggam tangan. Dengan ukuran sedemikian, berbagai proses mampu diolahnya, tidak hanya untuk melakukan proses yang berhubungan dengan pengolahan perhitungan dan database, tetapi juga mampu dalam hal berkomunikasi dengan pengguna lainnya yang menggunakan perangkat yang tadinya masih merupakan pemisahan dari segi fungsi.
Protocol, merupakan salah satu yang memegang peranan kunci disini, sehingga berbagai perangkat dapat berinteraksi satu dengan lainnya. Dengan adanya protocol ini, satu mesin dengan mesin lainnya dapat untuk saling berkomunikasi. Protocol merupakan suatu metoda yang mengakibatkan suatu alat dengan alat lainnya dapat saling berkomununikasi sehingga terjadilah percakapan sehingga akhirnya berjabat tangan (handshaking), dan dapat diibaratkan kesepakatan bahasa antar dua alat, yang mengakibatkan satu sama lainnya mengerti apa yang diperintahkan dan apa yang sedang diolah.
Suatu perangkat yang dihasilkan dari pabrik yang berbeda, sesuatu yang mungkin untuk ikut berperanan dalam menyemarakkan bidang teknologi informasi dan telekomunikasi ini, sebab dengan protocol yang sama, alat itupun bisa menggabungkan diri menjadi bagian dari berbagai perangkat yang ada. Begitu juga dengan bandwith, sebagai jalur data, compression, codes, dan bits, menjadi tulang punggung yang mendasar, terutama untuk perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi ini.
Dua bulan berselang setelah Neil Amstrong melangkah di bulan, terjadi suatu langkah yang besar di UCLA, sewaktu komputer pertama dikoneksikan ke ARPANET. ARPANET mengkoneksikan empat site, diantaranya UCLA, Stanford Research Institute (SRI), UC Santa Barbara, dan University of Utah. Pada tahun 1977, terdapat lebih seratus mainframe dan komputer mini yang terkoneksi ke ARPANET yang sebagian besar masih berada di Universitas.
Dengan adanya fasilitas ini, memungkinkan dosen-dosen dan mahasiswa dapat saling berbagi informasi satu dengan lainnya tanpa perlu meninggalkan komputer mereka. Saat ini, terdapat lebih dari 4.000.000 host internet di seluruh dunia. Sejak tahun 1988, Internet tumbuh secara eksponensial, yang ukurannya kira-kira berlipat-ganda setiap tahunnya. Istilah Internet pada mulanya diciptakan oleh para pengembangnya karena mereka memerlukan kata yang dapat menggambarkan jaringan dari jaringan-jaringan yang saling terkoneksi yang tengah mereka buat waktu itu. Internet merupakan kumpulan orang dan komputer di dunia yang seluruhnya terhubung oleh bermil-mil kabel dan saluran telepon, masing-masing pihak juga dapat berkomunikasi karena menggunakan bahasa yang umum dipakai.
Jadi apakah yang dimaksud dengan Internet ? Pertama, Internet adalah kumpulan yang luas dari jaringan komputer besar dan kecil yang saling bersambungan menggunakan jaringan komunikasi yang ada di seluruh dunia. Kedua, Internet adalah seluruh manusia yang secara aktif berpartisipasi sehingga membuat Internet menjadi sumber daya informasi yang sangat berharga. Apakah yang mebuat hal tersebut bisa bekerja? Semua adalah karena permainan listrik dan gelombang yang akhirnya diolah sedemikian rupa. Semua berasal dari analog maupun digital.
jack Febrian -- Dosen dan Praktisi Teknologi Informasi di Bandung. Telah menulis beberapa buku, diantaranya Menggunakan Internet, Kamus Komputer dan Teknologi Informasi, Menjelajah Dunia dengan Google, Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia, dll..
Selasa, 20 Oktober 2009
detikcom : Betapa Lengkap dan Nyaman Perpustakaan di Austria
summary : Untuk meningkatkan minat baca, Pemerintah Austria membuat perpustakaan senyaman dan selengkap mungkin. Kapan perpustakaan di Indonesia bisa seperti ini? (read more)
detikcom : JK Tinggalkan Rumah Dinas Wapres untuk Selamanya
summary : Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah meninggalkan rumah dinasnya di Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, guna menghadiri pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Dia meninggalkan rumah dinas itu untuk selamanya. (read more)
Membangun Perpustakaan Digital : Suatu Tinjauan Aspek Manajemen
PENDAHULUAN
Kecenderungan menggunakan teks secara elektronik terus meningkat dari hari ke hari. Merujuk pengalaman di berbagai perpustakaan (terutama negara-negara maju) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna perpustakaan lebih senang menggunakan “electronic format” dari pada teks secara konvensional,(printed materials) khususnya untuk koleksi jurnal (SWEETLAND, 2002 ). Kecenderungan ini tentunya akan merubah model manajemen yang dikembangkan di perpustakaan yaitu dari sistem konvensional menuju ke sistem yang lebih modern.
Persoalannya adalah bagaimana kita bisa mengembangkan manajemen perpustakaan modern, sementara kondisi objektif perpustakaan di Indonesia rata-rata masih memprihatinkan. Misalnya tentang anggaran yang sangat kecil, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah dan sarana dan prasarana yang terbatas.
Kondisi ini tentunya tidak menjadikan kita (pustakawan) menjadi pesimistis , tidak bersemangat dan putus asa. Kita harus berusaha untuk mengoptimalkan, baik itu sumber dana, sumber daya manusia dan fasilitas lain yang tersedia, untuk meningkatkan layanan perpustakaan.
Penulis akan mencoba untuk membahas bagaimana membangun perpustakaan digital dengan melihat kondisi objektif yang ada dilingkungan kita.
PENGERTIAN PERPUSTAKAAN DIGITAL
Di dalam era informasi dimana INTERNET merupakan media yang mudah dimanfaatkan di seluruh pelosok dunia, istilah Digital Library (Perpustakaan Digital), E-Library (Perpustakaan Elektronik), dan Virtual Library (Perpustakaan Maya) mulai sering kita dengar dan menjadi perbendaharaan kosa kata baru dalam bahasa kita. Ketiga istilah tersebut mempunyai konotasi yang sama yaitu merujuk pada perpustakaan yang tidak berujud. Dalam makalah ini penulis akan mengutip salah satu definisi tentang E-Library.
E- Library is a comprehensive digital for information seekers of all ages. Users can do business research, use it for homework, get background materials for term papers, find out about both current and historical events, and more, all in one vast database designed for both depth of content and simplicity of interface.( http://ask.elibrary.com/index.asp)
Kata kunci dari definisi di atas adalah “a comprehensive digital for information seekers” yang mempunyai arti digital secara menyeluruh untuk pencari informasi. Jadi yang di”digitalkan” ,dalam konteks perpustakaan, tidak hanya data bibliografi dan layanannya, tetapi menyangkut semua aspek termasuk isinya (full text).
MANFAAT PERPUSTAKAAN DIGITAL
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa pengguna perpustakaan lebih senang menggunakan format secara elektronik daripada secara tradisional. Sebetulnya manfaat perpustakaan digital tidak hanya dirasakan oleh pengguna perpustakaan tetapi juga dapat dirasakan oleh pustakawan atau staf perpustakaan. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya perpustakaan digital adalah sebagai berikut :
Bagi Pengguna Perpustakaan :
- mengatasi keterbatasan waktu
- mengatasi keterbatasan tempat
- memperoleh informasi yang paling baru dengan cepat
- mempermudah akses informasi dari berbagai sumber
- mempermudah untuk memindah dan merubah bentuk untuk kepentingan presentasi dsb.
Bagi Pustakawan
- memperingan pekerjaan
- meningkatkan layanan
- tidak memerlukan gedung dan ruang yang besar
- menumbuhkan rasa bangga
FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN DALAM MEMBANGUN PERPUSTAKAAN DIGITAL
Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membangun perpustakaan digital. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
1. Analisa kebutuhan (Need Analysis)
Dalam tahap awal pertanyaan yang muncul adalah apakah perpustakaan digital memang diperlukan. Untuk menjawab pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya berdasarkan perkiraan semata tetapi harus diadakan studi untuk menentukan kebutuhan yang disebut dengan analisis kebutuhan (Need Analysis). Apabila analisa kebutuhan sudah dilakukan dan jawabannya adalah positif, maka tahap berikutnya adalah menentukan tujuan. Tujuan ini harus didasarkan pada visi dan misi perpustakaan serta lembaga induknya. Masing-masing perpustakaan mempunyai tujuan yang berbeda satu sama lain tergantung pada kondisi masing-masing perpustakaan.
2. Studi Kelayakan (Feasibility Study)
Apabila penentuan kebutuhan dan tujuan sudah dilakukan, maka tahap berikutnya adalah melakukan studi kelayakan (Soekartawi, 2003), yang penilaiannya meliputi komponen sebagai berikut :
- Technically feasible (apakah secara teknis layak). .
- Economically profitable (apakah secara ekonomi menguntungkan).
- Socially acceptable (secara sosial dapat diterima).
2. 1. Technically feasible (apakah secara teknis layak)
Kelayakan secara teknis ini menjadi faktor penentu dalam membangun perpustakaan digital, karena perpustakaan digital itu memerlukan infrastruktur dan tenaga yang memadai seperti adanya provider untuk internet, hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak), jaringan telepon, listrik serta tidak kalah pentingnya adalah tersedianya tenaga teknis yang dapat mengoperasikannya.
2.2. Economically profitable (apakah secara ekonomi menguntungkan)
Ukuran yang dipakai dalam perhitungan aspek ekonomi tidak harus dihitung dari berapa laba yang akan diperoleh, melainkan sejauh mana pengaruh perpustakaan digital yang akan kita bangun terhadap efektifitas dan efisiensi layanan perpustakaan.
2.3. Socially acceptable (apakah secara sosial dapat diterima)
Apakah secara sosial pembangunan perpustakaan digital tersebut dapat diterima oleh pengguna perpustakaan dan staf perpustakaan ? Pertanyaan ini tentunya harus dijawab, sebelum kita melaksanakan digitalisasi perpustakaan. Sekalipun secara teknis layak dan secara ekonomis menguntungkan, belum ada jaminan bahwa pelaksanaan pembangunan digital perpustakaan passti berhasil tanpa memperhitungkan aspek sosial. Oleh karena itu sebelum program perpustakaan digital dijalankan sebaiknya ada program sosialisasi terlebih dahulu. Analisa aspek social ini juga dapat menyangkut aspek hukum. Kita harus tetap menjunjung tinggi hukum terutama yang menyangkut Undang-Undang Hak Cipta. Misalnya kita tidak diperkenankan dengan bebas me”scan” buku-buku yang dimiliki oleh perpustakaan untuk selanjutnya kita masukkan dalam database tanpa seijin pemilik hak ciptanya.
3. Memilih software
Pemilihan software hanya diperlukan apabila kita ingin membangun database untuk kepentingan perpustakaan digital (sebagai penyedia informasi), namun apabila kita hanya ingin membangun perpustakaan digital sebagai konsumen (memanfaatkan perpustakaan digital yang sudah ada), maka pemilihan software tidak menjadi penting. Kreteria pemilihan software untuk database antara lain meliputi :
3.1. Access Points
Software yang baik adalah software yang memiliki access points yang banyak paling tidak data yang kita miliki itu dapat ditelusur melalui judul, pengarang, dan subjek atau kombinasi dari ketiganya.
3.2.User Friendly
User friendly mempunyai arti bahwa software yang seharusnya dipilih adalah software yang mudah digunakan tanpa memerlukan waktu pelatihan yang lama, begitu komputer dibuka para pengguna dapat berinteraksi dengan mudah dan cepat walupun hanya latihan sebentar.
3.3.Sustainability
Membangun perpustakaan digital berarti membangun untuk jangka panjang. Supaya investasi yang ditanamkan tidak terbuang sia-sia, maka perlu dipertimbangkan dengan hati-hati tentang keberlanjutan software yang kita beli. Sebaiknya membeli software bukan dari perorangan melainkan dari lembaga yang professional.
3.4.Price
Umumnya kita akan menghadapi delima dalam mempertimbangkan harga. Software yang baik biasanya harganya relatif mahal, sementara software yang murah/gratis biasanya kurang dapat memuaskan kebutuhan kita.
4. Pelaksanaan
Dalam tahap ini, khususnya untuk pembentukan database, harus mempunyai prioritas. Prioritas ini tergantung pada masing-masing perpustakaan. Penulis menyarankan untuk memulai pembentukan databse dari produk-produk local, seperti hasil penelitian , hasil pengabdian masyarakat, tesis, diesrtasi, skripsi dan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga di sekeliling kita.
5. Evaluasi
Seperti pada program dan kegiatan perpustakaan lainnya, evaluasi untuk pembangunan perpustakaan digital harus selalu dilakukan secara terus menerus dalam suatu periode tertentu untuk mengetahui apakah tujuan yang telah kita canangkan sudah tercapai dan apakah program tersebut dapat memuaskan pengguna perpustakaan. Tingkat kepuasan pengguna perpustakaan harus selalu kita monitor dan hasil dari monitoring dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan apakah program perpustakaan digital perlu diteruskan, disempurnakan atau dibatalkan.
PENUTUP
Di Indonesia, keberadaan perpustakaan digital belum akan akan mengganti keberadaan perpustakaan konvensional. Keberadaannya sebagai pelengkat dan penambah nilai dari perpustakaan yang sudah ada.
Membangun perpustakaan digital bukan suatu pekerjaan yang mudah. Perencanaan dan studi kelayakan secara teknis, ekonomis, dan social harus dilakukan. Namun demikian apabila kita berhasil membangun perpustakaan digital secara baik, niscaya citra perpustakaan akan semakin meningkat. Citra yang baik harus kita upayakan secara terus menerus, agar supaya perpustakaan dapat meningkatkan kepercayaan dari pihak-pihak yang berkepentingan terutama pihak pimpinan unibersitas/akademi. Kalau tingkat kepercayaan dari pihak yang berkepentingan terhadap perpustakaan sudah tinggi, maka apapun program yang diusulkan kepada pihak universitas/akademi akan mudah disetujui.
REFERENSI
- Ackerman, Mark S. Providing Social Interaction in the Digital Library
http://csdl.tamu.edu/DL94/position/ackerman.html (3/26/03)
- Linggawati, Henny dan Widiawan, Kriswanto. Komersialisasi dan Perlindungan Produk/Jasa E-Library ( disampaikan pada Seminar Nasional “E-Learning Perlu E-Library” di Universitas Kristen Petra Subaya pada tgl. 3 Februari 2003)
- McMillan, Gail. (Digital) Libraries Support (Distributed) Education. (presented at ACRL Nastional Conference, Detroit, April 9, 1999)
http://www.ala.org/acrl/mcmill.html (3/21/03)
- Sawyer, Susan K. Elektronic books : their definition, usage and role in libraries.
http://libres.curtin.edu.au/libres12n2/ebooks.html (2/14/03)
- Soekartawi. E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang (disampaikan pada Seminar Nasional “E-Learning Perlu E-Library” di Universitas Kristen Petra Subaya pada tgl. 3 Februari 2003.)
- Stackpole, Laurie E. and Hooker, Ruth H. Electronic Journal as a Component of the Digital Library. Issues in Science and Technology Librarianship, Spring 1999.
http://www.istl.org/99-spring/article1.html. (2/11/03)
- Sweetland, James H. Electronic Text: How Do We Manage ? Library Collection Development & Management, July 2002.
http://tamino.emeraldinsight.com/vl=1396064/cl=21/nw=1/rpsv/librarylink/collection/july02.html. (3/5/03)
* Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Lokakarya “Membangun Perpustakaan Digital” di UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, tgl. 5 April 2003
** Kepala UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Ditulis dalam makalah perpustakaan